Mémoire : 47. Make Memories

17K 1.8K 456
                                    

Bunga Dandelion yang terkurung dalam sebuah jar itu masih menjadi pemandangan menarik untuk Jennie. Entah sudah berapa lama, dia terus memandangi bunga itu dengan tangan menopang dagunya sendiri.

Satu tetes air mata tiba-tiba meluncur tanpa aba-aba. Jennie tidak berniat menghapusnya, masih memandang sendu bunga rapuh itu.

Dia sadar, tak pernah sekali pun Jennie dan ketiga saudarinya merasa benar-benar bahagia. Dulu mereka utuh, tapi hidup dalam tekanan. Beberapa bulan lalu, mereka tak tertekan lagi namun takut kehilangan Jennie. Dan sekarang, mereka utuh dan bisa melakukan hal sesuka hati. Kecuali Lisa, yang kondisinya benar-benar menakutkan untuk Jennie pikirkan.

"Seharusnya kau menyukai bunga yang lain, Lisa-ya. Bunga ini, begitu menakutkan untukku sekarang."

Jari-jari Jennie menyentuh jar kaca yang melindungi satu tangkai bunga itu. Dia ingat, Lisa berkata jika bunga itu sebenarnya sangat kuat. Lisa juga bilang, jika Jennie merasa lelah maka bunga itu akan mengingatkan Jennie untuk tetap kuat.

"Unnie harap, kau tidak memiliki pikiran untuk sama seperti bunga ini. Mereka kuat, hanya ketika terbang menjauh. Berpisah dari yang lain," ucap Jennie lirih.

Gadis berpipi mandu itu menegakkan tubuhnya. Membuka laci meja kerjanya dan meraih sebuah kamera yang tampak masih baru.

Kemudian mata kucingnya beralih menatap sebuah bingkai foto dirinya dan setiga saudarinya ketika berada di Swiss. Mereka saat itu tampak bahagia, dan Jennie tak ingin foto itu hanya menjadi kenangan.

Tapi dia hanya manusia. Dia bisa merasa kehilangan. Semuanya tidak kekal abadi. Dan kenyataan itu benar-benar menusuknya hingga Jennie sulit sekali hanya untuk menarik napas.

"Setidaknya, terbanglah saat Unnie sudah menua Lisa-ya."

...........

Langit sudah berganti suasana. Pagi hari yang cerah kini tergantikan oleh petang yang mulai datang. Matahari undur diri, dan bulan menyambut malamnya bersama pasukan bintang.

Msta cokelat itu bergerak dan terbuka perlahan. Lisa masih mengumpulkan kesadarannya sembari menatap langit-langit kamar. Ingin beranjak namun dia melenguh saat merasa tubuhnya cukup pegal di beberapa bagian.

"Sudah bangun?" suara lembut itu membuat Lisa terbelalak. Dia segera bangkit, melupakan tulang rusuknya yang masih sakit dan bergerak menyentuh kening Rosé. Ada yang aneh. Padahal tadi kakak ketiganya itu diserang demam.

"Demammu sudah turun, Unnie?" tanya Lisa bingung.

Mendapati wajah penuh tanya adiknya, Rosé mendesah lelah.
"Kau yang terlalu lama tidur. Sebenarnya, kau itu tidur atau pingsan? Demanku sampai sudah hilang."

Gadis berponi itu mengerjab. Kepalanya dengan kaku menoleh pada pintu kaca balkon kamarnya yang memperlihatkan suasana malam di luar sana.

Lisa masih ingat dengan kejadian terakhir yang dia alami. Gadis itu tertidur di pelukan Jisoo pukul delapan pagi. Tapi dia baru saja terbangun pukul enam sore.

"Kami sudah memanggil Doktermu. Dia bilang ini adalah hal wajar untuk penderita Alzheimer sepertimu," ujar Rosé parau. Perlahan, kehidupan adiknya berubah sangat drastis. Dia sulit sekali untuk menyesuailan diri dan berusaha tenang.

Lisa tidak bisa mencegah apa pun. Walau kini dia sudah mengkonsumsi banyak obat serta melakukan terapi, gejala-gejala penyakit itu akan tampak. Semua obat dan terapi yang dia terima hanya memperlambat, bukan menyembuhkan.

"Kemari." Lisa merentangkan tangannya, bermaksud memberi isyarat pada Rosé agar datang ke pelukannya.

Gadis blonde itu bergerak cepat mendekap Lisa. Dia bersungguh-sungguh, ingin menukar segala hal yang dia punya untuk kesembuhan adiknya. Rosé memang terlihat kuat. Tapi dia tidak siap.

Mémoire ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang