Moment 29

379 74 14
                                    

“Maaf, karena Beomgyu kamu harus terluka seperti ini,” kata seorang wanita dengan usia kisaran lebih dari tiga puluh tahun itu tampak menyesal. Ekspresinya lantas berubah geram saat tatapannya beralih pada si anak tampan yang sejak tadi duduk di sebelah Eungi sambil mengawasi.

“Tidak apa-apa,” sergah Eungi seraya mengelus puncak kepala Beomgyu. “Jangan marah lagi pada anak manis ini.”

Sontak saja senyum anak itu merekah. “Terima kasih, Bibi. Aku yakin Bibi akan segera sembuh setelah diobati oleh Mama.” Anak tersebut bahkan sudah bersikap akrab padanya.

Wanita itu menarik senyum lurusnya, lantas kembali mengompres pergelangan kaki Eungi yang terkilir tersebut. “Sudah, Nyonya. Biar saya saja.” Berkali-kali Eungi mengelak, tapi wanita satu anak itu enggan mendengarkan.

“Aku dengar, kamu temannya Taehyung saat di sekolah menengah, benar?” tanyanya membuat topik pembicaraan lain. Ragu-ragu Eungi mengangguk, sebentar saja melirik pada Taehyung yang tengah sibuk membuatkan minuman di dapur. “Kim Eungi?” kedua mata gadis itu sempat membulat karena agak terkesiap. Rasa-rasanya sejak datang ke apartemen milik Kakak Taehyung itu, ia sama sekali belum memperkenalkan namanya. “Yeah, tentu aku ingat. Dulu, bahkan sampai sekarang Taehyung masih sering menceritakan tentang dirimu.”

“Hm?” Eungi tentu saja bereaksi tak percaya.

“Oh, apa aku baru saja membuka rahasia adikku sendiri?” pekiknya lalu tertawa—untuk menutupi keteledorannya sendiri. “Taehyung-ah, maaf!”

Sementara Taehyung yang mungkin tidak mendengar dan mengerti perkataan kakaknya, hanya menoleh sambil memasang wajah bingung. Tidak tahu harus bersikap, Eungi jadi gugup dan hanya bisa menunduk sambil berpikir tentang kenyataan yang baru saja didengarnya itu.

“Ya ... apa pun itu, minumannya sudah selesai. Hebat bukan? Akhirnya aku bisa membuatnya!” tukasnya dengan bangga membawa empat gelas jus jeruk di atas nampan sambil berjalan mendekati ruang tamu dan menaruh tiga gelas minuman itu di atas meja.

“Pasti minuman yang dibuat Paman enak dan segar!” balas Beomgyu yang begitu bersemangat mengambil satu gelas dan meneguknya. Semua jadi tersenyum menyaksikan tingkah bocah tersebut. “Bibi, ayo diminum!”

Eungi mengangguk seraya tersenyum dan mengambilnya. Sekali lagi ia mencuri pandang pada Taehyung yang tampak fokus menanggapi celotehan Beomgyu. Benarkah, dia menyukaiku sejak dulu? Mendadak kenangan masa lalu itu terekam lagi di ingatannya. Tapi kenapa kamu menyakitiku waktu itu? Apa cinta seperti itu?

“Oh, ya Eungi. Bagaiaman kakimu, apa sudah lebih baik?” tanya Taehyung memecah kediaman gadis tersebut.

“Hm.” Eungi menjawab sambil mengangguk dengan senyum datar.

“Syukurlah. Tapi, kenapa kamu ada di daerah sana?” Taehyung memerhatikan penampilan Eungi yang tampak rapi.

“Em ... sebenarnya aku sedang mencoba melamar pekerjaan di sekolah Kanak-kanak, tapi belum ada satu sekolah pun yang mau menerimaku.”

“Kamu mau mencari pekerjaan tambahan lagi?” sela Taehyung. “Apa tidak lelah? Bukannya kamu harus menjaga bayinya Hoseok itu?”

Eungi terdiam beberapa saat sembelum menjawab, “Aku sudah tidak bekerja di rumah Hoseok lagi, untuk itu aku mencari pekerjaan lain.”

“Hm?” Kening Taehyung mengernyit masih tidak percaya. “Serius?” Dengan lemah Eungi mengangguk. “Bagus kalau begitu kamu bisa bekerja di kantorku mulai besok.”

“Tidak.” Gadis itu refleks menggeleng cepat. “Aku hanya ingin bekerja dengan melihat anak-anak, karena itu seperti healing untukku.”

“Ya ampun ... manis sekali. Kamu benar-benar sangat menyukai anak kecil,” timpal wanita cantik itu agak memuji dengan senyum yang mengembang. Sedangkan Eungi meresponnya dengan senyum tipis, merasa sungkan. “Kalau begitu bagaimana jika untuk sementara waktu kamu bekerja di sini saja?”

“Maksud Anda?”

“Ya, jangan bersikap formal begitu padaku. Namaku, Kim Sowon. Kamu bisa memanggilku Kakak, sama seperti Taehyung.” Mendengar itu Eungi jadi kikuk.

“Hm, iya. Kak Sowon.”

“Jadi bagaimana, mau?”

Eungi tampak berpikir, dan Kim Sowon kembali menjelaskan. “Begini, Pengasuhnya Beomgyu memutuskan untuk berhenti karena akan menikah. Sementara anak ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Aku sangat khawatir karena dia begitu hiperaktif. Aku single parents dan harus bekerja juga. Taehyung, kamu tahu sendiri dia begitu sibuk di kantornya, sehingga hanya sesekali aku bisa menitipkan Beomgyu padanya. Kamu tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah, kamu hanya fokus mengurus Beomgyu saja. Seperti memerhatikan makannya, mengurus perlengkapan sekolahnya, mengantar jemputnya ke sekolah, dan memastikan jika Beomgyu dalam keadaan yang aman. Apa kamu sanggup?” Eungi masih diam. “Ini hanya sementara sampai kamu menemukan sekolah yang benar-benar menerima posisimu di sana. Tenang saja, aku akan membantumu.”

“Ayo Bibi, terima saja!” kata Beomgyu dengan suara tingginya tampak bersemangat sambil menarik-narik lengan baju Eungi.

“Lihat, bahkan putraku sangat menyukaimu.” Sowon terus berusaha membujuk, sedangkan Taehyung tidak berkata apa-apa—hanya memerhatikan.

Melihat wajah Beomgyu yang penuh harap padanya, Eungi beralih tidak tega. Dengan senyum tulus, akhirnya dia menjawab, “Baiklah.”

“Yey! Asik!” seru Beomgyu sambil meloncar-loncat, dan tingkahnya itu sukses membuat Sowon, Taehyung, dan Eungi tertawa merasa lucu.

Mungkin saat ini aku memang ditakdirkan untuk menjadi pengasuh. Tidak apa-apa, bukankah jadi pengasuh sama halnya seperti mendidik? batin Eungi berusaha menghibur diri.

***

“Kenapa tidak mau makan, sih, hm? Kamu bisa sakit kalau begini terus.” Hoseok kembali mengeluh karena bayinya itu sama sekali tidak mau disuapi, seperti merajuk, dia hanya fokus pada mainannya dengan ekspresi cemberut. “Hyuka sayang, aaa ... ayoo makan.”

Lagi-lagi Hyuka memalingkan wajah, menghindari ujung sendok yang diayunkan ayahnya dekat ke mulutnya.

Sontak Hoseok mengembuskan napas. “Baiklah, Ayah menyerah.”

Diletakkan mangkuk makanan itu dan pergi ke dapur untuk membersihkan sisa-sisa memasak yang sangat berantakan padahal hanya menyiapkan bubur. Sementara Hyuka masih tenang bermain dengan mainannya, sendirian.

Setelah semuanya selesai dan dapur kembali bersih, Hoseok mulai memperhatikan putranya dari depan wastafel sambil melipat tangan. Ia mulai bingung harus menitipkan Hyuka pada siapa selama bekerja mulai besok. Namun, tanpa terduga dari arah pintu muncul Marrie. Berjalan tanpa ragu memasuki rumahnya yang memang tidak terkunci.

“Kamu?” respons Hoseok agak terkejut seraya menghampiri.

“Tiba-tiba aku ingin sekali bertemu dengan Hyuka, untuk itu aku datang dan membawa buah pisang kesukaannya dan juga anggur kesukaanmu,” tutur Marrie seraya menunjukkan kantung plastik besar yang ditentengnya menuju mini bar dekat dapur. Tanpa interuksi si pemilik rumah lagi, wanita itu lantas mengeluarkan buah dari bungkusnya dan menyisihkan ke dalam mangkuk—dengan maksud segera mencucinya. “Ini tidak merepotkan, mengerti?” Sebelum Hoseok berkomentar, ia sudah memberi peringatan. “Ini sudah menjadi hakku dan kamu pun tidak bisa melarangnya.”

Akhirnya Hoseok hanya mampu duduk di sofa dekat matras, di mana Hyuka bermain di sana. Menumpukan kedua sikunya ke atas lutut. Mencoba menahan diri dan memahami situasi. Ini tidak mudah, tapi Marrie juga sangat keras kepala. Hoseok juga tidak mungkin mejauhkan Hyuka dengan ibunya, tapi terus bersikap diam juga tidak baik. Bukan apa-apa, Hoseok hanya takut jika Marrie berpikir lain.

“Apa mau kamu yang sebenarnya?” kata itu langsung terlontar dari Hoseok, seakan ia tidak bisa membiarkannya lagi.

Marrie yang tengah menyuapi pisang pada Hyuka lantas menoleh dengan kernyitan pertanda bingung. “Aku tidak mengira itu keluar dari mulutmu. Pikirku kamu sudah mengerti.”

Agak kecewa, ia pun mencoba mengabaikan dan fokus kembali pada Hyuka.

“Marrie, sebenar—”

“Hoseok,” putus Marrie yang tampak geram. “Apa tidak bisa kita berdamai dan memulainya dari awal?” []

Beautiful Moment [JH]Where stories live. Discover now