My Lovely Girl

1.7K 143 2
                                    

Aku tahu wanita yang aku nikahi hari ini belum sepenuhnya menerimaku kembali dalam kehidupannya, setelah cukup banyak ledakan luka aku toreh dalam hatinya, baik melalui sikapku dan paling banyak tentu saja mulutku. Aku jelas sadar dan tahu saat aku melontarkan hinaan bahkan hatiku sendiri menjerit nyeri melihat rupa sedihnya. Terima kasih Tuhan, Engkau membekalinya dengan hati yang kuat.

Pernikahan ini terjadi atas keputusanku, Renata, maaf aku harus melakukannya, aku tidak mau kehilangan kamu lagi, bagaimana jika ada Reno yang lain di luar sana, dan kau akan memilih bersama dia dan membuangku jauh. Tidak, aku tidak akan membiarkannya.

Hanya Renata yang mau menerimaku apa adanya, gadis gila yang sudah mengejarku dulu, aku menyangka dia menginginkan sesuatu atau sedang taruhan dengan seseorang hingga nekat mendekatiku, sebab aku tahu dari sikap ceria dan tingkah anehnya, ada beberapa anak laki-laki dari teman seangkatan atau bahkan Kakak kelas yang sesekali melirik padanya, sayang, dia bukan orang yang peka dan hanya mementingkan apa yang dia kejar, aku.

Kami sudah mengikat janji di depan Tuhan, satu jam yang lalu dan jujur aku sudah begitu terganggu dengan bulu mata tebal di wajahnya, sebenarnya tanpa benda itu, wajah Renata sudah manis, benar dia tidak secantik gadis yang pernah aku ketahui hanya saja, setiap kali bibirnya membentuk senyuman, rasanya setiap waktu itu pula aku ingin menerkamnya lalu memberikan ciuman.

Renata tengah duduk di depan meja rias, gaun pengantinya sudah dia lepas, sungguh pernikahan kami sepenuhnya dalam keadaan terburu-buru, tetapi aku bersyukur semua berjalan dengan baik.

“Nggapain di situ?” katanya tanpa menoleh.

“Mengagumi istriku yang cantik,” jawabku sembari mendekatinya.

“Siapa yang istri kamu?”

“Kamu dong, Na. Siapa lagi?” kataku sembari meletakan dagu ke bahunya.

“Aku belum bisa mencintai kamu kembali ....”

“Tapi kita udah nikah, dan itu udah mempertegas hubungan kita meski tanpa cinta.”

“Bodoh ah!” Renata menyambar tisu basah di meja, menghapus make up di wajahnya dengan kasar. Aku menahan tanganya, kemudian mengambil tisu baru, menghapus riasannya lebih lembut.

“Kalau kasar kaya gitu, nanti senyuman manis kamu ikut ilang.”

“Mana ada, orang udah dari lahir kok!” balasnya, dia menahan tangaku, menatap wajahku kesal.

“Marah mulu.”

“Gimana nggak marah, semua acara pernikahan ini kaya nggak pernah kasih aku ruang buat mikir, tahu-tahu udah jadi pengantin aja.”

“Kalau aku beri kamu ruang, yang ada kamu punya kesempatan untuk lari, itu nggak bakalan kejadian.” Aku mengelus pipinya, lembut seperti bayi, mungkin karena dia jarang sekali menggunakan make up.

“Jonah, seriusan kamu tuh gila!”

“Aku gila karena cinta aku sama kamu.”

“Basi!”

“Renata,” kataku lembut, membelai pipinya lama. Dia memiringkan bibir, begitu pula bola matanya bertumpu ke arah kanan. Menggemaskan, aku menarik wajahnya mengecup bibir lucunya. Dia ingin menarik diri, aku merasakan gerakan perlawanan, sontak aku menarik tubuhnya hingga berdiri lalu memeluknya erat hingga tidak lepas, dia selicin belut kadang.

“Hey, malam pengantin tuh, nanti malam salaman dulu noh sama tamu undangan.”

Sial! Aku lupa menutup pintu, Tante Ayu berdiri di depan pintu dengan wajah konyolnya,  sama gilanya dengan istriku, jujur saat di kantor melihat mereka berdua, aku tidak tahan ingin tertawa lebar, hanya saja aku harus menahan image dinginku saat itu.

“Iya, Tante,” kataku padanya. “Tante, siapa yang bakalan riasin istri aku buat acara nanti malam?”

“Memang kenapa?”

“Sama kaya yang tadi?”

“Mungkin. Katanya dia langganan keluarga Nata De Coco.”

“Iya emang kenapa Jonah?” Renata ikut bicara.

“Pokoknya buat acara nanti malam, aku pengen ganti tukang rias.”

“Kenapa? Emang ada yang salah sama riasan aku?”

“Bulu mata kamu, ngeselin.”

“Serah aku dong, aku tampil buat satu orang aja,” jawabnya acuh.

Aku menahan napas, aku tahu yang dia maksudkan itu adalah Reno. Memang penampilannya selalu menawan di depan pria itu. Saat pernikahan Sam, aku bahkan sampai tidak mengenalinya, bagiku saat itu dia sempurna, aku iri tentu saja, tapi rasa tanggung jawab dalam diriku masih ada, salahku hingga dia terpikat pada Reno, tak masalah, dia pria yang baik, meski percikan rasa cemburu itu jelas terasa di dada. 

“Kanjeng Ratu, aku lapar nih, ada makanan nggak di bawah?” tanya Renata memelas pada Tante Ayu.

“Ada dong,” balas Tante Ayu, “turun aja, atau mau di anterin?”

“Nanti kita turun,” kataku cepat, “Tante duluan aja.”

Tante Ayu berkedip penuh godaan, aku tahu maksudnya.

Begitu sahabat kental Ayahku itu keluar, aku menutup pintu kamar lalu menguncinya rapat. Saat ini, kami ada di rumah Nenek, lokasinya di tengah-tengah antara rumahku dan rumah keluarga Renata. Kenapa aku memilih tempat ini, karena aku tahu gadis yang aku nikahi itu menyukai tempat asri dan sejuk. Rumah Nenek adalah yang terbaik, rumahnya tidak begitu besar, namun memiliki halaman luas berumput hijau dan penuh bunga.

Serangan rasa sakit tiba-tiba menyambar pinggangku. Aku membungkuk dan mendapati wajah Renata melotot kejam padaku. Kali kedua dia melakukan hal gila setelah kejadian di depan toko bunga, jujur saja aku tidak mengira tenaga tubuh mungilnya akan cukup kuat.

“Nggapin ggak bilang sebelum kita nikah tadi kalau bulu mata aku ketebalan, berat tahu!”

“Mana aku tahu, tadikan seloyornya nutupin muka.”

“Hah!” Bahunya terguncang. “Gimana wajah aku do foto.”

“Peduli amet sama foto, yang pentingkan kamu cantik di saat bersamaku,” aku mengedipkan mata menggoda.

Dia mencibir kesal.

“Oh, yah, nanti malam acaranya sampai jam berapa?”

“Sampai pagi,” bohongku. Aku tidak akan mengganggu istirahat dari Ibu Ayah malam ini.

“Yah, kok gitu?” aku menangkap kelehan di wajahnya.

“Emang kenapa, kamu nggak sabaran buat ....”

“Enggak! Kita bakalan satu kamar but, hanya tidur, hanya tidur!” jarinya menunjuk-nunjuk wajahku.

Aku merengkuhnya sekali lagi mengecup bibirnya. Akan aku dapatkan lagi hatinya, meski harus membuat penjara yang berisi aku dan dia.

“Pegang janji aku, Na.”

“Janji apaan?” Dia meloloskan diri, menyambar ponselnya di meja.

“Hah! Sam dan Kara udah datang, aku mau samperin mereka.”

“Aku bakalan ikut!”

“Itu hanya Sam,” matanya membulat.

“Tapi dia cowo juga.”

“Dia udah nikah!”

“Bagi aku sama, pokoknya nggak ada peluk-pelukkan!” ancamku sungguh-sungguh.

“Hei, berlagak possessive?” tantangnya.

“Yes, I’m your possessive husband,” jawabku serius, kau miliku Renata, tidak akan ada yang bisa memisahkan kita, selamanya.

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Where stories live. Discover now