Mémoire : 36. Was Revealed

17.5K 2K 569
                                    

Kehidupan itu seperti puzzle. Jika salah satu kepingan hilang, akan sulit untuk menjadi kokoh. Bisa saja, perlahan semuanya hancur. Tak akan bisa sama ketika puzzle itu masih utuh.

Ini sudah hari ketujuh Lisa menghilang. Dan sudah hari keempat pula pasca operasi yang dijalani Jennie. Semuanya hambar. Kosong, seakan tak ada cahaya yang menghiasi.

Ratusan kali pun Jisoo mengungkapkan penyesalannya, tak akan bisa merubah apa pun yang terjadi. Malaikat tak akan datang dan memberinya kesempatan untuk memutar waktu kembali. Lalu dia harus apa selain merasa putus asa?

Dulu, bahkan Jisoo tak ingin adiknya terluka sedikit pun. Tapi kenyataannya adalah, dia yang sudah membuat luka untuk adiknya. Dia menamparnya, mencaci makinya, dan bicara jika dia membencinya.

Jisoo sungguh berdosa. Tak pernah seumur hidup merasa sangat menyesal seperti sekarang. Entah dimana keberadaan Lisa, Jisoo hanya bisa berharap jika adiknya itu baik-baik saja.

"Khamsahamnida." Jisoo menerima kopi panasnya dari pegawai Cafeterian rumah sakit. Beberapa hari ini dia tidak bisa tidur, dan kopi dapat membantunya untuk tetap segar.

Ingin menyeruput kopi berwarna hitam itu, kedua mata Jisoo mengerjab saat mendapati seseorang yang tidak asing baginya sedang membeli makanan di Cafeterian yang sama.

Tanpa ragu, Jisoo berjalan menghampiri seseorang itu. Menyentuh bahunya, hingga si empunya tersentak kaget.
"Wendy Unnie, sedang apa kau disini?"

Wendy gelagapan. Dia tak menyangka akan bertemu dengan Jisoo. Padahal sulung Kim itu adalah orang yang paling Wendy hindari untuk saat ini. Karena pasti dia harus mengeluarkan kebohongan untuk mantan juniornya itu.

"A-Ah, Jisoo-ya. A-Aku sedang mengunjungi teman." Jawab Wendy tergagap. Merutuki diri sendiri yang sulit sekali untuk berbohong. Tampaknya dia harus belajar banyak dari Lisa.

Jisoo mengangguk saja. Sama sekali tidak curiga dengan gelagat Wendy karena dirinya sedang memiliki banyak pikiran sekarang.
"Ingin minum kopi bersama?"

Wendy melirik kantung plastik yang berisi beberapa roti. Sebenarnya dia pergi ke Cafeterian adalah untuk memenuhi keinginan Lisa. Gadis berponi itu merasa bosan dengan makanan rumah sakit. Merengek pada Wendy untuk membelikan makanan di Cafeterian.

"Baiklah." Putus Wendy akhirnya. Jika dia menolak, mungkin Jisoo akan curiga. Karena satu kali saja Wendy tak pernah menolak ajakan Jisoo walau sesibuk apa pun.

Setelah memesan kopi yang sama dengan milik Jisoo, mereka memilih meja di pojok ruangan. Setidaknya ada yang bisa mereka lihat selain orang-orang yang berada di Cafetefian itu, melalui jendela.

"Wendy Unnie, apakah Lisa tak pernah menghubungimu akhir-akhir ini?" tanya Jisoo yang membuat Wendy hampir tersedak.

Dia sudah menduganya, jika Jisoo akan menanyakan hal tersebut. Karena selain ketiga kakaknya, Lisa juga sering berkomunikasi dengan Wendy. Bahkan gadis Son itu seakan lebih tahu seluk-beluk Lisa dibandingkan kakak-kakaknya.

"A-Aniya. Wae geure?" Wendy sungguh berusaha untuk terlihat normal. Melemparkan pandangan menuju jendela untuk menghindari tatapan sendu Jisoo.

"Dia pergi dari rumah karena aku sudah menyakitinya. Aku benar-benar menyesal, Unnie." Jisoo menopang kepalanya yang terasa pusing. Sedetik pun, rasanya sulit untuk mengenyahkan Lisa dari pikirannya.

Sedangkan Wendy, dia cukup terkejut dengan perkataan Jisoo. Padahal Lisa bilang, alasannya pergi dari rumah adalah karena penyakitnya. Karena Lisa sama sekali tak masalah dengan perlakuan Jisoo padanya. Lisa pikir, itu wajar karena Jisoo sedang diselimuti oleh kekhawatiran.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now