Memori

2.6K 233 2
                                    

Para malaikat seakan baru menyapu langit hingga gumpalan awan secuilpun tidak terlihat. Di bawah birunya angkasa, ilalang kuning musim kemarau panjang menari dimainkan oleh embusan manja anila.

Renata menghalau panas matahari yang menerpa wajahnya. Ia kemari bahkan tanpa mandi, hanya membasuh muka dengan air dan kumur-kumur. Ia biasanya lebih rapi kalau saja tidak bangun kesiangan. Jaket parka serupa warna teh maca melekat di tubuhnya dan celana olah raga biru panjang di bagian bawahnya.

Ritual bulanan dari Renata Patricia Dior mendatangi tempat ini, kapan dia bisa. Terkadang seminggu sekali atau hanya satu bulan sekali, pastinya dia tidak akan pernah mengalpakan tempat ini dari tempat yang harus dia kunjungi, meski hanya sekedar mengelupas kulit-kulit pohon kering atau mencabuti semak-semak di sekeling pohon.

Sapta Siaga mengajarkannya untuk tidak mengukir nama pada batang pohon itu meski pun dulunya dia sangat ingin. Jonathan juga menghendaki hal yang sama, mereka berunding hampir satu jam hanya untuk hal itu.

Renata mendekat ke arah pohon cemara tua, ia menarik napas lega, menatap padang ilalang di sekitar.

“Everything is good old tree?” katanya sembari membelai batang pohon tua itu, “i realy miss him a whole week. Sounds like the insane girls tallking.” Renata memegang kepalanya dengan kedua tangan. “Where is my pao-pao?”

Tangannya berpindah ke pinggang, ia ingin berteriak  sekencang mungkin, tapi dia terlalu lelah untuk menjadi buronan sapi-sapi liar yang biasanyamerumput di sekitar sini seperti dulu.

Jonathan si pipi bulat yang selalu merah ibaratkan tomat segar. Tubuhnya yang mengentakkan bumi saat harus berlari, kemilau netranya ketika tertawa. Dan kegigihannya menolak Renata pertama kali. renata memiringkan bibir. “Kenapa aku harus mengingat itu?”

Lapangan sekolah, dan murid-muridnya yang berjumlah ratusan menjadi saksi hari penolakan paling memalukan seumur hidup Renata.

“Nggak, nggak kamu bohongin aku!” katanya dulu setelah Renata mengungkapkan perasaannya di depan sang pria pujaan.

“Aku nggak bohong, Jo. I love you, just the way are!”

“Jauh-jauh sana!” bentak Jonathan, “Aku nggak mau lagi liat muka kamu. selamanya!”

“Ok! Aku emang sejelek itu.” Lutut Renata lunglai, dia nyaris ambruk di depan Jonathan, pada hal selama ini dia berjuang agar bisa mendekatinya, mengiriminya coklat di hari Valentine, rela kembali sekolah saat hari hujan demi memberikan Jonathan payung. Dia manusia paling tidak peka di dunia. Renata pantang menangis, sebagai gantinya semua kekesalan  dan rasa malu menumpuk di dada, menggumpal hingga ia panas tinggi selama tiga hari.

Samuel meneminnya sepulang sekolah, dia terbiasa dengan kamar kecil penuh perabot milik Renata. Gadis patah hati itu hanya bisa duduk dengan handuk basah menempel di kepala.

“Ren, kamu baiknya lupain Jonathan deh, aku bisa kenalin kamu ke Arya, teman aku di SMA, dia baik dan ketika aku ngomongin tentang kamu ke dia, dia mau kenalan sama kamu.”

“Nope. Semua nggak semua itu, Sam!” Renata menurunkan kompres lalu melemparnya ke baskom perak di atas nakas. “Masalahnya perasaan aku tulus, ini benaran rasa cinta, kamu pengen miliki seseorang bukan karena what he look like but, all of him. Tanpa syarat apa pun.”

“Kapan rasa itu dimulai?” tanya Sam. Ia menatap ke luar jendela sembari mengunyah buah jeruk yang dia bawa sebagai bingkisan untuk Renata.

“Mungkin semenjak nawarin aku tumpangan waktu terlambat ke sekolah, atau semenjak aku sekelas sama dia dan tiap hari dengarin cara dia ngomong, lembut, perhatian. Atau mungkin aku senang aja kalau lihat dia ketawa matanya ikutan menyipit.”

“Itu yang kamu bilang tanpa syarat?”

“Karena aku nggak tahu cara ngejelasinnya! I just want him! That’s it!”

“Terussssssssssssss!” Sam berbalik ke arah pintu, menyilangkan tangannya di dada. “kalau kamu udah pacaran ama dia, kamu bakalan mita dia buat ngelamar kamu so ... happily ever after.”

“Shit!” Renata  menyambar bantal lalu melemparkannya ke arah Sam. Ia mengelak selincah karet gelang. Sebagai gantinya benda empuk itu menubruk sosok bulat yang baru tiba.

“Sory, sory!” Renata buru-buru bangkit dari tempat tidur. Setengah tidak percaya yang datang berkunjung adalah Jonathan.

“hey, dude what’s up?” Renata menyapa canggung. “Kamu pasti salah alamat, Diandra rumah di sebelah, pagar putih cat kuning.” Diandra anak kelas sebelah, sang Dewi idola kaum adam.

Jonathan tetap diam dengan kantong kertas di tangannya.

Renata menatap penuh harapan ke pada Sam, mengeluarkannya dari situasi ini, cowo itu malah pura-pura membereskan kulit jeruk.

“Oh!” Renata menepuk jidatnya. “Kamu pasti malu banget sama kejadian dua hari lalu, don’t worry, aku siap bertanggung jawab untuk apa yang sudah aku perbuat. I will do anything, meski harus pindah sekolah.”

Jonathan mendekat ke arah Renata mengangkat tangan kanannya.

Renata memejamkan mata, memiringkan pipi agar mudah di tampar, itu yang terlintas di benaknya. Bukan, tangan Jonathan tidak mendarat di pipinya, tapi ke jidatnya.

“Jadi, kamu benar demam?”

“Sedikit,” balas Renata nyaris tidak terdengar.

“Sedikit, bohong tu Jo! Kemarin kita pada panik, udah jalannya kaya zombie!”

“Diam!” Renata mendelik ke sahabatnya. “Jadi, kenapa kamu kemari, Jo. I mean, you shoul not ....”

“I miss you!” cicit Jonathan.

Renata dan Sam saling berpandangan.

“Telingaku bermasalah. Sam siapin motor, kita ke dokter THT sekarang!”

“No, please. I mean i realy miss you. Dua hari tanpa kehadiran kamu udah mengubah segalanya. Aku minta maaf udah nyakitin kamu kemarin. Harusnya aku langusung bilang ia. Aku harap isi hati kamu nggak berubah. Will you be my gilr friend, Renata?”

Renata menyilangkan tangannya di dada, raut gembira sedetik tdi jadi muram. “Remember what you said? Kamu nggak mau ngeliat muka aku lagi, selamanya.”

Jonathan menggelengkan kepala. “Sory!”

“You know what.” Renata menapa langit-langit kamarnya. “I still love you!”

Jonathan menarik napas lega.

Sam menggigit bibir dengan mata terbelalak.  “So kapan mau kawin?”

Hari itu di akhiri dengan penganiayaan terhadap Samuel.

Renata tersenyum mengingat kejadian itu. “Dimanah dia berada sekarang. mungkin Sam benar, dia hanya kepingan masa lalu yang harus aku lupakan!”

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Where stories live. Discover now