Mémoire : 11. Afraid

15K 1.9K 422
                                    

Lisa adalah adik yang selalu memperhatikan ketiga kakaknya. Dia tahu segala sesuatu tentang mereka hingga titik terdalam. Maka, tak sulit untuknya menemukan keberadaan Jisoo pagi ini.

Kakak pertamanya itu adalah tipikal orang Korea pada umumnya. Dimana jika merasa sedang tertekan, marah, atau sedih dia akan pergi menuju Sungai Han. Sekedar memandang apa pun yang ada disana, hingga hati mulai membaik dengan sendirinya.

Lisa mulai mendekati Jisoo. Berdiri di samping kakaknya sambil menyodorkan satu ice cream cone chocolate. Membuat Jisoo menoleh pada adiknya yang tampak tenang dengan ice cream miliknya.

"Kau sudah tau jika Unnie tidak suka cokelat, Lisa."

"Tapi aku memaksanya. Apakah Unnie tidak mau memakannya walaupun ini adalah keinginanku?" tanya Lisa dengan suara ringan, membuat Jisoo mendengus kesal. Namun akhirnya menerima ice cream itu dan memakannya dengan terpaksa.

Karena tak akan ada satu pun yang bisa menolak permintaan Lisa. Ketiga kakaknya sama, selalu ingin membuat Lisa bahagia. Walau mereka tak menyukainya. Asalkan demi Lisa, semua akan mereka lakukan.

"Hidup itu berat. Semakin dewasa kita, maka semakin banyak rasa sakit yang akan kita terima." Ucap Lisa yang membuat Jisoo berhenti untuk menikmati ice cream di tangannya.

"Tapi, jika ada yang selalu kita syukuri. Semuanya tak akan terlalu sakit." Lanjut Lisa yang terus mendapatkan kebungkaman dari Jisoo.

"Selamanya, aku bersyukur menjadi adikmu. Menjadi adik Jennie Unnie dan Rosé Unnie. Dan karena hal itulah, aku masih bisa ada di sampingmu sekarang." Mendengar kalimat bijak yang Lisa ucapkan, Jisoo rasanya ingin tertawa. Merasa jika yang ada di sampingnya kini bukanlah adik kecilnya.

"Apakah obrolanmu dengan Pskiater itu lancar? Tampaknya akhir-akhir ini kau selalu terlihat tenang." Ujar Jisoo membuat senyum Lisa terbit. Senyum yang Jisoo tahu sangat manis, namun di balik itu ada sesuatu yang tersembunyi.

"Tentu saja. Wanita tua itu selalu memberiku banyak kalimat manis." Ucapan Lisa kali ini adalah bohong. Nyatanya, dia menemui Psikiater yang Jisoo sarankan hanya untuk meminta obat penenang. Selebihnya, dia tak akan menemui Dokter itu.

"Dia akan marah jika kau mengatainya tua." Sahut Jisoo mengacak rambut Lisa gemas. Mengiringi tawa mereka yang disaksikan oleh indahnya Sungai Han pagi itu.

.........

Gadis berpipi mandu itu terduduk di pinggir ranjangnya sendiri dengan napas lega. Melihat Ibunya sudah mulai tenang, Rosé dan Jennie memang memutuskan untuk meninggalkan Yejin. Menuju kamar masing-masing dengan tujuan berbeda. Rosé ingin menghubungi Lisa sedangkan Jennie ingin meminum obat wajibnya.

Dia beralih menatap lirih beberapa botol obat yang ada di atas meja nakas. Obat yang harus dia konsumsi seumur hidup... Mungkin? Dan entah sampai kapan Jennie bisa bertahan dengan penyakit mematikannya itu.

Semua terasa mustahil sekarang. Di depan para anggota keluarganya Jennie memang selalu berkata jika dia baik-baik saja. Tapi hal itu adalah kebohongan semata. Dia hanya tak ingin semuanya tahu jika Jennie selalu merasakan sakit yang lebih. Membuat Ayahnya akan mengalihkan pekerjannya pada kedua adik Jennie.

Selamanya, Jennie tak akan rela jika Lisa akhirnya harus melepas impiannya. Sampai di titik ini, Jennie dan kedua saudaranya sudah berusaha melakukan apa pun agar Lisa bisa menjadi apa yang gadis itu mau.

Setelah impian Jennie tak mungkin untuk di raih lagi, hanya ada satu keinginan gadis itu saat ini. Dia ingin Lisa berdiri di jalan yang adiknya itu tentukan sendiri. Walaupun nanti dia tak bisa menyaksikannya secara langsung, Jennie tak apa.

Mémoire ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang