Why Not

1.3K 120 1
                                    

“Ganti!” perintah keluar dari mulutku saat melihat penampilan Renata. Dia mengenakan gaun biru Navy dengan belahan dada terbuka, sebagai laki-laki normal, aku sangat ingin menerkam wanita yang resmi menjadi istriku, bukan masalah tentu saja, tetapi sebagai hati yang juga memiliki hati dan sadar akan posisi, niat ini aku tekan dalam-dalam.

“Ganti?” Renata menatapku, “gaunnya bagus loh!”

“Nggak boleh ada laki-laki lain yang bisa ngeliat tubuh kamu dari sini!” Aku menekan leher bawah Renata membentuk garis panjang di sana.

“Jo, pantai panas!”

“Bukan berarti kamu make baju kaya gitu dong, mana panjangnya di atas lutut!”

“Ok, sayang,” jawabnya lembut, sialan aku tidak tahan lagi mengambi jarak, baru saja kaki panjangku mengambil langkah dia mendelik dan mengarahkan tanganya padaku. “Diam di situ, monster!”

Aku mengulum bibir menghentikan kaki dengan satu entakkan keras.

“Aku pakai gaun putih yang dulu aku pakai buat nikahan Sam aja,” katanya kemudian.

“Nggak boleh!”

Renata memiringkan kepalanya ke kanan sembari menggigit bibir dan mata yang mengecil. “Kenapa enggak!”

“Gaun yang kamu maksud itu yang kamu pakai buat berduaan sama Reno di pojokkan dulu kan.”

Renata terdiam, bibir bawahnya maju. Ok tanggapan yang menyebalkan, harusnya aku tidak mengatakan itu, tetapi dia akan pergi bersamaku dan aku tidak ingin kenangan dalam kepalanya terbawa serta.

“Jadi aku pakai baju apa?” tanyanya pasrah.

“Aku yang ambilin.”

“Ya udah, aku dandan dulu.”

“Lama, pakai sun screen sama lipstik aja!”

“Jonah!” aku mendengar teriakan kekesalannya, tidak Renata kau hanya boleh tampil cantik untukku bukan untuk lelaki lain.
*****

Dia sama panasnya dengan bola purba yang teriknya tengah menyinari kami semua di sini. Meski dia terlihat menikmati embusan angin pantai sesekali atau menggoreskan kaki berbalut sepatu flat shoes hitamnya ke pasir pantai, tetap saja dia menatapku dengan tatapan yang sarat akan kebencian, karena aku hanya membiarkannya menggunakan kemeja putih, dan rok tartan selutut.
Mata Renata mengecil, dia berusaha melindungi penglihatannya dengan tangan.

“Kan, tadi aku udah bilang bawa kaca mata!” semburku cepat melihat kekalutannya.

“Bodo amet!” jawabnya tak kalah ketus.

“Ih, sayang! Udah dong ngambekannya, kamu jelek tahu kalau gitu mulu,” godaku.

“Serah!”

Aku mengalah, bukan waktu yang tepat untuk membujuknya, tetapi aku tahu sebentar lagi setelah acara nikahan ini selesai, aku yakin dia akan menanggalkan rupa itu. lagi pula, aku tahu Renata bukan orang yang mudah membaurkan diri dalam keramaian, toh dia nggak kenal sama orang-orang di sini juga.

Akad sudah selesai, kami berdua mengikuti urutan memberikan salaman.

Aku penuh rasa percaya diri melangkah di depan Renata. Mata Adam berbinar bahagia, tapi rasanya tatapan itu bukan padaku melainkan pada sosok mungil di balik punggungku ini.

“Look what i got!” ucap Renata sembari menggeleng-gelengkan kepala, dia berjalan melewatiku dengan sengaja memberikan senggolan.

“Wah! Ini nih si Nenek sihir,” kata Adam, “datang juga, pada hal aku ke rumah nganterin undangan katanya kamu udah nikah duluan.”

Wait, ada suatu.

“Nih, katanya pria ini teman kuliah kamu dulu.” Tangan Renata menunjukku.
Pria ini? Awas kau!

“Renata, Renata!” komentar istri Adam, “penampilan kamu dari jaman SD sampai sekarang masih gini aja?”

Dia tersenyum lebar sekali aku tahu ada pemaksaan di sana, dan salah satu kakinya sudah menginjak sepatu kuat, sakitnya menjalar hingga ke ubun-ubun.

“Jadi, ramalan aku soal kalian dari kelas tiga SD itu udah kejadian kan, elah sok nggak mau,” kata Renata.

“Kayanya aku dikacangin nih,” ucapku pada Adam.

“Maaf, Bro! Nggak nyangka aja istri kamu ternyata teman SD aku yang dulu ngejodohin aku sama Puput.”

“Seriusan?”

“Ini udah kejadian,” kata Putri sembari tertawa.

Aku hanya bisa menatap Renata, jadi sejak menerima undangan dia pura-pura tidak mengenal pasangan ini, pantas saja dia ngotot mau datang meski semalam terserang demam.

Setelah percakapan panjang yang harus disudahi lantaran antrean orang di belakang, kami meninggalkan pelaminan.

“Jo, setelah makan kita jalan-jalan, yah,” ajak istriku.

“Nggak mau, kaki aku sakit aku injak.”

“Masa?”

Dia pura-pura bodoh atau apa.

“Coba aku lihat!”

“Males ah!” Aku menggeserkan kaki saat dia menunduk melipatnya ke bagian dalam kursi plastik putih yang kami duduki.

“Ok! Untung kalau ngambek kamu cute,” ucapnya membuat telingaku seketika memerah.

Renata mendadak berdiri, berjalan meninggalkan tempat acara, mau tidak mau aku menyusul, membiarkannya sendiri, no way!

Dia berjalan cukup jauh dari tempat resepsi, tidak sadar aku ikuti. Dia mengabadikan bentangan biru di depan dengan kamera ponsel. Ulang tahunya Januari, aku sudah menyiapkan kamera idamannya sebagai kado.

Aku mengedap di tengah suara deburan ombak membuai, aku memeluknya dari belakang. Dia tersentak, ponselnya jatuh ke dalam air.

“Jonah!” Renata buru-buru menyelamatkan benda berharganya.

“Apaan sih, ponsel doang! Beli aja lagi, keluaran baru yang paling mahal sekalian!” gusarku, dia bahkan lebih perhatian pada ponsel dari pada aku.

“Ini bukan masalah ponselnya, tapi kenangan di dalamnya.”

“Mulai deh!” desahku malas.

“Jo, nyari kelapa muda yuk, aku ngidam.”

“Apa?” Aku mersakan getaran kejut menembak jantungku. “Seriusan, Na? Kamu ... kamu. What the ....”

Renata tertawa terbahak-bahak sampai memegang perutnya sendiri.
“Apa yang lucu sih?”

Renata malah memelukku erat.

“Wajah kamu, jangan sampai kamu kira aku selingkuh?” katanya kemudian dengan napas tersengal.

Aku melepaskan pelukannya, meski aku menyukai itu.

“Aku ngidam karena mau datang bulan,” ucap Renata kemudian.

Bahuku langsung terkulai lemas.

“Ayo lah, Jonah. Cari kelapa muda yuk, aku lihat di sana ada kedai kecil gitu.”

Aku tidak mempedulikan ucapannya lalu menarik tangannya.

“Ayo cari hotel, aku bakal bikin kamu ngidam benaran.”

Wajahnya pucat seketika.

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang