Mémoire : 18. Tell

13.5K 1.7K 204
                                    

Sekali pun, Kim Hyunbin tak pernah membayangkan jika akan ada di posisi seperti ini. Merasa ketakutan jika salah satu anaknya akan pergi lebih dulu menuju hadapan Tuhan dibandingkan dirinya.

Dia selalu di hantui oleh rasa takut itu. Karena Jennie yang kini memiliki penyakit mematikan. Entah harus bagaimana lagi Hyunbin berusaha. Dia tak pernah sanggup melihat Jennie terus tersiksa setelah melakukan pengobatannya.

"Aigo. Beginikah caramu bekerja? Terbengong dengan mengabaikan berkas yang menumpuk itu?"

Kedua mata Hyunbin bergulir menatap seseorang yang baru saja memasuki ruangan kerjanya tanpa mengetuk pintu atau meminta izin. Lelaki itu sangat tak suka, jika ruangannya dimasuki orang tanpa izinnya terlebih dahulu.

"Kau tidak memiliki etika?" desis Hyunbin pada lelaki yang kini duduk dengan santai di sofa ruangannya.

Lelaki dengan jas mahal berwarna merah maroon itu terkekeh.
"Mwoya? Begitukah cara hormatmu pada kakakmu sendiri?"

Hyunbin merasa, kakak pertamanya itu kini sedang bergurau. Karena sejak kapan mereka saling menganggap jika mereka adalah sauadara? Dan untuk apa Hyunbin menghormati Kim Haejoon, jika kakaknya itu pun tak pernah memperlakukan Hyunbin seperti adik.

Tapi kali ini, Hyunbin sangat malas meladeni kakaknya itu. Dia memilih menyibukkan diri dengan tumpukan berkas yang sedari tadi dia abaikan. Membiarkan kakaknya melihat apa yang Hyunbin lakukan.

"Ku dengar, Lisa hampir mati karena alerginya kambuh." Mendengar nama anaknya di sebut, tangan Hyunbin yang semula ingin menulis sesuatu seketika terhenti.

"Aku sudah bilang. Anak bungsumu itu tidak waras. Bagaimana bisa dia memakan makanan laut, sedangkan dia memiliki alergi. Sepertinya dia ingin bunuh diri,"

Hyunbin memejamkan matanya erat. Menahan amarah yang sudah ingin meledak karena sang kakak secara tidak langsung mengatai anaknya gila. Hal yang sudah sering Haejoon lakukan pada Lisa sedari dulu. Dan selalu berhasil menarik amarah Hyunbin untuk meledak.

"Aku kira dia sudah waras. Tapi semakin dewasa, dia semakin gila. Memalukan." Ucapan itu sangat menyakiti Hyunbin. Dia tak tahan lagi, sehingga melempar kasar Macbook yang ada di mejanya ke arah sang kakak. Untunglah Haejoon secepat mungkin menghindar. Jika tidak, mungkin Macbook itu sudah mengenai wajahnya.

"Sudah berapa kali ku bilang, anakku tidak gila!" Bentak Hyunbin penuh amarah. Namun bukannya takut, Haejoon justru terkekeh pelan.

"Kau yakin? Lalu untuk apa orang yang waras mendatangi Pskiater. Kau pikir aku tak tahu?" tanya Haejoon dengan tatapan remeh.

"Bahkan yang dia butuhkan bukan lagi Psikolog. Tapi Pskiater. Wah, tidak bisa kupercaya jika aku memiliki keponakan tidak waras."

Hyunbin seakan sudah kehilangan akalnya karena amarah. Dia berjalan cepat menuju kakaknya berada. Menarik kerah lelaki itu dan memukulinya tanpa ampun.

"Ya--"

Buk~

Dia tak peduli jika yang dia pukuli saat ini adalah kakak kandungnya. Karena kini di mata Hyunbin, lelaki itu hanyalah seseorang yang mengejek putrinya. Dan sampai kapan pun, Hyunbin tak akan menyukainya.

Sampai dimana kakaknya sudah tak berdaya dengan darah memenuhi wajahnya, Hyunbin melangkah menjauh. Mulai menghubungi bagian keamanan untuk membawa kakaknya keluar.

Siapa pun itu, Hyunbin tak akan suka ada yang mengejek putrinya. Hyunbin bahkan bisa saja membunuh siapa saja karena membela sang anak. Walau nyatanya dia sudah menjadi ayah yang egois, tapi Hyunbin tetaplah seorang ayah yang akan tersakiti jika harga diri anaknya diinjak-injak.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now