Kolektor Bedak Bayi

10K 404 5
                                    

"Laporan di map biru yang tadi pagi aku tinggal, udah kamu copy, Nata de coco?" suara Bu Ayu, sekertaris Pak Herman mengalun lembut.

"Sudah dong, Ibu Peri berhati paling mulia seduniaaaaaaaaa," jawab Renata tanpa mengalihkan tatapannya ke arah Ayu. Dia sibuk mengempur sudut kanan belakang ruangan atasannya dengan gagang pel.

Fotocopy dokumen sebenarnya bukan tugas Renata, ia mendadak mendapatkan tugas seperti ini karena tahun lalu,  kantor mengalami masalah besar  akibat karyawan korup. Setelahnya dilakukan pemecatan besar-besarran, untuk mereka yang bersalah. Sisanya ditawari, keluar atau turun gaji. Dia memilih turun gaji, karena malas mencari pekerjaan lagi. Dalam masa pemulihan satu tahun itu, dengan kondisi minim karyawan, jadi lah dia tukang suruh khusus Bu Ayu.

Sekretaris bertubuh kurus dalam balutan kemeja licin berwarna biru dan rok abu-abu selutut menatap cleaning service di depannya dengan tajam. "Ee, bocil, kalau orang tua ngajak ngomong ituuuuuuuu, balik ke sini!"

Renata membalikan tubuhnya perlahan, membulatkan mata menggumamkan kata 'apple' sehingga ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman manis.

"Nah, gitukan lebih enak dipandang.  Wait! Kamu pakai bedak bayi lagi?" Selidik Ayu dengan mata sipit.

Renata melepas gagang pel, menepuk pipinya berulang kali. "Kemarin motorku masuk bengkel, uang buat beli bedak abis, ini pun bedak Farlan."

"Alah! Kamukan kolektor bedak bayi!" Ayu berjalan dengan sepatu tumit tinggi lima sentinya mendorong kepala cleaning service khusus ruangan atasan mereka cukup keras. "Alasan, bilang aja seblak di ujung gang itu lebih menggoda, lihat aja tubuh kamu tuh udah kaya, balon."

"Sebenarnya, Bu, seblaknya biasa aja. Secara saya ini kan tidak terbiasa dengan makanan pedas, tapi kemarin, ada cowo baru kerja di sana. cogan, Bu. Cogan! Tampangnya kaya cowo-cowo yang Ibu pantengin di drama Turki."

"Seriusan?"

"Ya, bercanda lah Bu!"

"Kamu tuh, yah nggak bisa di ajak serius!" Bola mata Ayu mengarah ke langit-langit ruangan bercat putih, lengkap dengan ornamen lampu kristal.

"Kalian lagi ngomongin apa? Heboh sekali," suara Pak Herman jenaka. Pria paruh baya itu adalah pendiri perusahaan jasa asuransi tempat Renata bekerja.

"Itu, Pak." Renata membuat-buat suaranya terdengar seperti orang Madura. "Bu Ayu, mau nikah lagi sama Bapak-Bapak pemilik kedai seblak di ujung jalan."

"Heh, Nata de coco! Aku nggak bilang kaya gitu!" mata Ayu mendelik tajam, ia janda beranak satu ditinggal mati sang suami, sampai saat ini dia betah menyendiri.

Gurauan seperti ini sudah kerap kali terjadi.

Tahun ketiganya bekerja, Ayu mendapat serangan patah hati ditinggal sang suami yang membuatnya tidak bisa ditinggalkan sendirian. Ayu sendiri adalah sahabat kecil Herman, tidak tega membiarkan sahabatnya jatuh dalam depresi, ia meminta salah satu dari para pegawai menemani Ayu. Di mata karyawannya, Bos besar mereka pria angkuh dengan mata coklat tajam dan pembawaan kaku, sehingga tidak seorang pun menawarkan diri apa lagi, ruangan sekretarisnya berada bersebelahan dan hanya dilapisi kaca abu-abu.

Renata sendiri tidak mengusulkan diri, di hari yang menghebohkan itu, dia tengah diserang virus RNA dan hanya bisa duduk di rumah. Keesokan harinya, saat dia masuk, ia langsung ditunjuk kepala HRD menemui Herman. Karena bingung dan gugup beradu di pengalaman pertamanya bertemu dengan atasannya, ia menjawab pertanyaan dari kepala perusahaan dengan jawaban konyol dan semua terdengar oleh telinga sang sekretaris hingga dia tertawa. Ternyata atasannya itu tidak seburuk dugaan awalnya, ia hanya berpura-pura tegas di dengan karyawan sedangkan dengan Ayu, jarang sekali mereka bicara serius. Katanya, terlalu serius bikin darah tingginya kumat.

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Where stories live. Discover now