Sungguh

2.5K 190 3
                                    

“Semua itu hanya mimpi, hanya mimpi!” Renata menepuk pipi berulang kali hingga memerah. Rasa tidak percaya masih erat mengikat. Semua kejadian dari tempat pesta hingga apartemen Jonatan barang kali hanya ilusi, ia pasti salah menelan makanan hingga kepalanya membuat dunianya sendiri. Renata terbangun di kamarnya sendiri dengan pakaian tidurnya sendiri, semua itu hanya mimpi karena perutnya kekenyangan.

Seperti biasa dia berangkat ke kantor pukul enam pagi, lebih awal agar tidak berpapasan dengan sang Bos.

Selesai membersihkan tiga ruangan di lantai lima, ia turun menyiapkan minuman untuk Ayu, beruntung Jonatan belum muncul sepagi itu.

Begitu selesai dia kembali ke dapur, Ina dan Lisa juga baru menyelesaikan pekerjaan mereka.

“Semalam main ngilang aja,” sembur Ina begitu Renata tiba di pintu.

“Ya, abis kalian lagi pada asik sama pasangan masing-masing,” jelas Renata dengan gaya konyolnya, “aku yang jomblo bisa apa?”

“Alasan!” cecar Lisa. “Kamu balik sama siapa semalam?”

“Sama, Kak Reno.”

“Masa? Dia ngejemput kamu dalam keadaan hujan lebat?” komentar Ina, “Kak Reno tuh emang nggak berubah baiknya dari dulu. Andai aja dulu aku yang jadian sama dia bukan Sela.”

“Eh, kadal lidah bercabang,” ejek Renata, “amit-amit Thanos pake mahkota dah. Dulu ingat kan siapa yang mutusin Kakak tampanku itu sampai dia berkabung tujuh hari tujuh malam?”

Ina mengibas rambut pendeknya lalu menjulurkan lidah ke arah Renata. Mereka berdua sama-sama masuk bekerja dulu, dan saat itu Ina mengenal Reno, mereka sempat pacaran. Awanya mereka adalah pasangan romantis yang membuat Renata enek, lalu dimulai lah drama tangis hingga Ina mengutarakan kata pisah sampai Reno tak kuasa menahan sakit hati, pada akhirnya dia mengenal Sela, menjalani hubungan singkat satu bulan dan menikah.

Perdebatan mereka berlanjut hingga pukul setengah dua belas.

“Renata Patrcia Dior!” suara Ayu dari pengeras suara, “ke lantai lima sekarang!”

“Duh! Dipanggil Kanjeng Ratu lagi aku,” omelnya sembari berdiri. Entah apa lagi yang diinginkan Ayu sedangkan minumannya sudah tersaji.

Saat Renata tiba di lantai lima, dia melirik sedikit ke ruangan Jonatan ada Febi di sana.

“Ada yang bisa saya bantu, Ratu Bidadari?”

“Nggak ada sih,” jawab Ayu dari balik komputernya, suara keyboard terdengar keras. “Dipanggil Jonah, tuh.”

“Hah? Bercanda aja nih, Bu Ayu!” Renata menggelengkan kepala berulang kali.

“Benaran, lihat tuh matanya bengkak.”

“Hubungannya sama aku apa?”

“Tau, udah sana!”

“Nggak, dia lagi sama Febi!” tolak Renata mentah-mentah.

Ayu menegakkan kepala, menatap Renata tajam. “Lebih cepat lebih baik!”

Tanpa bantahan lagi, Renata melangkah ke ruangan Jonatan, Febi masih di sana.

“Ada apa, Pak?” suaranya nyaris tidak tenggelam.

“Beliin aku obat tetes mata di apotek,” pintanya.

Renata maju beberapa langkah mengulurkan tangan tanpa melihat wajahnya.

“Apa?” tanya Jonatan.

“Uangnya.”

Jonatan meletakkan kartu kredit di tangan Renata. “Aku nggak bawa uang tunai.”

Renata meletakan kartu itu di meja, kalau hanya obat mata dia bisa membelinya. Dia segera keluar dari kantor Jonatan. Ada apotek di dekat kantor, tapi antreannya cukup panjang. Butuh waktu  menit baginya untuk kembali ke kantor.

Karyawan lain tengah berkumpul di lobi saat dia kembali.

“Pak Jonatan traktir kita makan siang,” sambut Ayu.

“Di mana? Aku juga dong?” tanya Renata penuh semangat. Senyuman lebar terpajang. Ayu menggelengkan kepala, senyuman itu segera sirna.

“Masa?” Renata memastikan.

“Benaran, tadi dia bilang sama aku. Anterin obat matanya sonoh, bisa-bisa kamu ditelan hidup-hidup.”

“Demi Peny Wise!” Renata mengentakkan kaki menuju lift.

Ruangan Jonatan sepi sekali, dia mendorong pintu kaca, tidak terkunci. Cepat sekali kakinya bergerak menuju meja Jonatan lalu meletakkan obat mata di meja lalu berbalik. Belum sempat ia berbalik, tangan Jonatan melingkar di pinggangnya.

“Mau ke mana, sayang!” bisiknya.

“Lepasin Pak!Aku jijik!” Renata meronta, tapi sia-sia.  Tubuh kekar Jonatan memeluknya erat.

“Mau ninggalin aku lagi? Kok jijik. Aku ini pacar kamu!”

“Semalam Pak Jonatan kan ... kapan aku meninggalkan Bapak.”

“Tua banget sih dipanggil Bapak.” Jonatan melonggarkan pelukannya. “Kamu lupa kejadian semalam?”

“Nggak, itu hanya mimpi!”

“Masa? Kalau hanya mimpi, kenapa aku jadi kangen meluk kamu lagi?”

“Lepasin Jonatan! Ini kantor Ayah kamu, apa kata orang lain nanti?” Renata mencari alasan lain.

“Siapa? Semua orang udah aku usir keluar.”

“Diusir pada hal disogok! Udah aku lapar mau makan.”

“Ren, jangan gitu dong! Aku merana kamu tinggal semalam, aku pikir kamu ngilang dari apartemen aku diculik orang, aku sampai nangis tahu, mana nomor kamu nggak bisa dihubungin lagi. Ngapain sih kabur pake taxi online? Pada hal bisa aku anter.”

“Jadi semalam itu bukan mimpi?” Renata menepuk pipinya.

“Bukan. Ingat kamu jadi selingkuhan aku.”

“Aku belum ngejawab.”

“Kamu nggak perlu ngejawab. Aku yang nentuin!”

“Malas! Aku lapar! Aku mau gabung sama teman-teman lain makan.”

“Kamu nggak termasuk yang aku traktir.”

“Aku bisa bayar sendiri.”

“Jadi kamu ninggalin aku lagi?”

Renata tidak menjawab, dia melepaskan tangan Jonatan lalu berbalik menatapnya. “Kamu sama Febi kan?”

“Kamu tega ninggalin aku sendiri, Na? Kalau kamu pergi, aku bakalan ngambek sama semua orang.”

“Jonatan!” hardik Renata.

“Pokoknya aku mau ditemanin sama kamu di sini!”

“Aku lapar!”

“Kan bisa delivery.”

Renata menyilangkan tangan di dada, napasnya tertahan. Sandiwara apa yang tengah dia lakoni?


𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Where stories live. Discover now