Mémoire : 0. Memories

26.2K 2K 356
                                    

Kenangan itu bukan untuk ditangisi, tapi kenangan itu untuk di ingat dengan baik. Sayangnya, Jisoo melupakan fakta itu. Ketika secuil kenangannya dan Lisa muncul, Jisoo langsung menangis.

Dia tak ingin sedih, sungguh. Dia tahu Lisa sudah bahagia. Dia tahu Lisa kini mengawasinya dari angkasa. Tapi air matanya sulit untuk dikendalikan. Kepergian Lisa, seakan mencekik leher Jisoo sampai saat ini.

Di taman kecil rumah berlantai dua itu, Jisoo sedang duduk di ayunan. Memakan sebatang cokelat dengan lahap. Ditemani oleh air mata yang terus membasahi wajah cantiknya.

Dia menelan cokelat itu susah payah. Beberapa kali mengusap kasar air matanya, tapi percuma. Wajahnya masih basah. Hatinya juga semakin sakit, padahal gadis itu sudah menghabiskan tiga batang cokelat.

"Kau bohong. Cokelat tak bisa menghilangkan rasa sedihku, Lisa-ya. Sebanyak apa pun aku memakannya." Suara Jisoo seperti bisikan, apalagi bersahutan dengan gemuruh petir yang kini memenuhi langit.

Belajar ikhlas itu sulit. Jisoo kehilangan Lisa, ibarat burung kehilangan sayapnya. Dia kesakitan, tak bisa bahagia. Tak bisa terbang tinggi semaunya.

Selalu bersedih atas kepergian seseorang memang tidak dibenarkan. Ini pun bukan mau Jisoo. Hanya saja hatinya terlalu mengendalikan gadis itu. Karena luka disana sangat lebar.

Jisoo tidak pernah berpikir, bahwa adik bungsunya hanya memiliki batas  umur tak sampai dua puluh empat tahun. Jika Jisoo tahu maut adiknya sangat dekat, mungkin sedari dulu Jisoo akan memberikan seluruh waktunya pada Lisa.

Jisoo menyesal karena pernah merasa marah pada Lisa kala itu. Jisoo begitu jahat karena sempat menyakiti Lisa, fisik maupun batin dulu. Andai bisa memutar waktu, Jisoo tak akan memberikan apa pun pada adiknya kecuali kebahagiaan.

"Lisa-ya, kau melihatku dari atas sana kan? Unnie sekarang tidak pernah meminum alkohol lagi, karena kau tak menyukainya." Kepala Jisoo mendongak. Pandangannya sungguh sendu menatap langit kelabu siang ini di Zermatt.

"Tidak apa jika Unnie menangisimu kan? Unnie hanya tidak bisa, Sayang. Unnie tidak tahu caranya menghentikan rasa sakit ini." Jisoo menunduk, kembali memakan cokelat di tangannya.

Hujan mulai turun, serempak dengan tangis Jisoo yang semakin kencang. Tapi dia tak ingin beranjak. Tak juga ingin menyudahi menggigit cokelat batang itu.

"Lisa-ya, you're my chocolate. Kau lah penghilang rasa sedihku yang sesungguhnya." Jisoo melirih dalam hati. Membiarkan tubuhnya basah.

...........

Satu bulan setelah kepergian Lisa, Jennie dan Jisoo memang memilih pergi menuju Swiss. Dimana rumah Lisa, hadiah dari Jisoo berada. Tempat yang menyimpan banyak kenangan di antara mereka berempat.

Sudah satu minggu berlalu, tempat itu tidak sama lagi. Tidak seindah dulu. Rasanya sungguh hambar, Jennie tak bisa menemukan bahagianya. Dia sulit untuk tersenyum, karena di setiap sudut, menyimpan bayang-bayang adik bungsunya.

Tubuh itu berbaring disana. Di antara ribuan bunga dandelion yang tumbuh. Walau hujan mengguyur dirinya, Jennie tak peduli. Matanya terus menatap langit yang kini seakan sedang menangis.

"Apa kau sedang ketakutan, sekarang? Kira-kira, siapa yang memelukmu?"

"Jennie Unnie, aku menang!"

"Jennie Unnie, ayo makan ice cream!"

"Jennie Unnie, ada semut yang menggigitku!"

Gadis berpipi mandu itu memejamkan matanya yang sudah terasa perih karena terus terkena hujaman air hujan. Suara Lisa tak pernah berhenti menghantui pikirannya. Jennie sungguh lelah merasakan hal seperti ini. Tapi dia tak bisa berhenti.

Mémoire ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt