Realy

1.6K 120 3
                                    

Renata membuat kepalaku hampir pecah, pintu yang terkunci akhirnya bisa kau buka dengan susah payah tanpa mengeluarkan suara agar Ayah atau pun Ibu tidak mengetahui masalah kami. Aku sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah sendiri.

Jujur aku sama sekali tidak menyangka dia akan senekat itu dan benar-benar keluar dari rumah.

Aku menyambar kunci mobil dan melajukannya di tengah kegelapan malam.

Perasaanku menasihatku untuk melajukan mobil dalam keadaan pelan, sebab jika dia naik taxi, aku tidak akan kawatir dia akan segera tiba di rumah, tetapi kalau tidak aku masih bisa menemukannya di jalan ini.

Ketakutanku hanya satu, bagaimana kalau dia menuju tempat peninggalan Reno semalam ini. sial! Harusnya aku lebih hati-hati memilih kata.

Jalanan malam yang sunyi, hanya samar-samar cahaya lampu jalan tua yang sesekali berkedip menyirami jalanan.

Kakiku serentak menginjak rem melihat Renata di depan sana, dia tengah menahan ojek yang lewat. Cepat-cepat aku berlari menuju ke arahnya menerima helm yang diulurkan oleh tukang ojek atau hanya pria yang mencari kesempatan di jam-jam seperti ini. Nyaris aku melayangkan tinju ke wajah tukang ojek di depanku. Renata cepat menahan.

“Apa-apaan sih!” cecar Renata marah. “Aku cuman mau pulang ke rumah!”

“Kamu istri aku, rumah kamu sama aku!”

“Wah, suaminya toh,” timpal si tukang ojek tanpa diminta. “Ayo atuh pulang bareng suaminya. Masa lah teh, nggak bisa selesai kalau lari.”

Renata masih bergeming, aku tersenyum tipis pada pria paruh baya berhelm biru itu, kalimatnya boleh juga.

“Bapak nggak tahu masalahnya apa!” dengus Renata dengan tangan tersilang di dada.

“Ya, saya emang nggak tahu, tapi ini sudah malam, nggak baik kalau wanita berkelana. Suami baik dijaga toh, Mbak.”

Aku mencengkeram bahu Renata. “Kamu boleh ketemu sama Sam besok,” berat sekali rasanya memberikan persetujuan ini.

“Itu nggak bakalan ngubah keputusan aku.”

“Na, kamu udah janji.”

“Ok!” teriaknya nyaring. Dengan langkah mengentak dia melangkah ke mobil, membuka pintu lalu membantingnya kuat.
Aku beralih pada si tukang ojek sembari merogoh saku jaket, kemarin aku menyelipkan uang seratus ribu, benar masih ada. Aku mengulurkannya pada si Bapak.

“Loh, saya kan nggak jadi ngojek,” katanya dengan senyuman lebar.

“Nggak apa-apa, Pak.  Anggap saja sebagai ucapan terima kasih sudah membantu saya menangani ....” aku menoleh ke arah Renata.

Saat aku berpaling kembali ke depan, pria itu menghilang bahkan tanpa suara deru mesin sama sekali.

Aku menoleh kiri dan kanan mencari jejak, sungguh kejadiannya hanya satu detik.
Hawa dingin menusuk tulang dan bulu kudukku tegak berdiri, mengambil langkah seribu aku menuju mobil.

Wajah Renata pucat pasi di dalam mobil, matanya melotot ke depan dan aku tidak merasakan embusan napasnya. Cepat aku memberikan gu8ncangan kuat pada tubuh istriku itu.

“Jo, barusan orang apa setan?” lirihnya.

“Kan tadi kamu yang nahan ojeknya,” ucapku berusaha menenangkan diri.

“Seriusan aku lihat dia ngilang waktu kamu noleh begitu aja, kaya ....”

“Udah-udah, ini jalanan sepi banget kita pulang ngomog di rumah.”

“Tapi aku nggak mau sekamar sama kamu malam ini!”

“Iya, aku bakalan tidur di balkon atau enggak di sofa ruangan tamu juga, penting kita sampai di rumah dulu.”

Renata mengangguk meski rupa kepala batunya masih melekat.

Aku menyalakan mobil dan memutar arah di persimpangan untuk kembali ke rumah.

“Gimana kapok nggak kabur? godaku meski detak jantungku masih tidak menentu. Ok aku bukan orang percaya pada hantu dan kepalaku masih mencari penjelasan paling logis untuk kejadian ini. Aku sangat pesimis pada keinginan Renata untuk tidur sendiri setelah kejadian ini.

Tiba di rumah, kami sama-sama menyerbu dapur dan berebut mengambil air.

“Loh, kalain berdua ngapain malam-malam begini?” Ibuku muncul dengan piamamu ungu mengkilap berbahan katun kesayangannya, sejak aku kecil, katanya hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang pertama dari Ayah.

Aku menunjuk Renata dengan mata melimpahkan semua jawaban padanya.

“Kita keluar nyari makan, Mah,” jawabnya lancar.

“Kamu ngidam?” pertanyaan itu muncul cepat dari mulut Mamah.

Aku mengangkat bahu menyerahkan keterkejutan itu di bahu istriku.

Dia kehilangan kata, aku melihat kekosongan di wajahnya. Dia menatapku kemudian mengharapkan bantuan, aku hanya menggigit bibir.

“Barang kali begitu,” katanya kemudian.

Mamah sontak memberikan senyuman bahagia dengan mata berbinar cerah. Aku yakin dia tengah mengkhayal menimang cucu.  Besok pagi kabar ini akan menggemparkan seluruh rumah dan kantor.

“Gimana mau hamil, prosesnya aja belum,” ejekku pada Renata saat menaiki tangga menuju kamar. 

“Ya udah, bikin anak,” kata Renata.

“Seriusan?” Aku menghadang jalannya.

“Bercanda!” Dia menjulurkan lidah dan menarik bagian bawah mata kanannya.

Sialan! Kapan dia berhenti menggodaku?

Di kamar, aku menarik selimut dan mengambil bantal.

“Mau ke mana?” tanya Renata cepat.

“Tadi katanya nggak mau sekamar sama aku.”

“Besok aja deh.”

“Loh kok?”

“Udah deh, nggak usah pura-pura kuat pada hal ketakutan.”

“Enggak, aku nggak takut.” Ya aku sudah lupa selama beberapa menit dan sekarang dia mengingatkannya lagi.

“Jujur apa susahnya?”

Aku kembali ke arah tempat tidur, tiba-tiba dia memelukku erat.

“Maaf, aku janji nggak bakalan kaya tadi lagi.”

“Iya.” Aku mengelus kepalanya lalu mendaratkan kecupan di jidat.
“Untung aja tadi Bapak-bapak ramah logatnya lembut banget. Kalau Mbak Kunti kan lain cerita.”

“Dah, ah serem!”

“Jo, tadi itu kaya pengantara deh.”

“Pengantara?”

“Iaya, soalnya tadi aku ngarep banget Reno ngejemput aku juga. Dan sosok iyu datang, ingat nggak pesan tadi, suami baik harus di jaga, pada hal aku nggak ngeliat sisi baik kamu tuh di mana?”

Ucapan macam apa itu?

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Where stories live. Discover now