Weird Night

1.9K 171 1
                                    

Malam panjang ini tidak semerta-merta berakhir, Jonatan tidak mengizinkan Renata untuk pulang dengan alasan khawatir akan terjadi apa-apa padanya di jalan. Setelah ciuman tidak terduga itu terjadi, Jonatan meminta Renata untuk tidur saja di kamarnya sedangkan dia berbaring di sofa. Renata menolak dengan tegas dan memilih begadang saja sampai pagi. Di sofa panjang abu-abu dia duduk sembari menonton tv, sekarang baru pukul dua puluh dua lewat lima belas menit. Mendadak perutnya berbunyi nyaring.

“Ini harusnya bisa menjadi alasan untuk pulang,” celetuknya. Dia berdiri dengan semangat setengah berlari menuju kamar Jonatan.

“Jooooooo oooooo Jooooo!” teriaknya sembari mengedor-gedor pintu kamar.

“Apa?” Jonatan keluar dari kamar dengan wajah lecek. “Aku nyaris tidur malah kamu bangunin!”

“Aku boleh pulang yah! Yah!” tatapnya penuh harap.

“Kenapa tiba-tiba? Tadi kamu udah setuju!”

“Aku kangen sama kasur aku. Aku malas debat aja tadi. Aku nggak bisa tidur kalau di sini. Jo, please, jangan egois dan pikirin diri kamu sendiri!” kecam Renata tidak tahan.

Jonatan tersenyum, meletakan tangan di bahu Renata. “Ya, udah aku ambil kunci mobil bentar aku anter kamu sampai rumah.”

“Aku bisa naik angkot!”

“Nggak-nggak aku anterin aja!”

“Hiaaaaaa!” teriak Renata kesal. “Kamu masih sakit terus besok salahin aku lagi?”

“Ren ....”

“Enggak!”

Jonanatan memelas, bibir merahnya mengerucut.

“Nope! Udah ah, makin dingin aku mau pulang sekarang! Makin kamu tahan jiwaku semakin hancur!”

“Ya udah iya!” Jonatan mengalah, “tapi kita harus tetap terhubung biar aku yakin kamu sampai di rumah dengan selamat.”

“Kalau nggak selamat, arwah aku bakalan ngabarin!”  canda Renta garing, wajah Jonatan malah makin cemberut.

“Kamu maunya apa Jonatan? Kenapa kamu terus aja perlakuin aku kaya begini? Status aku ini apa sebenarnya?”

“Selingkuhan aku!”

Renata kehabisan kata, sontak dia mengentakkan kaki di lantai menyambar jaket di sofa lalu menarik pintu keluar.

🌹⚘🌹⚘🌹⚘😓

Lampu taman bercahaya temaram menaungi Renata, dengan tubuh bergulung selimut dia duduk menghabiskan sate sapi, mie kering juga semangkok bakso. Pikirannya benar-benar tertekan hingga tanpa dia sadari makanan yang dia beli untuk seluruh keluarga dilahapnya sampai tidak bersisa.

Tengah malam ponselnya berdering nyaring, panggilan dari Reno.

“Syukur lah, kamu masih kebangun,” suara Reno dari seberang.

“Emang kenapa?” ketus Renata kesal, moodnya hancur total.

“Loh, aku baru aja mau nanya soal pesan kamu tadi siang, aku kira kamu perlu sesuatu, maaf aku baru cek ponsel, banyak pasien yang harus aku tangani soalnya..”

“Pesan, pesan, pesan,” gumam Renata. “Astaga! Maaf, maaf, pesannya nggak sengaja terkirim terus lupa aku delete.”

“Oh gitu. Kamu kok jam segini belum tidur?”

“Tadi udah, kamu sih telepon tengah malam.”

“Maaf, maaf!” Rasa bersalah terdengar jelas dalam nada suara Reno.

“Bercanda, hehehe. Aku belum tidur kok, lagi menikmati pelukan malam.”

“Ada masalah lagi?”

“Kok tahu?”

“Tahu dong, kamu pikir aku lupa waktu kamu duduk di vila? Sam juga cerita kebiasaan buruk kamu itu ....”

“Makan orang kalau lagi kezel!”

“Na, Na! Ada masalah apa lagi sih?”

“Masalah status dan perasaan aku sendiri yang nggak bisa aku kendalikan. Kira-kira, Pak dokter punya solusi nggak ya, sama masalah hidup aku ini?”
“Kamu nanya aku? Emang apa bedanya apa sama kamu?” Reno balik bertanya.

“Kamu tuh kelihatan lebih kuat aja.”

“Kuat dari mana? Adanya kamu kali yang kelihatan tegar cuman agak gila di ...kit.”

“Terus kenapa masih mau temanan ama cewe gila?”

“Tuh kan bercandaku garing mulu.”

Renata tertawa. “Apa perlu komunitas patah hati aku rencanain di vila itu kita realisasikan, jadi lebih banyak  saran buat saling menguatkan begitu.”

“Aku sih satu aja cukup.”

“Wah, siapa tuh?”

“Renataaaaaaaaaaaaaaa!”

“Marah mulu.”

“Kamu sih. Ren, kalau misalkan kedepannya ... ini misalkan ... kalau ada orang yang tiba-tiba bilang suka sama kamu, kamu bakalan terima?”

“Misalkan? Hm. Aku bakalan terima, rasanya udah cukup deh aku digantungin gak jelas kalaya jemuran di tengah musim hujan. Aku bakalan nerima orang itu, tapiiiiiiiiii, aku bakalan ngejelasin sejelas-jelasnya soal masalah perasaan aku, dan kalau dia nerima itu dan bersabar nunggu sampai aku jatuh hati sama dia. Kalau dia bertahan, itu udah cukup, hati aku sepenuhnya milik dia.”

“Oh gitu.”

“Panjang-pannjang tanggapan cuman itu?” berang Renata. (Suara hati Penulis🤣)

“Abis aku harus ngomong apa? Aku tersentuh aja.”

“Hem. Pulsa aku hampir abis nih.”

“Aku yang nelponnnn!”

“Aku udah ngantuk dokter ganteng tapi emosinya kaya gunung api.”

Reno terdiam sesaat, ucapan Renata mungkin menjadi guncangan.

“Maaf, maaf,” ucap Renata buru-buru.

“Wah, kok jadi panas gini yah!”

Renata menepuk kening, meringis menahan malu, untung saja mereka bicara melalui telepon bukan bertatapan langsung. “Kesambet apa sih aku?”

“Kelinci.”

“Hm.”

“Minggu depan tanggal dua puluh dua, teman aku nikah. Kamu mau temanin aku ke sana nggak?”

“Boleh, pas tanggal merah kan?”

“Iya. Kamu mau?”

“Kan tadi udah bilang boleh. Reno, aku udah ngantuk banget nih.”

“Udah, sikat gigi terus tidur,” pesan Reno.

“Em, aku harus refresing bentar takut kamu numpang dimimpi aku.”

“Aku nggak keberatan kamu numpang di mimpi aku,” kata Reno pelan, “jadi monster.”

“Kamu jadi naga kepala tiga di mimpi aku.”

“Tega. Good night, Na.”

“Good night, kinci.”

Renata mematikan ponselnya. Bicara dengan Reno membuat dirinya jauh lebih tenang. Malam ini benar-benar panjang dan aneh.

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Where stories live. Discover now