Beda

3K 250 1
                                    



Herman membuat keputusan besar yang menggemparkan seluruh karyawan di gedung berlantai lima perusahaan jasa itu. Ia akan keluar negeri selama satu bulan dan sementara itu, Jonathan anak pertamanya yang akan memimpin. Mendadak saja tepat tanggal tiga puluh ia menyampaikannya.

Renata mempertanyakan posisinya pada Ayu, lantaran selama ini ia sering sekali berada di ruangan Bos besar dan seratus persen setelah dua pertemuan mereka yang tidak berjalan dengan baik, ia yakin sebaiknya jarak mereka terpajang cukup jauh.

“Ya, sudah, nanti aku yang turun ke bawah buat ngobrol,” tanggap Ayu. “ habis kamu sih, Na, pertemuan pertama pake natap si alis ulat bulu  itu tajam segala, ill feel lah dia.”

“Kok salahku?” Renata menggerakan vacum clenaer menyedot debu di atas karpet merah di depan meja atasannya. “Dia kan datang  nggak pake suara! Muncul aja kaya casper.”

Ayu mendadak menepuk jidatnya. Ini hari pertama Jonatan bekerja, dia sudah berdiri di belakang punggung Renata dengan tangan tersilang di dada. 

“Tante, selama aku bekerja, aku nggak mau dia di sini!” kata Jonatan pada Ayu serius.

Renata mengangkat tangannya,  tanpa sadar sudah melepas vacum cleaner, benda itu jatuh dan berdentum di lantai.

“Renata Patricia Dior!” seru Ayu gemas. Tangannya tertancap di pinggang, pipi mengembung serta mata terbelalak.

Napas Renata tertahan, ia berlutut meraih vacum cleaner di lantai. Semburat merah merambat pipinya bak tetesan tinta jatuh ke atas tetesan tissue. Dalam hati dia mengutuk diri, kenapa selalu saja seperti ini jika mereka bertemu?

“Bu Ayu mau dibuatin kopi?” tanya Renata sebelum keluar, mengabaikan tatapan Jonatan yang masih terpaku ke arahnya.

“Amensia?” Ayu memutar bola matanya.

“Jangka pendek.” Renata tersenyum sembari membuat gerakan menembak kepalanya sendiri. Ia tahu pagi-pagi, kopi susu pake creamer tanpa gula untuk Ayu dan satu cangkir susu jahe untuk Pak Herman.

“I have to go!” desisnya sembari memacu kaki menjauh.

“Jonathan,” gumam Renta di dalam lift, “dua tahun ini aku sudah berusaha melupakan namanya, kenapa di saat aku nyaris berhasil melupakan, orang dengan nama yang sama malah muncul? Apakah artinya aku nggak boleh ngelupain dia? How sadness you are!”

Renata mengentakkan kakinya di lantai, saat pintu lift terbuka, ia keluar dengan tangan menyeret vacum Cleaner. Beberapa karyawan wanita menatapnya dengan senyuman lebar.


“Pindah posisi sekarang, Na?” sosor Nadia, bagian costumer service. Dia mendapatkan gelar paling genit dengan pakaian ketat ditubuhnya setiap hari.

“Ganti posisi?” alis Renata terangkat.

“Yaaaa, nggak mungkin dong selera anak sama Bapak sama,” kekeh Laura di sebelah Nadia.

“Loh, aku ini hanya cleaning service, kenapa debatin soal posisi?” Renata mengangkat bahu, sudah sering dia mendengarkan gosip-gosip miring mengenai dirinya, sampai dicap orang ketiga di rumah sang bos. Ia santai saja dengan wajah batu, tujuannya sederhana bekerja dengan baik, mengumpulkan uang lalu mewujudkan impiannya membangun butik dan sebuah rumah bergaya victoria. Namun, ketika hatinya sudah terlalu penuh menampung semua cerita menyebalkan itu,  ia menceritakannya pada Ayu. Hasilnya para pengedar gosip mendapatkan SP tiga.

Renata berjalan ke dapur setelah meletakan peralatan kebersihannya di gudang, mengambil cangkir khusus Ayu membuat pesanannya. Lisa dan Damar muncul, langsung duduk. Mereka baru selesai membersihkan lantai satu dan dua. Ina si teliti selalu datang belakangan. Ruangan ini dengan meja bundar di tengahnya selalu jadi tempat tongkrongan saat jam kosong.

“Istrimu melahirkan bulan depan kan?” tanya Lisa pada Damar.

“Ia, Bu,” jawab Damar. Ia menghela napas panjang. “Pada hal saya sudah menyisihkan uang buat lahiran, tapi kemarin kepake waktu Bapak mertua sakit. Harus cari pekerjaan tambahan lagi untuk biaya rumah sakit dan perlengkapan bayi.”

“Kita bisa patungan,” timpal Renata, “nanti aku yang ngedarin kotak sumbangan. Jadi Ayah baru harusnya semangat dong, Pak Damar.”

“Ya, kali Ren, orang-orang di sini mana mau bantuin, kamu kan tahu sikap mereka bagaimana? Beda status mah.”

“Namanya juga usaha.” Renata meletakan kopi yang sudah dia buat di meja lalu menarik kursi dan duduk.

“Ada tape goreng, kalian mau?” Lisa menawarkan kotak biru ke arah mereka.

“Yah, mau!” Tangan Renata cepat terulur.

“Renata!” panggil Ayu melalui pengeras suara, “tolong ke lantai lima sekarang!”

Renata mengela napas. “Almost!”

“Tenang kita sisain buat kamu,” kata Lisa meyakinkan.

“Hoke!” ia mengambil cangkir, memindahnya ke atas talenan. Pelan sekali langkahnya, tidak ingin setetes pun melompat keluar dari cangkir. Sudah pasti Ayu akan mengucurkan omelan.

Wajah Ayu serius di depan komputer, artinya dia hanya perlu kopi tanpa bicara.

Ruangan sudah dibersihkan, kopi sudah disajikan, tugas Renata pagi ini sudah selesai. Sisanya akan dia habiskan di dapur menunggu panggilan, jika ada yang butuh bantuan. Ia melangkah ringan keluar ruangan Ayu.

“Tawarin Jonatan minum!” tahan Ayu.

Renata berbalik, memastikan apa yang dia dengar barusan.

“Ia, tanyai dia mau minum apa, biar sekalian saja.”

Bahu Renata berubah lemas. Bibirnya terkulum, perlahan bergeser ke depan pintu kaca ruangan Jonatan. Ia membuang napas kasar sebelum mengetuk pintu.

“Masuk!” sahut Jonathan dari dalam.

Renata tidak berani mengangkat kepalanya. “Bapak, mau dibuatin minum?” tanyanya pelan.

“Adanya apa?”

“Kopi, teh, susu jahe,” lafal Renata.

“Nggak ada yang lain?”

“Vodca, bir, tequila, adaaaa di bar.”  Renata menekan kepalanya ke leher hingga menyatu.

“Kamu pikir itu lucu?” Jonathan berdiri melangkah ke dekat Renata lalu dengan ujung jarinya dia mengangkat kepala gadis itu. “Jawab!”

“For my own self.” Renata menggerakkan bola matanya ke potret besar Pak Herman di dinding.

“Aku bukan Ayah aku, jadi tolong kamu bedain.” Tangan Jonatan masih menahan dagu Renata. “Anyway, bukan karena nama aku sama dengan nama mantan kamu, kamu bisa seenaknya bertingkah.”

Renata mengangguk kaku. benar, hanya namanya mereka yang serupa sedangkan sikap mereka  adalah ujung bumi. tapi bagaimana Jonathan tahu, apa semua obrolan tidak penting  mereka di kantor di ceritakan oleh Sang Bos dan sekretarisnya?









𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Where stories live. Discover now