Moment 4

688 123 4
                                    

Hujan yang turun terus-menerus mengetuk kaca mobil tidak lantas membuat mereka membuka suara. Mendadak Kim Eungi menyesal karena harus terjebak dalam keadaan seperti ini bersama Jung Hoseok. Ah, tapi tunggu dulu. Benarkah dia menyesal karena sudah membiarkan Hyuka berdua saja dengan wanita asing itu, atau karena kedatangannya bersama pria yang sejak tadi tidak berniat untuk menjelaskan?

Menyebalkan. Bahkan Jung Hoseok membuat isi di otaknya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana bisa mereka bertemu? Di mana?  Untuk apa Jeon Marrie datang menemui Hoseok dan anak mereka? Tiba-tiba? Cih, bahkan menyabut wanita itu sebagai ibunya Hyuka saja membuat perutnya terasa mual. Selintas dalam benaknya ia benar-benar takut. Semuanya serba campur aduk.

Tidak tahan lagi, Eungi pun mulai berargumentasi.

“Omong-omong, kenapa kamu dengan leluasa membiarkan wanita itu berdua saja dengan Hyuka di rumah?”

“Apa salahnya?” Singkat saja dan lumayan membuat Eungi geram.

“Dia orang asing. Bagaimana jika dia menyakiti Hyuka?”

“Kamu terlalu banyak berhalusinasi. Berhentilah, tinggalkan itu. Itu tidak baik untukmu.”

“Hoseok-ssi. Aku serius.”

“Aku juga.” Hoseok menolehkan wajahnya dengan ekspresi yang memang tidak bisa dikatakan main-main. Dia tampak serius, dan itu lebih menakutkan dari wajah bapak-bapak yang memang setiap hari kerjanya marah-marah. “Marrie itu ibunya, jadi tidak mungkin dia berniat menyakiti anaknya sendiri.”

“Ck,” decapnya dengan senyum sinis. “Ibu kamu bilang?” Lantas menggelengkan kepala tidak habis pikir. “Ibu macam apa yang tega menelantarkan kekasih dan juga buah hatinya begitu saja?! Kamu ini lucu sekali. Hahaha.”

Eungi terbahak, yang jelas dibuat-buat hanya untuk menghibur diri. Sebenarnya di sini, yang perlu dikasihani itu dirinya. Kenapa mendadak ia merasa terancam dengan kehadiran Marrie? Oh Tuhan ....

Jung Hoseok menahan napas. Sebenarnya ia menghindari pembahasan tersebut, tapi Eungi justru terus menyulut emosi dan luka masa lalunya. Hingga terpaksa ia merespons dengan nada tinggi.

“Tidak bisakah kamu diam saja dan tutup mulutmu itu?” tukasnya terdengar menahan amarah. “Setidaknya tahanlah sampai kita tiba di tempat kerjamu.”

“Kenapa? Ada apa?!” Eungi malah semakin naik pitam. Tidak mungkin ia bisa menahannya, sementara kegusaran dalam hati dan pikiran semakin menjadi-jadi. “Memang benar bukan? Dia adalah wanita yang tidak bertanggung jawab.”

“Ya!” bentak Hoseok yang sungguh mengejutkan Eungi, sampai pundak gadis itu bergerak sedikit mundur karena terkesiap. Tatapannya jadi setajam silet. “Kau tidak tahu apa pun tentang aku dan bagaimana hubunganku dengan Marrie. Jadi berhenti menilainya buruk karena dia tidak seperti yang kamu pikirkan.”

Hatinya bergetar antara takut dan rasa sakit yang begitu saja datang tanpa diundang. Baru kali ini Eungi melihat secara langsung bagaimana Hoseok begitu marah dan membela Jeon Marrie. Memang, sebelumnya Hoseok tidak pernah menceritakan tentang mantan kekasihnya itu padanya. Apa yang sebenarnya telah terjadi selama lima tahun terakhir pada mereka. Kenapa hubungan mereka bisa berakhir dan tentang Hoseok yang selepas sekolah pindah rumah lalu menghilang tanpa kabar. Kemudian kembali  membawa seorang bayi, Eungi tidak pernah mempermasalahkannya.  Namun, mendengar semua tentang gadis itu, Eungi tidak yakin jika setelahnya perasaannya akan baik-baik saja. Memang sebutan apa yang pantas disematkan pada wanita yang tega meninggalkan orang yang pernah disayanginya, selain wanita yang tidak bertanggung jawab? Setidaknya dalam pikiran Eungi, Jeon Marrie adalah sosok wanita yang sangat buruk.

Akan tetapi, yang lebih menyakitkan ketika Hoseok mengatakan jika ia tidak tahu apa pun tentang dirinya.

“Waktu memang tidak cukup hanya untuk digunakan mengenal seseorang lebih dalam. Aku mengerti,” tukas Eungi terdengar parau seperti menahan tangis, yang membuat Hoseok membuang decapan kesal.

Seketika gadis itu merasakan perih di sekitar matanya. Di dalam dadanya bergemuruh, dan napasnya amat sesak. Kim Eungi tidak sanggup mengontrolnya. Ia butuh pelampiasan dan satu-satunya jalan adalah, dia harus menjauh dari Hoseok.

“Berhenti di depan sana!” Tidak ada jawaban, pria itu pura-pura fokus ke depan. “Aku tidak ingin menaiki mobil wanita yang tidak tahu malu dan suka bertindak seenaknya itu.” Namun, Hoseok sungguh tidak menggubris, sampai Eungi hilang kesabaran. “Aku bilang berhenti ya berhenti, Hoseok-ssi!”

Akhirnya Jung Hoseok menghentikan mobil merah menyala milik Jeon Merrie itu dengan cepat dan sangat mendadak—tepat di tepi jalanan yang sepi, membuat tubuh Eungi hampir terpental ke depan kalau saja tidak menggunakan sabuk pengaman.

Eungi menarik napasnya yang tersengal. “Apa kamu sudah gila?!”

Jung Hoseok tetap diam. Pria itu benar-benar menguji kesabarannya. Mengeratkan genggaman pada setir mobil. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu, Eungi tidak peduli. Lebih tepat, berpura-pura tidak peduli. Sehingga ia kembali berkata ketus seraya menyampirkan tas selempangnya di pundak kiri. “Untuk permintaan kecil saja kamu sulit memahaminya. Jadi pantas kamu tidak pernah paham bagaimana sosok Jeon Marrie yang sebenarnya.”

Hoseok semakin mencengkeram kemudinya hingga urat nadi di tangannya tergambar jelas. Eungi tahu betul jika pria kurus itu sedang menahan amarah. Namun, kali ini gadis tersebut tidak ingin mengerti dan tetap melanjutkan, “Terkadang orang yang buta sekalipun bisa menilai seseorang dengan hatinya, tapi tidak untuk yang buta karena cinta.”

Eungi mengulum kemarahannya, bersamaan dengan mata Hoseok yang beralih menatapnya. Tanpa antipati lagi, ia segera turun membuat tubuhnya perlahan-lahan terguyur hujan dan menutup pintu mobil dengan keras—meluapkan emosi. Begitupun dengan Hoseok yang langsung mengendarai mobilnya menjauh dengan kecepatan tinggi. Sekali lagi kelakuannya membuat Eungi hampir terkena serangan jantung.

“Dasar Jung Hoseok bodoh!” pekiknya menendang angin. Mencak-mencak seraya menghentakkan kedua kaki ke aspal yang sudah basar oleh hujan.

Ia sudah tidak peduli bagaimana sekarang tubuhnya basah kuyup terguyur air yang tiba-tiba semakin turun dengan deras.

“Bodoh, bodoh, bodoh! Kau tahu itu, bodoh!”

Beautiful Moment [JH]Where stories live. Discover now