32. Ikhlas Bukan Berarti Lupa

531 75 1
                                    

jika dihitung, hari ini sudah 4 hari semenjak kepergian bumi. dan sudah 4 hari juga aku mengurung diri di kamar.

setelah bumi pergi, kurasa dunia ku juga pergi. semuanya menjadi kelabu. semuanya buram. tak nampak setitik pun warna terang yang kulihat. hanya warna warna sendu yang menggantinya.

"bumi... kamu lagi apa disana? apa kamu senyum di atas sana? atau malah, nangis sama kaya aku?"

aku tersenyum miris sambil menatap foto yang kuambil berdua bersama bumi, tepat di malam hari sebelum akhirnya ia meninggalkanku untuk selamanya.

"bumi... karena kamu ga nepatin janji kamu untuk gak pergi, aku juga ga akan nepatin janji aku untuk berhenti menangis."

beberapa hari lalu, saat tubuh tak bernyawa bumi akan di semayamkan, aku benar benar tak sanggup melihatnya. melihat bunda dan teh manda yang terus menerus menangis tanpa henti, juga ayah ramdan dengan tatapan kosongnya, sangat membuat hatiku semakin terluka.

agam, raka, dika, dan teman-temannya yang lain juga datang dengan wajah tanpa seri. semua muram saat mengantarkan bumi ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

lalu bagaimana dengan aku? aku hanya bisa menangis sambil selalu berada dalam pelukan ibu. melihat tubuhnya yang perlahan-lahan tertutupi oleh tanah, benar-benar membuat air mataku semakin deras, seolah berlomba untuk keluar lebih cepat.

tubuhnya yang malam itu sempat ku peluk dengan erat.
tangannya yang sempat menggenggam ku dengan lembut.
punggungnya yang selalu ku jadikan sandaran saat naik motor berdua.
wajahnya yang dulu selalu bisa membuatku tersenyum setiap memikirkannya.

semuanya telah kembali ke asal. kembali pada Sang Pencipta.

Tuhan sayang bumi. itulah mengapa Dia membawanya terlebih dahulu. Dia merindukan bumi.

"bumi... baru 4 hari, tapi rasanya hari aku kacau banget."

"aku kangen kamu. ingin peluk kamu. ingin selalu ada kamu yang temenin keseharianku."

tangisku semakin tak karuan. entah sudah tetes keberapa air mataku yang turun di hari ini. sulit rasanya untuk menghentikan tangisan ini. terlalu sulit.

"eca sayang..." ibu masuk ke dalam kamarku yang tak ku kunci, aku menatap ibu sekilas, "ada temen temen di depan. mau di temuin ga?"

aku mengangguk pelan, "eca cuci muka dulu."

kulihat ibu tersenyum, "yaudah, temen temen kamu nunggu di depan tuh."

setelah ibu menutup pintu, aku beranjak dari kasur untuk mencuci muka, berniat sedikit menyamarkan sembab yang ada. tapi hasilnya nihil, sembab nya masih terlihat dengan jelas.

aku menyerah, dan akhirnya membiarkan sembab itu tertinggal di bawah mataku.

dengan langkah gontai, aku menuju ruang tamu untuk menemui teman yang ibu maksud tadi. senyum ku paksakan merekah, lalu terduduk bersama mereka.

"ca, kamu gapapa?"

pertanyaan pertama dari riska membuat bibirku tersenyum kecil, "bohong banget kalau aku bilang aku gapapa." jawabku.

riska beralih mendekati ku, dan mengelus punggungku tanpa berkata apapun lagi.

"udah ke rumah bunda lagi, ca?" kini dika yang bertanya.

aku menggeleng, "belum. bunda sedih banget ya?"

dika tersenyum nanar, "bunda nangis. nanyain si eja ada dimana. katanya, kenapa belum pulang pulang."

penjelasan dika sukses membuat air mataku kembali menetes. tak hanya satu, tapi banyak.

"h-harusnya...  waktu itu aku nolak pas dia nawarin buat jalan-jalan." aku menunduk, kembali mengusap air mata yang berjatuhan.

"jangan nyalahin diri sendiri, ca." agam bersuara.

"eja pergi bukan karena kamu, tapi emang karena waktu dia yang udah habis. tugas dia di dunia udah selesai." kata riska.

"aku tau..." lirihku, dengan isak tangis yang masih ada, "tapi aku gak nyangka dia akan pergi secepet inii..."

"eca..." aulia memegang lenganku, "sekarang yang harus kamu lakuin cuma mengikhlaskan. ikhlasin eja untuk pergi ke tempat yang cocok buat dia. aku yakin banget, dia gak suka liat kamu nangis gini."

"kalau dia ga suka aku nangis, harusnya dia balik lagi kesini. sama aku. sama kita. bareng-bareng lagi."

"kalau eja bisa, dia pasti lakuin itu, ca. tapi dia gak bisa. dia gak bisa lawan takdir." ucap raka.

"udah, sekarang kamu harus bisa sedikit demi sedikit ikhlasin eja." ujar aulia, menggenggam lenganku lebih kuat dari sebelumnya.

"kita tau kamu pasti bisa ikhlasin dia. seiring berjalannya waktu, kamu pasti bisa." riska memegang pundakku, seperti memberi kepercayaan yang besar padaku.

"mengikhlaskan bukan berarti melupakan kok, ca. kalau manéh ikhlas, berarti manéh udah ngelepasin eja dan biarin dia hidup tenang disana." kata raka, "urang juga susah sebenernya. urang, si agam, si dika, sama si eja udah biasa ber empat. tapi sekarang, tiba-tiba harus bertiga. yang satunya pergi, bahkan tanpa pamit sama kita-kita. tapi ya mau gimana lagi. Allah lebih sayang sama si eja ternyata, padahal gelut waé pagaweanna."

aku sedikit tertawa mendengar penuturan raka yang terakhir.

"tah, kan kalau ketawa gini mah enak diliatnya juga. cantik lagi. manéh sama urang gebet aja lah ya, ca. geulis geuning."

dika tiba-tiba memukul kepala raka, "inget pacar di rumah, pak."

"oh iya euy, lupa udah punya pacar urang téh."

satu ruangan tertawa akibat kelakuan raka. termasuk aku.

bumi... aku harap kamu juga ikut tertawa disana.

||
||

(( s e m e s t a ))
||
||

hari ini, kakek, nenek, dan kak putra datang dari belanda. kabar bumi yang telah pergi pun sudah sampai ke telinga mereka, bahkan saat mereka masih di belanda.

dan saat ini, semua keluargaku sedang berkumpul membicarakan banyak hal.

"selesai sekolah, ikut ke belanda lagi aja ya." kata kakek, yang sontak membuat mataku membulat sempurna.

"loh, kok?"

"kuliah disana." lanjut kakek.

"tapi aku mau di sini. aku udah janji sama bumi mau kuliah di bandung." elakku, karena aku merasa sudah janji padanya.

"sayang... eja udah tenang disana. biarin dia senyum di atas sana, ya. ikhlasin dia." nenek mengusap lenganku.

"aku udah ikhlas, nek. aku ikhlas dia pergi. tapi bukan berarti aku lupa, kita udah janji waktu itu. walaupun dia gabisa, se enggak nya aku harus bisa."

"eca, di sana kamu akan lebih terjamin. ibu yakin, eja gak akan keberatan kalau kamu ke belanda."

aku menoleh pada ibu, tak percaya ternyata ibu mendukung kakek daripada aku.

"tapi bu..." wajahku memelas, tapi detik berikutnya aku mendecak dan menyenggol lengan kak putra juga kak adit, "bantuin." kataku, tanpa bersuara.

sedangkan mereka berdua hanya mengedikan bahunya, tanda tak tau harus berbuat apa, dan otomatis mereka juga ada di pihak kakek.

aku menghela nafasku berat. apapun pembelaan yang aku suarakan, akhirnya pasti di menangi oleh kakek.

semesta (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang