Lagi

2.1K 193 1
                                    

Tingkah Jonatan membuat Renata enek dan tidak nyaman.

Bayangkan saja ia harus makan berdua dengannya di atap saat jam makan siang. Karyawan lain tertawa lepas saat pulang makan siang, sedangkan dia seperti memanggul sapi gemuk di pundak.

Sore, ketika harus membersihkan ruangan Jonatan menjadi momok paling menakutkan. Jonatan yang duduk di kursi seolah menjadi Iblis kejam di singgasananya. Beruntung, setumpuk laporan di meja mengalihkan perhatiannya. Renata berusaha bekerja tanpa suara.

“Sayang,” panggil Jonatan.

Renata merasakan saliva pahit lengser di tenggorokan.

“Pura-pura budek aja!”perintah kepalanya. Tubuhnya mengikuti  tidak berbalik dan tetap fokus pada pekerjaanya.

“Renata,” panggil Jonatan lagi, “nggak ditanggapi lagi aku bakalan ngunci kamu di sini!”

Tubuh Renata bergidik mendengar ancaman Jonatan, dia berbalik menatap wajah pria itu.

“Aku anterin kamu pulang.”

Renata menggelengkan kepala. “Aku bawa motor.”

“Ya, tinggalin aja di sini.”

“Maaf, Pak, tapi bisa pulang sendiri.”

“Jadi kamu lebih milih motor kamu dibandingkan aku?” suara Jonatan menanjak.

“Bukan kaya gitu!” Tangan Renata terulur, lagi-lagi vakum di tanganya melayang ria ke lantai disusul dentuman panjang.

“Terus?” Jonatan menopang dagunya dengan pipi mengembung, dia jadi kelihatan sangat imut.

“Please, Jo!” Renata menahan napas, bibirnya terkulum sesaat lalu bersama dengan mata yang terpejam dia mengatakan, “my pao-pao.”

Jonatan berdiri, kakinya melaju secepat Flash mendekati Renata. Tangan kekar berpindah ke pipi Renata, awalnya menekan pipi gadis itu lalu mencubitnya gemas.

“Sakit!” rintih Renata sembari menahan tangan Jonatan agar tidak mencubitnya lebih kuat.

“Sakitkan? Mendingan aku yang nyubit pipi kamu duluan. Aku masih ingat kalau kamu nyebut kata-kata pao-pao, kamu bakalan nyubit pipi aku sampai aku nggak bisa berkutik!”

Renata menatap wajah Jonatan, dia masih mengingat hal itu. Kira-kira apa lagi yang masih mendekam dalam memorinya?

Jonatan melepaskan tangan, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Renata. Renata buru-buru mundur dan lantas memungut vakum cleaner di lantai.

“Makin kamu menghindar, makin aku kejar!” ancam Jonatan.

“Kalian lagi ngapain?” Ayu masuk ke dalam ruangan Jonatan dan segera menangkap perubahan sikap kedua orang itu.

“Ini, Rena godain aku,” jawab Jonatan tenang.

“Apa?” Renata berbalik, netranya melebar dan kening melipit bak ikon Wi-fi. “Jangan di dengarin Bu, itu Pak Jonatan lagi mesan tiket pijat plus-plush.”

“Nakal kamu, yaaaa!” Jonatan menjewer telinga Renata.

Gadis iru hanya bisa meringis menahan sakit hingga matanya terpejam.

“Seriusan, aku pasti ketinggalan sesuatu,” ucap Ayu. Matanya bergantian menatap mereka berdua.

“Nggak ada, kok Bu! Ini mungkin, kemasukan ... Jin!" 

“Aku kemasukan cintamu, Sayang.” Jonatan melingkarkan tanganya ke bahu Renata.

Renata segera melepaskan tangan Jonatan. "Salah, orang!" desisnya.

Mulut Ayu terbuka lebar, menatap tidak percaya.

"Gimana, Tante kita cocokkan berdua?"

"Cocok? Biji nangka ama durian noh disandingin, baru cocok!" gusar Renata. Jonatan memang sudah kehilangan kewarasannya.

Renata melirik jam besar di belakang meja Jonatan, sudah waktunya untuk pulang.

"Kalau dari sudut pandang aku sih, Renata kurang waras buat kamu," Ayu mengutarakan pendapatnya.

"Tenang, Tante, bisa diterapi?"

"Kamu tuh jiwanya harus diadain upacara pengusiran setan!" Tangan Renata menunjuk Jonatan telak di dadanya.

Begitu melihat rupa Jonatan yang menengang, cepat-cepat Renata keluar dari ruangan itu.

Pulang ke rumah, Renata seperti vampir kelaparan, pucat pasi. Semua tingkah Jonatan telah menyedot energi kehidupan di dalam tubuhnya.

Tiba di rumah, setelah bebersih diri dan mencuci pakaian kerjanya, dia melangkah ke dapur membantu menyiapkan perlengkapan makan malam.

“Na, anterin rendang ke rumah sebelah dong!” pinta Ibu Renata, “Sebenarnya Sela ngenterin, tapi Farlan rewel mulu dari tadi.”

Renata menganggukkan kepala, yang dimaksudkan rumah sebelah itu, rumah Sam.

Sudah menjadi kebiasaan Renata main masuk saja ke dalam rumah kalau pintu terbuka, Sam pun demikian kalau ke rumahnya.

"Sore, anteeee!" teriak Renata memasuki pintu, ia segera kehilangan muka melihat keadaan ruangan tamu.

Dokter muda itu tengah duduk di ruangan tamu bersama teman-temannya. Ada dua pria dan seorang perempuan yang segera dikenali oleh Renata, Kara, pacar Sam.

“Hay, Na,” sapa Kara ramah.

“Hay, Kakak ipar,” balas Renata sembari berjalan ke belakang mengabaikan sang tuan rumah, dia terlalu malu menyapa setelah mendapatkan tatapan orang-orang di sana. “Tante Iraaaaa.”

“Woy, aku di sini nggak disapa?” protes Sam.

“Hah! The wind is tallking.” 

Sam berdiri, tanganya siap menyerang Renata.

“Rendang!” Renata mengangkat mangkok keramik di tangannya.

Sam langsung melunak, dia tersenyum bahagia, makanan kesukaanya.

Gadis di hadapannya berbalik menuju ruangan makan, sembari berkata, “tapi bukan buat kamu.”

Renata bertemu Ibu Sam di dapur, setelah meletakan mangkok rendang di meja, ia kembali ke depan, Sam menahannya, mengajaknya berkenalan dengan dua pria baru tadi. Nama mereka Dika dan Reno.

“Sama dong, kaya nama Kakakku,” kata Renata pada Reno. Pria kalem dengan rambut berponi, juga gigi takarnya.

Reno tersenyum, dia makin mirip Kento Yamazaki. Entah kenapa Renata malah tak bisa lepas dari senyuman itu, manis sekali, atmosfir di sekelilingnya ikut berubah manis.

Sam pura-pura batuk.

“Iya, aku pulang!” Renata menatap tajam ke arah Sam. “Anterin! Dah gelap.”

Gantian Sam yang menatapnya tajam.

“Aku aja yang anterin,” kata Dika.

“Ya kali, Dika. Orang cuman lima langkah ke samping.”

Renata tersenyum dengan alis terangkat, mengambil ancang-ancang untuk kabur. Tapi tangan Sam menahannya lalu berkata, “dia loh, Ren yang aku bilang nasibnya sama kaya kamu, nungguin orang yang nggak pasti, kali aja kalian jodoh.”

Renata menatap Reno, pria itu hanya meringis.

“Aku balik,” pamit Renata."Dasar Sam, ngomong aja tanpa ngertiin perasaan orang lain."
            

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن