31. Peluk

622 82 2
                                    

pukul 2 dini hari, suara langkah ku yang tak pelan ini bergema keras di koridor rumah sakit. seiring dengan kaki ku yang berlari cepat, air mataku juga turun dengan deras. di belakangku, teriakan ibu, ayah, dan ka adit yang menyuruhku berjalan perlahan tidak aku hiraukan. bagaimana bisa aku berjalan perlahan, disaat seseorang yang aku cintai kini terkujur lemah di kasur rumah sakit.

langkahku terhenti sedikit demi sedikit, saat melihat sosok wanita yang selama aku mengenalnya, aku selalu suka padanya.

"bunda..." lirihku, lalu berhambur pada pelukannya.

"sayangg, cantikk..." ucap bunda dengan isak tangisnya yang tertahan.

"bumi gimana, bunda?"

"masih di tanganin dokter, sayang."

air mataku enggan berhenti, dan aku pun tak kuasa menahan mereka untuk berhenti atau diam di tempatnya masing masing.

tepat beberapa menit lalu, saat aku sedang bersiap siap untuk tidur, tiba-tiba ada telepon dari teh manda. teh manda bilang, kalau bumi mengalami kecelakaan. tabrak lari. tepat setelah dia pulang dari rumahku.

dari situ pikiranku mulai tak jernih. segala kemungkinan kemungkinan terburuk menghampiriku secara bersamaan. apalagi dengan sikap bumi tadi yang sungguh berbeda. aku semakin tak bisa membayangkannya.

tak lama, dokter dengan beberapa susternya pun keluar dari ruangan yang berada di dekat kami semua, "saya boleh minta perwakilan dari pihak keluarga pasien untuk berbicara sebentar?" ucap si dokter.

bunda yang sebelumnya sedang erat memelukku, mulai menyeka air matanya dan maju selangkah mendekati dokter, "saya ibu nya, dok."

melihat bunda yang maju, ayah ramdan yang sedari tadi menunduk dan menutupi wajahnya itu juga ikut mengajukan diri, "saya ayah nya."

"baik, ikut saya sebentar, pa, bu." kata dokter, menanggapi ucapan bunda dan ayah ramdan, "oh ya, untuk sekarang pasien belum boleh dulu di jenguk, karena keadaan masih kurang stabil. jadi, tunggu beberapa saat lagi ya."

lalu sedetik kemudian dokter dan bunda pun pergi menuju satu ruangan, menyisakan aku yang sedang sibuk mengintip dari kaca kecil di pintu ruangan ini.

bisa kulihat, bumi sedang terbaring disana. dengan beberapa alat dan perban yang meliliti bagian tubuhnya.

bumi tadi masih baik baik saja. tapi kenapa sekarang dia sangat lemah?

"ecaa, jangan gini, nak. kuat, ya..." kata ibu, sambil merangkulku dan membawaku pada pelukannya.

tadi malam bahkan bumi masih memelukku. memelukku dengan erat. saaaangat erat. dan aku yakin, dia kelak akan memelukku lagi.

"bu, eca takut." adu ku pada ibu. karena jujur aku takut. takut semua kemungkinan buruk itu bisa terjadi.

"iya, nak, iya. ibu juga takut. kamu berdoa aja. minta yang terbaik untuk kamu, bumi, dan keluarganya, ya?" sahut ibu, "kalau kamu nangis terus ga ngebuahin apa apa, sayangg."

"nanti waktu bunda sama ayah ramdan selesai bicara sama dokter, kita sholat bareng-bareng, ya. doakan eja." ujar ayah, sambil menghampiriku dan mengelus surai hitamku.

||
||

(( s e m e s t a ))

||
||

"Aamiin..."

aku menghembuskan nafas, merasa sedikit lega karena sudah mengadu semua yang kurasakan pada Tuhanku.

semesta (✓)Where stories live. Discover now