Mémoire : 9. Competition

12.9K 1.8K 338
                                    

Pagi hari ini Lisa merasa begitu lelah. Setelah menangis di ruang tari DX Entertainment tadi malam, sepulangnya ke rumah Lisa diharuskan belajar sampai semalaman suntuk untuk mempersiapkan ujian hari ini.

Walaupun bukan ujian semester, namun ujian kali ini cukup mempengaruhi nilainya. Dan jika saja Lisa mendapatkan angka yang bukan sesuai dengan harapan Hyunbin, pasti Ayahnya itu akan mengamuk.

"Kau sudah belajar, Lisa-ya?" tanya seorang gadis yang duduk di sampingnya.

"Tentu." Jawab Lisa yakin. Karena semalam Ayahnya terus mengawasi Lisa. Apakah gadis itu belajar dengan baik atau tidak. Mana mungkin Lisa bisa terhindar dari semua tulisan yang membuat kepalanya pusing itu.

"Selamat pagi, semuanya." Sapaan hangat itu membuat teman Lisa yang hendak kembali berbicara, seketika terbungkam.

Semua penghuni kelas itu tampak sibuk mengeluarkan alat tulisnya. Sampai selembar kertas kini berada di atas meja mereka. Kertas yang berisi berbagai soal ujian hari ini.

Sebelum mengerjakan ujiannya, Lisa memilih berdoa sejenak. Setelah merasa puas, dia mulai membaca soal-soal yang tertera di kertas putih itu. Berharap dalam hati jika nilainya nanti tak akan mengecewakan sang Ayah.

Ketika membaca deretan huruf itu, Lisa mengerjabkan matanya berkali-kali. Kepalanya mendadak kosong, tak ada sama sekali yang dia mengerti dari semua soal itu.

"Kenapa... Tiba-tiba aku menjadi bodoh begini?" gerutu Lisa dalam hati. Tapi dia masih berusaha untuk menggali ingatannya. Karena tak mungkin, jawaban dari soal-soal itu tak dia baca semalam.

Lisa meremas pulpennya erat. Dia merasa benar-benar bodoh sekarang. Karena saat ingin mengarang jawaban pun, yang keluar dari kepalanya tak ada. Semuanya terasa kosong. Lisa tak bisa merangkai kalimat satu baris pun. Hingga sang Dosen mulai mengambil semua kertas soal dengan paksa karena waktu ujian sudah berakhir.

Setelah Dosen itu pergi dari ruang kelasnya, Lisa menyandarkan kepalanya ke atas meja. Memejamkan mata karena jika Ayahnya tau, dia benar-benar akan mati.

.........

Gadis itu meringkuk. Memeluk kedua lututnya erat, dengan guyuran air shower yang terus menerjang. Berusaha melawan rasa sakit itu sendiri. Tanpa ingin membaginya dengan siapa pun.

Entah bagaimana, rasa sakit itu tak kunjung berhenti menerkam Jennie. Padahal niat awalnya hanya ingin mandi dan bersiap untuk pergi melihat kompetisi yang akan diikuti oleh Lisa.

Tapi rasa sakit di pinggang atasnya yang menjalar ke punggung, membuat kedua kaki Jennie tak sanggup untuk berpijak. Alhasil dia hanya bisa meluruh ke lantai dengan pasrah.

"Lisa-ya, maafkan Unnie." Gumam Jennie dalam hati. Karena saat ini dia sudah ingkar.

"Kau tak marah pada Unnie, kan?" Jennie kembali melirih dalam hati. Menangis ketika rasa sakit itu semakin menjadi.

Perlahan tangan kanannya terangkat, meremas baju bagian dadanya. Dimana rasa sesak itu menyerangnya kini. Membuat napasnya mulai tersengal. Tapi, nyatanya gadis itu memilih tetap diam. Tak ingin seorang pun tahu jika kini dia sedang tak berdaya.

Kelemahannya ini, hanya akan membuat kerugian untuk adiknya. Maka dengan berusaha keras, Jennie harus menyembunyikan rasa sakit yang selalu muncul. Tak apa jika suatu saat nanti dia harus pergi, asalkan di saat itu tiba Lisa harus sudah berhasil meraih impiannya.

Jennie tak akan berhenti untuk berjuang demi sang adik. Apa pun akan dia lakukan, walau harus mengorbankan dirinya sendiri. Karena hidupnya tak berarti apa-apa, jika harus dibandingkan dengan ketiga saudaranya. Terlebih Lisa, yang sedari dulu Jennie jaga dengan sangat.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now