Dia Adalah Dia

1.4K 121 2
                                    

"Dasar istri bego!" cibirku menanggapi penolakan Renata pada kalung yang baru saja aku berikan padanya. Wanita di mana pun kalau diberikan kalung oleh suaminya seharusnya merasa bahagia bukanya menatap dengan wajah cemberut penuh penolakan serupa Renata.

"Jo, kamu kan tahu aku nggak suka pake perhiasan dan harga kalung ini mahal banget, dua puluh empat juta. Itu bisa buat makan setahun!" Dia mendelik tak mau mengalah.

Kotak kalung masih ada di tangannya.

"Nata, sayang." Aku memelankan suara, bagaimana pun juga aku tidak boleh emosi. Aku harus tetap tenang memberikan penjelasan sebelum nada bicaranya jauh lebih menanjak.

"Anggap aja kalung ini ...."

"Buat investasikan?" potongnya cepat.

"Nah itu tahu."

"Aku tahu soal itu! Cuman, kamu dapat uang dari mana?"

"Ngerampok bank," jawabku acuh.

"Nggak lucu! Meski kamu suami aku dari keluarga kaya, tapi kan sampai sekarang kamu belum punya pekerjaan, uang dari mana sih, Jo? Masa kamu mengemis sama Ayah?"

Aku menyilangkan tangan di dada, membenamkan semua emosi yang meruyak di jiwa, istri cerewet tapi aku sayang.

Aku memeluk Renata dari belakang, meletakan dagu pada bahunya yang perlahan menggemuk.

"Na, itu aku beli dari uang tabungan aku sejak aku SMA, ingat nggak dulu kamu pernah minta kado ulang tahun tetapi aku nggak sempat kasih, jadi hari ini aku pengen ngasih ini buat kamu, diterima dong, Cayang. Kalau enggak aku ngambek tidur di balkon nih!"

"Yeee, udah kaya anak kecil aja," katanya sembari berbalik ke arahku.

Renata mengalungkan tangannya di leherku, dia menatapku dengan bola mata yang cemerlang, bibirnya melebarkan senyuman manis, khas Renata, senyuman manis yang tidak pernah berubah semenjak pertama kali aku mengenalnya.

"Jo, aku tahu kamu pengen aku senang, tapi aku bukan cewe lain yang senang kalau di kasih perhiasan dengan harga selangit. Buat aku itu bukan berkah tapi beban. Kemana-mana jalan harus mikir, bakalan aman nggak ya? Jonah, buat aku yang paling penting itu, punya suami tampan dan nganenin kaya kamu."

Entah pujiannya tulus atau sekedar basa-basi merendahkan emosi aku tidak tahu, yang pasti saat ini aku merasakan kehangatan mengalir di area pipi.

"Aaaaa, suamiku cute banget ya, Tuhan," cekikik Renata melihat wajahku.

Aku meraup pinggang, lalu mengangkat tubuhnya hingga wajah kami berhadapan. Aku berikan ciuman di bibirnya. Pertama kali ya dia membalas ciumanku, membangkitkan gejolak tak tertahankan, tidak aku tahu ini belum waktunya, aku melepaskan ciuman kami dan menurunkan tubuhnya, aku melihat kekecewaan merambat di wajah Renata.

"Makan yuk," ajakku pura-pura melirik jam di dinding, pada hal masih tersisa waktu satu jam hingga waktu makan malam di rumah.

Alis Renata naik dan bibirnya mengerucut.

"Becanda. Oh iya, Na aku udah pesan tiket buat ke Swiss. Kita berangkat minggu depan."

Aku tidak melihat kegirangan di wajah Renata, dia malah duduk lesu di tempat tidur. Aku ikut ambil tempat di sebelahnya. Dia menatapku sekilas, kemudian melingkarkan tanganya di pinggangku, menyenderkan kepalanya ke bahuku.

"Jo, apa kita batalin aja rencana bulan madu itu," katanya pelan.

"Kenapa, Na?"

"Kita nggak usah keluar negeri."

"Hmmm, kamu maunya ke New York dulu kan?"

"Enggak!"

Aku bergidik mendengar suara bantahan itu, sangat tegas.

"Aku minta maaf sama kamu, Jo. Aku salah, harusnya semenjak kita menikah kemarin, aku udah harus menerima kamu, melupakan masa lalu."

"Na, aku bagian dari masa lalu kamu juga," kataku berusaha menghibur.

"Nggak Jo, aku salah."

"Na, aku paham kalau pada awalnya kita memang terlalu terburu-buru mengikrarkan janji, di saat aku tahu kamu masih belum bisa melupakan Reno, tapi semua aku lakuin supaya aku nggak kehilangan kamu lagi."

"Jo, besok kita ke bukit yuk."

"Seriusan?"

"Nggak becanda!" Dia mendorong tubuhku kuat ke kasur. Lalu pergi.

Lihat perlahan aku sudah menaklukkannya.

Komennya hayuuu.

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang