Bagaimana

2.3K 236 4
                                    

“Aku harus bagaimana, Samuel Edwin Wijaya?” teriak Renata frustrasi ke ponsel. Sudah pasti Sam menjauhkan ponsel dari telinga mendengar petir bicara.

“Emang mau kamu gimana?” Sam balik bertanya.

Renata mengacak-acak rambut hingga tidak berbentuk, matanya menatap ke bawah dari tepian gedung seolah dia akan melompat, saat ini dia berdiri di atap kantor. Ada tangga besi di bagian belakang yang biasa digunakan siapa pun untuk ke atap. Pagar pengaman melingkari gedung jadi tidak akan ada yang bisa melompat kecuali menggulingkan diri di tangga.

“Kok balik nanya!” cecar Rena, “aku butuh solusi bukan pertanyaan retoris!”

“Itu bukan pertanyaan retoris! Seriusan kamu maunya apa?Perasaan kamu gimana?”

“Yaaaa, masih sama.” Renata menggigit jari telunjuk. “Am i?” Renata mencengkeram pagar pembatas, dadanya menabuhkan genderang kegalauan.

“Rena, sahabatku yang nggak bisa move on, kalau perasaan kamu masih sama, perjuangin aja.”

“I hope so.” Suara Renata melemah. “Tapi, sekarang keadaan udah beda. Jonathan itu langit dan aku lapisan bumi ke tujuh.”

“Jauh amet.”

“Memang gitu kenyataannya. Dulu, Jonathan itu gemesin sekarang tampannya luar binasa, artinya standar dia juga udah beda, iya kan? Apa iya takdir udah negasin aku buat milih orang lain? Beside, dia udah punya cewe lain!"

"Kamu yakin dia udah punya orang lain?"

"Sure, tampangnya aja kaya playboy kelas berat begitu! What i'm gonna do?"

“Ren, aku percaya kamu kuat, banyak kok yang bakalan sayang sama kamu asalkan kamu mau membuka hati kamu buat mereka. Atau mau aku lelang aja?"

“Ya, udah. Makasih waktunya.”

“Aku lagi di rumah, anti malam ke rumah, aku masakin!”

“Enggak, masakan kamu kan nggak enak!”

“Dah pokoknya mampir!” seru Sam, kali ini Renata yang menjauhkan ponsel dari kuping.

Jam makan siang sudah berakhir, Renata memasukkan ponselnya ke saku, siap untuk turun.

Pigura berisi foto Jonathan di masa lalunya sudah mengguncang batin. Jonathan mengenal dia, tapi memilih mengabaikannya tanpa menyebutkan namanya sekali saja. Hubungan mereka mungkin hanya sepenggal masa lalu kelam di kepala Jonathan. Dan paling penting, posisi mereka sekarang adalah dinding tinggi, dia harus mundur. Lupakan, masa lalu hanya sekeping kenangan yang akan muncul diwaktu tertentu, bukan kepingan yang dirakit dan diulang kembali.

Selepas makan siang, para cleaning service akan membersihkan lobi khusus klien konsultasi yang nyaris penuh setiap hari. lalu kembali diam sampai kantor bubar.

Ayu sangat sibuk hari ini sampai tidak memiliki waktu untuk berbincang dengan Renata setelah berbelanja baru sampai sore tiba ia masuk menenteng peralatan kebersihan.

“Lesu banget sih, Nata De Coco?” tegur Ayu, “nggak biasanya kamu kek gini? Datang bulan?”

Renta menggeleng dengan bibir mengerucut. “Bu, Pak Jonathan kan nggak suka ngeliat aku, jadi kalau aku tukaran sama yang lain aja, bisa kan?”

Ayu terdiam, matanya terpaku pada Renata menelusuri wajah gadis itu, keningnya mengerut dan alis menukik tajam seperti elang hendak menyambar mangsa.

“Kamu serius? Pada hal enak loh setiap hari ketemuan sama Bos tampan.”

“Kalau masalah cogan, Pinterest  punya banyak kok, Bu. Sekali Klik, sepuluh foto masuk galeri.”

Ayu menaikan bibir lalu berdecak kesal.

“Gima, Bu?” Tangan Renata tertangkup di dada, matanya membuka lebar tetapi sangat sayu.

“Aku tanyain dulu sama Herman.”

“Pokoknya nggak lama Bu, satu bulan aja sampai Pak Jonathan selesai.”

“Aku tanyain Jona dulu ....”

“Bu, ngapain lagi nanyain Pak Bos? Toh secara terang-terangan dia nggak suka ngeliat aku.”

Ayu menggelengkan kepala tegas.

Renata menghela napas melanjutkan pekerjaannya. Begitu selesai, dia harus masuk ke ruangan Jonathan. Ia mengetuk pintu kasa, mendorongnya sedikit hingga bisa melihat langsung ke meja Jonathan.

“Selamat sore, Pak,” sapanya kaku.

“Kenapa?” Jonathan tidak berpaling dari gawainya.

“Maaf, Pak. Boleh saya bersihkan ruangannya?”

“Serah.”

Renata menggigit bibirnya. “Saya serius, Pak.”

“Aku nggak bercanda!” balas Jonathan ketus.

Mata Renata dibaluri kristal air mata, gumpalan perasaan menusuk dadanya. Tubuhnya ikut berguncang.  Setelah bertahun-tahun penantian, inikah nasibnya?

“Kalu begitu saya bersihkan besok pagi," ucap Renata setelah berhasil mengusai dirinya dari kekalutan ini.

“Sekarang!”

“Baik, Pak.”Jawab Renata cepat. Dia berjalan masuk pelan sekali, lalu mulai membersihkan ruangan diawasi mata Jonathan. Renata mengatur pernapasannya , tubuhnya masih bergetar hebat, jika begini terus bisa-bisa bukanya membersihkan ruangan dia malah akan membuatnya kacau balau. 

“Tumben wajahnya kaya kain lap tua gitu?” pertanyaan Jonathan membuat Renata bergidik kaget, ia harus mengela napas berulang kali menetralkan jantung.

“Kamu kenapa sih? Patah hati?” tanya Jonathan lagi.

“Nggak apa-apa, Pak." Renata mempercepat gerakan tangannya, situasi ini makin berat dari menit-menit ke menit. Perhatian Jonatan malah menyerupai sapi yang jatuh dari langit ke kepalanya.

"Yakin. Kamu nggak keliatan baik loh!"

Renata mengeleng tanpa melihat Bos barunya. Semakin cepat pekerjaanya selesai semakin cepat dia pergi. Begitu selesai, dia berlari keluar tanpa kata.

Dalam lift ia membuang napas lega berulang kali. “Seriusan kalau selama sebulan dia bekerja di sini, artinya kita bakalan satu atap selama 288 jam?  God help me!”

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang