Kisah tak berujung

1.6K 144 7
                                    

Tawa cepat sekali menguap pergi dari kehidupan Renata, secuilpun penyesalan atas kejadian barusan tidak mengusik hatinya. Mungkin ini adalah pembalasan paling sempurna untuk si jangkung nan angkuh dengan tabiat paling menyebalkan untuk seluruh planet.

Di depan ruangan IGD, Renata berjongkok, tanganya terbenam dalam helaian rambut dan kepala menunduk. Orang lain barang kali mengira dia tertekan oleh rasa bersalah telah mendorong pria setampan Jonatan hingga tersenggol mobil. Ya dia hanya tersenggol sebab, Reno muncul menjadi malaikat penolong, menyelamatkan saat-saat terakhir, keadaannya mungkin tidak berbentuk jika sang dokter tidak menarik tanganya. Dia sudah menghubungi Herman, tetapi nomornya sedang di luar jangkauan, jadi dia hanya mengirimkan pesan.

Kegundahan Renata lebih kepada pikiran Reno mengenai dirinya, bagaimana tanggapan seorang pria sebaik dan selembut Reno memiliki kekasih sebar-bar dirinya, dia sudah mempermalukan kekasihnya sekali dengan menghantam Jonatan di muka umum, dan sekarang mendorong tubuhnya hingga dia kecelakaan.

Renata berdiri perlahan, rambutnya benar-benar tidak beraturan entah dimanah ikat rambutnya menjatuhkan diri. Dia kembali menarik napas panjang lalu menyandarkan diri di dinding.

Reno berjalan ke arahnya menenteng sebotol air, dia sudah mengenakan jas dokter dengan kemeja biru di dalamnya.

“Kok kamu masuk kerja?”  Mengingat bagaimana pucatnya wajah Reno siang tadi dan sekarang dia malah bekerja,  darah Renata menanjak naik. “Kamu harusnya istirahat.”

Reno menepuk-nepuk punggung Renata. “I’m ok.”

“Ok? Reno, kamu sakit! Kamu sakit!”

Reno meraih punggung Renata memeluknya erat. “Tenangin diri kamu, Na.”

“Aku nggak bisa tenang ngeliat kamu kaya gini.”

“Bukan karena ....”

“Aku nggak peduli sama dia, mau dia mati juga ya udah biarin aja, aku, aku ....” Renata kembali menekan kepalanya kuat-kuat. Dunia tidak adil padanya, mengapa dia terus-menerus di tempatkan pada keadaan tidak menyenangkan serupa ini. “Kamu marah sama aku, Kan Reno?” 

“Marah? Kenapa aku harus marah?”

“Udah dong Ren, jangan terlalu lembut sama aku, aku makin merasa bersalah sama kamu karena aku terus aja ngelibatin kamu dalam kehidupan aku yang buruk ini.”

“Sayang aja kalau waktu aku dipakai buat marahain pacar aku, lagian kalau ini soal Jo, kamu kan dengar sendiri, sopir mobilnya yang salah, dia kebut-kebutan masuk ke dalam halaman apartemen karena dikejar sama polisi.”

“Aku nggak peduli, sama ... sama J ....” berat sekali mulut Renata mengucap nama si jangkung.

“Na, semakin kamu menghindar dari dia, semakin gencar dia ngejar kamu, aku nggak mau kamu terus dikejar sama dia, kamu harus temuin dia, nanyain apa yang dia mau, rasanya selama ini kamu kebanyakan lari sebelum dia bicara.”

“Aku nggak mau ngeliat muka dia!”

“Itu bukan cara menyelesaikan masalah. Kalian perlu bicara baik-baik, nanti kalau dia siuman kamu harus bicara!”

Reno tidak pernah bicara demikian tegas sebelumnya, titah itu tidak bisa dibantah oleh Renata.

“Tapi kamu juga harus pulang. Kamu harus istrihat! Gimana sih, kamu mau ngerawat orang kalau kamu sendiri lagi sakit. Atau aku temanin kamu ke ruangan pemeriksaan sekarang,  kok kamu bisa muntah-muntah kaya tadi?”

Reno menggeleng.

“Sekali ini aja kamu dengarin aku, yah? Aku mohon!” mata Renata berbinar, tanganya terpaut di depan dada. “Kamu pulang istrihat.”

Reno tidak memberikan tanggapan apa-apa.

“Apa perlu aku seret bawa kamu pulang?” nada suara Renata menanjak.

“Iya, iya aku izin, tapi setelah itu aku nemanin kamu di sini.”

“Pulang! Kamu percayakan, kalau aku nggak bakalan macam-macam sama Jon Lenon?”

Reno tersenyum miring. “Aku percaya kamu nggak bakalan ... apa lah istilahnya di kepala kamu, tapi ....”

“Tapi?”

“Tapi aku takut kamu malah bakalan ngecabut infus dan mencekik dia dia, mata kamu jelas banget memancarkan kebencian teramat sangat.”

“Emang keliatan?” Renata mengosok matanya. “Udah pokonya kamu pulang, kamu istirahat, kirimin aku bukti!”

“Iya, sayang.” Reno meraih kepala Renata mengecup keningnya.

“Aku bakalan anterin pulang, buat mastiin kamu sampai di rumah!” Renata menatap Reno tegas, dia menangkap gerakkan di bibir kekasihnya, “nggak, nggak! Nggak ada pembatahan! Sekarang, ayo pulang.”

Reno mengalah dia pamit sebentar untuk meminta izin pulang. Renata menanyakan kabar Jonatan pada perawat, kondisinya tidak begitu parah tetapi perlu rawat inap.

Ponselnya berdering, dia melihat layar, mantan atasannya memanggil.

“Saya sudah membaca pesan kamu, bagaimana keadaan Jonatan?” tanya Herman dari seberang.

Renata menjawab lurus apa yang dikatakan oleh perawat padanya.

“Bapak boleh memarahi saya,” tambah Renata selepas penjelasannya, “tetapi semua itu atas ....”

“Renata,  saya tahu ini pasti kesalahan Jonatan sendiri, tetapi mungkin kamu juga salah karena tidak bisa mengontrol emosi, hubungan kalian berdua seperti arus listrik bertenggangan tinggi, kalau bertemu bisa hancur.  Terima kasih, sesudah mau membawanya ke rumah sakit. Renata, kamu pasti tidak ingin berhubungan lagi dengan anak saya, dia mendekat mungkin karena ucapan saya tadi. Saya akan mencabut hal itu.”

“Benaran, Pak?” Renata nyaris melompat kegirangan.

“Asalkan kamu mau membatu saya untuk merawat Jonatan sampai dia keluar dari rumah sakit.”

Tubuh Renata lungali seketika.

“Saya mohon, Renata. saat ini kami sedang berada di Singapura, mau ke Perancis. Jonatan rela tidak ikut mengunjungi negara favoritnya. Sekali ini saja.”

Renata menurunkan ponselnya, kegirangan semenit yang lalu melengser pergi.  Ke mana lagi dia melenggang, Reno serta sang mantan atasan memintanya berhadapan kembali dengan pria itu.

“One more time, i will kill him!” tangan Renata terkepal.

Reno menepuk bahunya, dia bergidik terkejut.

“Aku balik sendiri aja deh, entar kamu cape bolak-balik.”

“Terus kamu bakalan kelayapan kemana gitu?”

“Nggak bakalan kok, kalau kesepian telepon aku yah.”

“Always.” Renata mencubit pipi Reno gemas. “Hati-hati di jalan yah.”

“Bentar.”

Reno mengelus kepala Renata, menarik helaian rambutnya perlahan lalu mengikatnya. “Gini kan lebih manis.”

Renata memeluk Reno erat, entah mengapa dia ingin memeluknya lebih lama.


🍀🍀🍀🍀

Renata membenamkan diri dalam majalah misteri guna mengusir kejenuhan menunggui Jonatan, pria itu belum juga bangun. Dia dipindahkan dari IGD sejam yang lalu dan sekarang belum juga  bangun. Renata melirik jam di ponsel, baru pukul sembilan malam. Renata masih merasa berada dalam lingkaran api, panas sekali berada dalam ruangan ini.

Herman mentransfer uang biaya rumah sakit, dia bahkan melebihkan agar bisa digunakan oleh Renata. Namun, Renata memilih tidak menyentuhnya sama sekali, toh dia juga tidak butuh apa-apa.

Kisah misteri di dalam majalah pada akhirnya membuat tubuhnya merinding melupakan sejenak dengan siapa dia bicara. Kisah horor mengenai rumah sakit berhantu menjadi cerita terakhir yang dia baca, saat dia menurunkan majalah dari wajahnya, ia hampir terjungkal dari kursi diserang keterkejutan.

Jonatan duduk bersandar di tempat tidur menatapnya. Sembari menarik napas secara teratur menenangkan detak jantung yang memburu, dia menarik kursi kayu memindahkan diri. Begitu duduk, mata Jonatan mengikuti. Renata kembali memindahkan dirinya, sekali lagi diikuti sorot mata Jonatan.

Renata ingin keluar, tetapi mengingat janjinya pada pacar dan juga Herman, dia duduk kembali ke tempatnya, di kaki tempat tidur Jonatan, menyilangkan kaki secara kasar, lalu menengadah, menutup wajahnya dengan majalah, bukan membaca benar-benar diletakan di wajahnya.  Tidak sampai semenit, majalah itu lengser.  Ia membungkuk memungutnya, kembali matanya menabrak Jonatan, pria itu tersenyum kecil. Ada luka kecil di antara kedua mata dan sedikit goresan di pipi kanan. Siku tangan kanan Jonatan Retak dan membuatnya sementara waktu menggendongnya seperti bayi.

“Aku haus,” ucap Jonatan serak.

Renata tersenyum sinis. “Noh ada di meja, ambil sendiri!”

“Tolong,” pinta Jonatan.

“Hais!” Renata membanting majalah ke lantai, dia berdiri menuangkan air dari teko kaca ke dalam gelas, dia menyodorkannya sekali sentakkan hingga isinya tumpah ruah mengenai selimut.

Jonatan menerima tanpa protes, menegaknya lalu memberikannya kembali pada Renata.

“Please jangan dibanting!” cegat Jonatan saat Renata mengangkat gelasnya tinggi-tinggi ke udara.

“Can you hear that?” Renata bicara pada gelas kaca di tangannya, “dia peduli saat aku membanting kamu, sedangkan saat harga diri aku dibanting, diinjek, digilas, dibakar, dilarutkan ke dalam neraka, dia tidak peduli. Splendid!” (Bagus sekali)

Renata meletakkan gelasnya di meja dengan lembut.

Jonatan menatapnya lama.

“Aku tunggu di luar, kalau butuh apa-apa teriak aja!”

“Di sini aja!”

Renata menarik kursi, duduk di sebelah Jonatan, menatapnya tajam. “Sekarang juga, bicara apa yang kamu mau dari aku, setelah menghancurkan hidup aku sampai kaya potongan cabe, tujuan pasti pengen ngulek sampai kaya bumbu pecel!”

“Pacar kamu di mana?”

“Bukan urusan kamu!”

“Urusan aku, aku belum ngucapin terima kasih sama dia.”

“Bisa bicara besok.”

“Dia terlalu tampan buat kamu.”

“Berhenti mengalihkan pembicaraan.”

“Kamu tetap lucu plus ngeselin kaya dulu.” Jonatan mengedipkan matanya berulang kali lalu menengadah ke angkasa. “Kaya badut.”

“Aaaa, i see. Semua kutukan kamu waktu itu, sekarang aku memang badut, tapi aku Peny Wise!”

“I’m sory for everything,” desis Jonatan.

“Sory? Sory?” Renata berdiri. “Di mana akal sehat kamu waktu manfaatin aku? Di mana hati nurani kamu ketika permaluin aku? Asal kamu tahu, aku bisa lupain semuanya tanpa kamu, dan di saat aku sama kamu lagi, semua luka itu balik. Kamu mimpi buruk, Jojo! ... Why i tallking to someone who never care. Tallking to the wind, i don’t speak wind!” Renata memukul kepalanya sendiri.

“Jadi kamu mau tadi saat kecelakaan itu, aku mati?”

“No, No, aku harap kamu langsung ke neraka! Kamu minta maaf juga bukan karena kamu peduli, tapi pengen fasilitas kamu balik benar kan?”

Jonatan tidak memberikan tanggapan apa-apa.

“Jangan kawatir, setelah kamu keluar dari ruangan ini, nggak bakalan ada kita lagi, forever.”

“Belum ada yang bilang putus ....”

“Ok, kita putus! Semua tentang kamu dan aku masing-masing kita lupain. Aku bakalan pake metode hipnotis sekalian biar bisa lupain kamu. Honestly, aku udah bahagia, i don’t care about you anymore.”

“Aku tahu, Na, aku udah sejahat itu, aku tahu hancurnya perasaan kamu dengan semua kelakuan aku, pada hal semua masa lah perasaan aku sendiri. Kamu berhak benci sama aku, tapi tolong jangan lupain aku!”











𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Where stories live. Discover now