Mémoire : 37. Rain

17.2K 1.9K 427
                                    

Langkah pelan itu membawanya keluar dari sebuah pusat perbelanjaan. Berhenti sejenak, mendongak ke atas untuk melihat langit yang tampak kelabu. Musim gugur kali ini tampaknya cukup tak bersahabat. Dia jarang sekali mendapati langit yang cerah.

Menghela napasnya, dia meraih sebuah ponsel berwarna midnight green dari saku hoodie. Menatapnya sebentar, lalu melemparnya dengan asal ke tong sampah yang tak jauh dari sana.

"Ayo, Lisa-ya. Kita harus memulai hidup yang baru." Lisa berujar sembari berusaha menampakkan senyum di bibirnya.

Lisa menghindar, bukan karena dia kecewa pada keluarganya. Sedikit pun, bahkan Lisa tak berniat untuk marah pada Jisoo dan Rosé yang telah menyakitinya.

Satu-satunya alasan Lisa pergi, adalah karena penyakitnya. Dia tak bisa melibatkan orang-orang yang dia sayang. Mereka pasti akan kerepotan. Tak hanya itu, mereka pasti akan tersakiti, karena bisa saja suatu saat Lisa melupakan mereka dan segala kenangan yang ada.

Ini bukan tentang penyakit yang membahayakan nyawanya. Tapi ini tentang penyakit yang akan menggoreskan luka di setiap perasaan. Lisa tidak mau menyakiti semua orang. Dan pergi adalah jalan terbaik untuknya.

"Kau pasti bisa mengurus dirimu sendiri, Lisa-ya!" Seru Lisa yang sedang menyemangati dirinya sendiri.

Dia mulai berjalan untuk menghentikan sebuah taksi. Menyebutkan alamat apartementnya yang dia dapat ketika menghubungi Hoseok tadi sebelum membuang ponsel mahalnya begitu saja.

Lisa tahu, dia pasti akan dicari. Dan dia tak bisa meremehkan kekuasaan seorang Kim Hyunbin. Ayahnya itu bisa melakukan segala cara untuk menemukannya. Termasuk melacak keberadaanya melalui ponsel. Dan membeli ponsel baru adalah jalan terbaik untuk Lisa saat ini.

Sesampainya di depan apartement, Lisa membayar ongkos yang sesuai. Lalu berjalan menuju gedung tinggi itu. Memasukinya dengan menyembunyikan wajah di balik tudung jaket.

Tak langsung beristirahat, Lisa memilih membongkar kantung plastik yang ada di tangannya. Meraih sebuah note baru dan pena. Menorehkan tinta di beberapa lembar kertas berwarna itu.

Walau sudah putus asa, Lisa tak mau membunuh dirinya sendiri. Maka dia menempelkan banyak sekali note yang berguna untuk mengingatkannya di saat lupa kembali melanda.

"Geure. Ayo kita memulainya dengan senyuman." Ucap Lisa memandang setiap sudut apartement yang kini sudah hampir penuh dengan beberapa note berawarna.

.........

Setelah satu minggu mendapatkan perawatan di rumah sakit pasca operasi transplantasi ginjalnya, hari ini Jennie sudah bisa merasakan kasur empuk yang nyaman di kamar megahnya. Walau begitu, tak ada sama sekali kebahagiaan yang dia rasa.

Warna yang selalu menghiasi hidup Jennie kini seakan memudar. Dia kecewa dengan Rosé dan Jisoo karena perlakuan mereka pada Lisa. Namun dia lebih kecewa pada dirinya sendiri yang tak bisa menjaga sang adik.

Alzheimer? Yang benar saja. Sampai detik ini, Jennie berharap kenyataan itu hanya mimpi. Setiap mengingatnya, dia akan selalu menangis. Bagaimana adiknya bisa mendapatkan petaka seperti itu? Bagaimana jika adiknya melupakan Jennie?

Bangun dari tidurnya dengan susah payah, Jennie mengusap air mata yang sudah membasahi wajah pucatnya. Kedua mata itu kemudian menatap sendu sebuah jar yang di dalamnya terdapat bunga dandelion.

"Aku ingin kau menyimpannya. Karena bunga ini akan mengingatkanmu, ketika kau merasa lelah."

Suara adiknya kala itu kembali terngiang. Suara yang terdengar sangat lembut, dan tatapannya saat itu bahkan Jennie masih dengan jelas mengingatnya. Menambah rasa rindu yang kini menguasai hatinya.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now