Moment 34

332 79 15
                                    

Kim Eungi berharap malam ini tidak berlalu begitu cepat. Memutus moment di mana keadaan hatinya yang dipenuhi rasa keberuntungan saat ini, bisa melangkah beriringan sambil bergandengan tangan—dengan salah satu orang yang sangat ia sayang. Kendatipun tidak bisa berbohong bagaimana jantungnya, terus saja berdebar-debar melebihi batas normal. Senyumnya belum juga pudar, berpadu dengan rasa malu yang menguar.

Andai saja Jeon Marrie tidak memintanya untuk membujuk Hoseok agar mau kembali, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Eungi tidak mungkin menghubungi pria itu, dan mengetahui kebenarannya.

Rasanya, seluruh tubuhnya melayang. Meletup-letup tak karuan. Padahan hanya saling menautkan tangan pada kelima jari—yang bukan untuk pertama kali. Hanya saja sekarang suasananya berbeda. Ternyata benar, cinta berbalas itu rasanya seluar biasa ini, batin Eungi sembari memandangi sisi wajah Hoseok. Menikmati bagaimana indahnya ciptaan Tuhan tersebut.

“Perhatikan jalan di depanmu jika tidak mau tersandung lalu jatuh,” celetuk Hoseok yang melihat Eungi hanya dari sudut matanya. Percayalah, lelaki itu juga dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Jika bukan karena jaga image, mungkin ia sudah berteriak dan berjingkrak-jingkrak kesenangan.

“Ya! Lalu apa gunanya dirimu ada di sampingku?”

“Aku tidak selalu ada bersamamu, Eungi-ya ....”

Mendadak, kedua bibir Eungi maju beberapa senti. Hoseok sangat menyadari, gadis itu merasa tidak suka dengan apa yang ia ungkapkan. Sehingga setelah memerhatikan wajah lucu dan menggemaskannya dengan senyuman, tanpa aba-aba lelaki itu mencium pipi Eungi secepat kilat, lalu melangkah lebih dulu meninggalkan gadis tersebut—yang sontak saja terserang keterkejutan. Kedua matanya membulat dengan mulut menganga.

“Ya! Ayo cepat!” panggil Hoseok yang tentu menyadarkan keterdiaman Eungi.

“O-oh, iya.” Refleks kedua sudut bibirnya menukik naik. Memejamkan mata merasa senang sambil memegang bekas ciuman Hoseok di pipi kirinya yang kini memerah itu.

“Sekarang masuklah, aku harus segera pulang,” kata Hoseok setelah mereka telah sampai di depan perkarangan rumah Eungi.

Sebenarnya sangat berat, tapi mau bagaimana lagi, Hoseok pasti sangat mengkhawatirkan Hyuka. Begitupun dengan Eungi. “Hm, hati-hati,” balasnya sambil mengangguk. “Ah, tapi ....”

“Ada apa?”

Eungi diam sejenak sambil matanya menatap Hoseok. “Omong-omong, kita bisa rahasiakan hubungan ini dulu pada orang-orang, kan?”

“Kenapa, kamu takut, ya?” Hoseok malah menggodanya, dan Eungi jadi merasa gelisah.

“Akan ada banyak yang terluka jika mereka—”

“Aku tahu,” sahut Hoseok memutus perkataan Eungi. “Sudah, tidak usah khawatir, hm?” kedua alisnya naik, lalu sedetik kemudian telapak tangannya mengusap puncak kepala gadisnya itu dengan penuh rasa sayang.

Akhirnya Eungi bisa tersenyum dan refleks menghambur kepelukan Hoseok. Namun, tiba-tiba saja sebuah sinar menyoroti ke arah mereka, membuat keduanya sontak melepaskan pelukan. Bahkan Eungi sempat mendorong tubuh Hoseok sampai terdampar di bawah semak-semak, yang tumbuh di depan rumah.

“Oh, Eungi,” kata Seokjin setelah yakin sambil terus memusatkan cahaya dari ponselnya itu ke arah Eungi—yang berusaha menutupi pandangan, karena silau dengan kedua telapak tangannya. “Aku pikir ada orang asing di sana, karena aku mendengar suara laki-laki.”

Eung, Kakak pasti sedang berhalusinasi karena mengantuk,” kelak gadis itu sambil melangkah mendekati Seokjin yang tetap berdiri di teras rumah.

“Ah, mungkin saja. Ya sudah, ayo kita masuk!” Eungi hanya mengangguk. Sebelum benar-benar memasuki rumah, ia sempat menoleh ke semak-semak—seakan meminta maaf atas tindakannya barusan pada Hoseok, yang pastinya masih bersembunyi di sana.

***

Maaf, ya.
Tadi aku benar-benar panik.
Takut kalau Ibu memergoki.

Tulis Eungi yang harap-harap cemas—menatap layar handphone—menunggu balasan Hoseok, sambil menelungkupkan badannya di atas kasur.

Selang satu menit, latar belakang salah satu tempat berkirim pesan itu memunculkan respons dari Hoseok.

Aku mengerti.
Tidak usah khawatir,
Sayang.

What?! Sayang?” Eungi sampai histeris. Menggulingkan tubuhnya hingga menatap langit-langit. Saking bahagia, ia spontan menendang-nendangkan kakinya ke udara. Menutup wajahnya yang sudah tentu merona dengan kedua tangan.

“Ini bukan mimpi, kan?” tanyanya seraya menampar pipinya sendiri, dan langsung merasakan sakit. “Hah ... ya ampun, Eungi. Kamu bisa gila.”

Ketiduran, ya?

Suara notifikasi itu kembali muncul, menginsafkan Eungi dari kehilangan segala konsentrasi hati dan pikirannya.

O, oh.
Bagaimama bisa aku tidur
sementara wajahmu selalu muncul.

Kamu benar-benar tergila-gila padaku.
Hati-hatilah, ini akan bertahan lama.

Aku rela :)

:)
Selamat tidur.
Aku rindu.
Sampai besok.
:3 <3

“Akhhhh! Apa-apaan ini?” pekiknya sembari menyentuh dadanya yang terus saja berdegup kencang. Sampai rasanya sulit sekali untuk bernapas. Senyumnya lantas melebar, membayangkan kembali apa yang sudah terjadi di taman tadi—yang membuat hatinya selalu berbunga-bunga.

***

“A-apa?”

Eungi segera melepaskan pelukan Hoseok. Apa yang baru saja ia dengar, sungguh membuatnya terkejut. Tercenung, menunggu penjelasan Hoseok.

“Eungi-ya, aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Kamu juga, kan?” Laki-laki itu menaruh kedua telapak tangannya di kedua pundak Eungi, seakan memperjelas semuanya.

Tak ayal, air mata langsung menetes di kedua netra Eungi. Napasnya naik turun menahan luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. Kata, yang sejak dulu ingin ia dengar akhirnya terucapkan. Dan semua itu seperti bukan kenyataan.

“Jadi kamu sudah tahu? Lalu kenapa menyakitiku?” Mengingat dengan cara apa dulu Hoseok menyuruhnya untuk membuka hati pada pria lain. Sementara ia tahu, itu menyakitkan. “Kenapa begitu tega, hah?!” Air matanya terus berderai, sedangkan tangannya mengepal memukul dada Hoseok.

Tanpa kata, dan banyak memberi alasan, Hoseok hanya menarik tangan Eungi lagi dan memeluk tubuhnya untuk memberi ketenangan—meskipun gadis itu terus meronta menuntut penjelasan.

“Aku mencintamu, bahkan jauh sebelum kamu memiliki perasaan itu,” ucap Eungi dengan nada parau di pelukan Hoseok. “Kenapa kamu tega menjadikanku orang yang bodoh, sangat bodoh.”

Hoseok tetap tidak mengatakan apa pun. Baginya, semua alasan itu adalah pahit dan terpenting sekarang ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi untuk menjaga perasaan orang lain. Lantas Hoseok segera melepaskan pelukannya dan merengkuh kedua tulang pipi Eungi, agar tegap menatap ke wajahnya. Menyeka air mata itu dan sengaja menutupnya. Perlahan, menyatukan bibir mereka dengan sentuhan yang sangat lembut. Menghapus jarak yang sebelumnya pernah mereka buat. []

Beautiful Moment [JH]Where stories live. Discover now