Moment 23

368 80 21
                                    

Lebih dari sekedar marah, saat ini Eungi merasa telah menjadi wanita yang sangat bodoh. Tidak, bahkan sejak dulu hingga sekarang tampaknya ia telah pantas menyandang predikat seorang yang idiot. Hanya ia saja tidak pernah paham.

Tidak tahu diri, kenyataan tersebut sontak seperti benda keras telah menghantam dadanya. Sakit sekali, bahwasannya ia tidak pernah berpikir, jika keinginan hati untuk memiliki Hoseok dan Hyuka secara legal—hanya miliknya—merupakan perkara yang teramat sulit. Benar saja, kehadiran Jeon Merrie akan semakin memperkeruh segalanya. Terlebih Hoseok yang tidak pernah menunjukkan perasaannya.

Memang aku siapa? Bahkan jika dibandingkan dengan wanita itu, dari hal terkecil saja, Eungi tidak bisa menganggapnya sejajar.

“Lepas!” sentaknya kemudian, tidak berusaha untuk menarik kuat tangannya yang digenggam Jungkook, hanya berharap jika lelaki itu akan mengerti keinginannya.

“Ya—”

“Aku bilang lepas!” Nada suara Eungi lebih meninggi, sebab Jungkook tidak memedulikan perintahnya. “Jangan sok baik padaku, padahal dia kakakmu. Kalian, orang kaya sama saja. Suka berbuat sesuka hati pada orang miskin sepertiku.”

“Apa yang kamu katakan?” sela Jungkook tidak ingin membiarkan Eungi terus berpikir buruk tentang ia dan juga kakaknya. Kali ini mereka berhenti melangkah dan saling berhadapan, tanpa sedikitpun Jungkook melepaskan tangan gadis kurus bertubuh mungil tersebut. “Dia memang kakakku, aku menyayanginya, tapi kamu juga berarti bagiku. Aku mencintaimu dan tidak ingin melihatmu terluka.”

“Hentikan omong kosong itu dan menjauhlah.” Tanpa aba-aba, karena sudah dilanda rasa jengkel yang teramat sangat, Eungi menggerakkan tangannya dan mendorong dada Jungkook agar menjauh.

“Eungi—”

“Ini peringatan terakhir, tolong jangan mendekatiku lagi.” Setelah berusaha keras, saking geramnya, akhirnya tautan tangan mereka terlepas juga.

“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu sendirian.” Seperti biasa, Jungkook selalu kukuh pada pendiriannya.

“Kenapa kamu sangat keras kepala?”

“Karena kamu pun begitu,” balasnya tidak mau kalah.

Eungi akhirnya terdiam. Mereka saling menatap dengan pikiran yang memenuhi kepala masing-masing. Angin malam yang berembus di bawah ruang luas dengan sedikit bintang seakan tidak mampu membuat rongga dadanya sedikit melega. Gemuruh itu masih ada. Buntu karena tidak tahu caranya melupa. Sedangkan pemuda di hadapannya terus saja bersikap menggila.

***

“Sekarang kondisi Bayi Hyuka sudah lebih baik dan diperbolehkan pulang hari ini juga,” tutur seorang Pak dokter yang bertugas di klinik, setelah memeriksa keadaan bayi—yang biasanya selalu terlihat ceria—tapi kini ekspresi wajahnya begitu lesu, seakan kehilangan semangatnya. Memainkan pesawat-pesawatannya dengan tanpa minat. “Saya sudah membuat resep obat, jadi sebelum pulang kalian bisa mengambilnya lebih dulu.”

“Baik. Terima kasih, Dok,” jawab Marrie yang dibalas anggukan oleh dokter tersebut, sebelum akhirnya berlalu dari ruangan itu. Lantas ia mengalihkan pandangan pada Hyuka seraya merentangkan kedua tangan. “Ayo, sayang. Biar Ibu gendong, ya?”

Namun, bayi yang beberapa bulan lagi akan berumur dua tahun itu mengelak. Memalingkan wajahnya seperti memohon agar sang Ayah.

Bi-bi-bi-bi-bu!” ucapnya, samar-samar tidak jelas. Melebarkan kedua tangan, mengisyaratkan agar Hoseok cepat meraihnya. “Bi-bu-bi-bu.”

Hyuka terus mengucapkan kalimat itu sambil merengek. Hoseok jelas mengerti yang dimaksud bayinya, yang sekarang tengah memanggil Eungi. Entah sejak kapan, tapi akhir-akhir ini Hyuka sering memanggil ibu pengasuhnya itu dengan sebutan Bibu.

“Hyuka, sayang. Ayo bersama Ibu saja.” Marrie masih berusaha, Hyuka tetap memohon pada Hoseok, sementara laki-laki itu masih diam. Merasa tidak enak hati karena putra mereka enggan bersama ibunya sendiri.

Akan tetapi, Hoseok lebih tidak tega pada Hyuka dan segera meraih bayi itu dalam pelukannya. Membujuk seakan meminta maaf, agar Hyuka tidak merengek lagi dan bisa lebih tenang.

“Iya, sayang. Sebentar lagi kita akan pulang.”

Dari sudut matanya, Hoseok bisa melihat bagaimana perubahan ekspresi Marrie yang menjadi masam. Tidak mudah memang membujuk anak kecil, apalagi membuatnya cepat dekat—kecuali sudah sering bertemu dan rasa nyaman itu akan timbul dengan sendirinya.

“Tunggulah di luar, aku yang akan menebus obatnya.” Hoseok hanya mengangguk dengan senyum kecil, mengiringi langkah Marrie yang memutuskan untuk pergi ke apotek.

Bi-bi-bu-bu.” Hyuka kembali mengoceh, meresa yang diinginkannya belum terpenuhi.

“Iya-iya, Nanti Ayah akan mengajakmu untuk bertemu Bibu. Tapi sekarang tenang dulu, dan jangan rewel. Oke?” Layaknya anak baik dan sangat manis, walaupun tidak paham sepenuhnya, ia pun mengangguk. Kelakuan itu membuat Hoseok tersenyum karena merasa lucu. “Anak Ayah jangan sakit-sakit lagi dan membuat Ayah juga Bibu khawatir.”

Na-na, na-na.

“Pintar. Ayah mencintaimu.” Dengan penuh kasih sayang, Hoseok lantas mencium kening putranya tersebut lalu mendekapnya lebih erat. Sementara isi dalam otaknya terus saja berpikir tentang Eungi. Aku harap dia masih mau menemuiku. []

Gimana, sedikit ya? Hehe...
Masih setia? Tunggu part selanjutnya.
Bye-bye!

Beautiful Moment [JH]Where stories live. Discover now