Moment 2

994 150 15
                                    

“Sungguh, kamu tidak mendapatkan undangannya lagi?”

Eungi sampai bertanya ulang untuk memastikan. Jelas ini membingungkan. Ia benar-benar tidak percaya kenapa kekeliruan itu bisa terjadi. Mereka berada di satu sekolah yang sama bahkan pernah satu kelas juga. Saat masa sekolah dulu Hoseok terkenal siswa yang aktif, dinamis, dan energik. Tidak ada yang tidak mengenal dirinya, walaupun dengan predikat sebagai murid pencipta huru-hara. Rasanya tidak masuk akal saja karena ini sudah terjadi lebih dari satu kali.

“Mungkin dia masih menganggapku musuh dan membenciku. Itu wajar,” simpulnya yang tidak terlalu memusingkan hal tersebut. Ia sedang sibuk mengenakan kemeja bermotif buah pisang berwarna cokelatnya, yang tiba-tiba mengalami masalah karena satu kancingnya copot.

Eungi yang melihat itu bergegas menaruh sebotol susu untuk Hyuka di meja makan, dan menghampiri Hoseok yang saat itu sedang bersiap di depan kaca westafel dekat pintu kamar mandi. Untuk sementara waktu ia mengabaikan bayi laki-laki tersebut yang memang sedang tenang bermain dengan pesawat-pesawatannya di atas perlak dekat ruang televisi.

“Tetapi itu sudah lama berlalu, seharusnya dia tidak perlu mengingatnya lagi.” Satu tangannya membuka kotak yang menempel di dinding dekat kaca westafel dan mengambil satu gulung benang berwarna cokelat beserta jarumnya.

“Seperti halnya dirimu,” Hoseok lantas menyerahkan kancing yang copot itu pada Eungi, “seharusnya kamu pun melupakan semua yang pernah dia perbuat padamu dan datang saja ke pesta ulang tahun itu. Aku rasa dia mengundangmu dengan sangat tulus.”

Refleks bibir berwarna pucat seperti kulit itu mengerucut. Sedangkan jari-jarinya mulai dengan cekatan menusukkan jarum dan menarik benangnya sehingga membuat kancing itu melekat kembali pada bagiannya secara perlahan-lahan.

“Itu tidak mudah.”

“Mudah saja jika kamu ingin. Tapi, sayangnya jika pun dia mengundangku, aku tidak mau datang ke acara tersebut.”

“Apa nyalimu terlalu picik sehingga tidak berani menampakkan wajah di hadapan jajaran masa lalu?” timpal Eungi sarkastis. Mendongakkan wajah untuk memastikan ekspresi Hoseok selanjutnya. Satu hal yang paling temannya itu benci ketika diingatkan tentang dirinya yang dulu sering berganti-ganti pacar. Bukan karena dia suka mempermainkan, tapi Hoseok tidak bisa berkata tidak pada gadis-gadis yang dulu menyatakan cinta padanya.

Untuk sebentar saja tatapan mereka saling bertemu sampai akhirnya Hoseok menyeringai hambar seraya memalingkan muka.

“Lalu, apa dirimu sangat ingin memamerkan diri sebagai pecundang level tinggi sehingga tidak ada nyali untuk sekali saja menampakkan diri?”

“Ya!” pekiknya jelas-jelas tidak terima. Saat itu juga Hoseok mengaduh karena ujung jarum yang runcing itu menembus kaus oblongnya dan mengenai kulit dadanya. Eungi pun tersentak karena sesungguhnya itu sebuah ketidak-sengajaan. Namun, ia kembali melanjutkan, “Berhenti mengejekku sebagai seorang pecundang karena pada kenyataannya kamu tidak lebih pecundang daripadaku.”

“Kalau begitu,” lengan kurus dengan jemari panjang itu lantas menggenggam kedua pergelangan tangan Eungi, seakan menguncinya dengan satu tatapan menghakimi, “buktikan saja.”

Tiba-tiba suara benda terjatuh menginterupsi interaksi keduanya. Eungi segera menarik tangannya dan menoleh ke sumber suara. Dilihatnya benda mainan berbentuk pesawat terbang itu terlempar dan terdampar dekat dengan kaki mereka.

Sementara yang tidak jauh dari mereka berdiri, gumpalan menggemaskan itu tertawa saakan yang baru saja ia lakukan adalah kejadian yang paling lucu dan menyenangkan.

“Oh ... oh. My sweety ....” Seolah tersadar, Eungi lantas berlari menyambar sebotol susu yang tadi ia tinggalkan di atas meja makan dan segera menghampiri Hyuka. Mengambil posisi duduk di samping bayi menggemaskan itu dan lekas memberikan makanan pengganti susu ibu untuk bayi tersebut.

Hoseok tersenyum sedikit melihat hubungan keduanya. Ia lantas menyelesaikan pekerjaan Eungi yang tertunda dan segera bergegas memakai kedua sepatunya.

“Woah ... Hyuka-ya!” Eungi tiba-tiba menderam, khas orang baru bangun tidur. Kepalanya direndahkan agar sejajar dengan wajah Hyuka. “Apa kamu tahu alasan kenapa ayahmu jadi membosankan sekarang ini?”

“Dasar bodoh,” cela Hoseok mencemooh. “Kamu bertanya pada anak kecil yang belum bisa bicara?” Eungi lantas menegakkan badannya dengan wajah menekuk kesal. “Bahkan dia tidak mengerti apa yang kamu maksudkan itu.”

Eungi menoleh cepat dan membalas, “Kamu bukan anak kecil, tapi jika aku melemparkan pertanyaan itu padamu, kamu juga tidak akan bisa menjawabnya, bukan?”

Pria itu bungkam. Ia berpura-pura tidak mendengarkan dan sama sekali enggan peduli.

“Apa kamu begitu frustasi setelah dicampakan oleh mantan kekasihmu itu?

Hoseok segera bangkit dari duduknya sambil menghela napas kasar. Tampaknya ia sudah sangat muak.

“Sudahlah. Berhenti bicara terus karena aku harus pergi sekarang.” Dia menyampirkan tali tas hitamnya ke pundak kiri, lalu berjalan mendekati Hyuka untuk sekedar mencium kedua pipi bocah menggemaskan itu kemudian mengacak rambutnya yang sudah tumbuh lebat. Melihat momen yang manis itu, tanpa terasa membuat kedua sudut bibir Eungi terangkat. “Ayah pergi bekerja dulu, ya. Kamu di sini bersana Eungi Noona, dan ingat jangan terlalu sering merepotkannya.”

Lantas pria itu kembali berdiri setelah sebelumnya menoleh pada Eungi sekilas—yang kaget karena merasa telah tertangkap basah sedang memperhatikannya. Namun, dengan karismatiknya, Hoseok menelusupkan kedua telapak tangan pada saku celana hitam dan berkata, “Oh, ya. Terima kasih karena sampai saat ini kamu masih mau menjaga dan merawat Hyuka saat aku bekerja. Aku tidak akan mengabaikan kebaikanmu begitu saja. Jadi, pekan besok, aku akan memberimu bonus tambahan.” Lalu berlalu begitu saja.

“Cek,” decih Eungi hampir tidak terdengar. “Dia itu benar-benar keterlaluan. Ayahmu masih saja berpikir jika aku melakukan semua ini hanya demi pekerjaan dan uang. Apa dia tidak bisa memahami kalau aku benar-benar tulus membantunya?” lanjutnya mengomel.

Rasa-rasanya Eungi ingin memekik sekeras mungkin sampai pria yang sudah hilang dari pandangannya itu mendengarnya, mengeluarkan semua isi hati, rasa kesal yang ada dalam perasaannya yang terpendam. Tidak bisakah kita berteman normal seperti dulu? []

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang