Moment 50

89 16 3
                                    

“Ya Tuhan ... belanjaannya banyak sekali! Ini, sih, persediaan untuk satu minggu,” celetuk Seokjin ketika adik tersayangnya itu baru pulang dari supermarket.

“Bisa tidak bantu aku membawanya daripada hanya duduk diam disitu dan berkomentar?” kata Eungi berkata sinis. Seokjin yang paham betul lantas segera menghampiri, mengambil alih dua kantung belanjaan di tangan kiri Eungi, sebelum kena ceramah lagi.

“Untuk membuat masakan sebanyak itu memang sanggup kita kerjakan berdua?”

“Ehm, Kakak meragukan kemampuanku?” Eungi mendelik seraya menggulung lengan bajunya sampai siku. “Begini juga aku itu pintar masak, sama seperti ibu.”

“Ya ... aku percaya, tapi apa kamu yakin bisa seenak masakan ibu?” Kini Seokjin yang membantu mengeluarkan bahan-bahan masakan yang akan dicuci. “Ingat, Nenek itu sangat kritis soal makanan. Kurang sedikit saja, dia akan menyeramahimu satu minggu. Aku, sih, tidak bisa membayangkan itu. Kupingmu pasti akan selalu berdengung setiap hari, selama Nenek menginap di sini.”

“Ish!” Sebuah centong langsung mendarat di kepala Seokjin, tak ayal membuat pria itu mengaduh kesakitan. “Mulutmu itu memang seperti harimau. Tidak bisakah diam dan hanya menyemangatiku saja, bukan membuatku marah?” sentaknya yang sudah terlanjut emosi.

Ketika suasana sedang mencekam—bagi Seokjin, tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka membuat dua orang itu kompak menoleh—terutama Eungi yang sontak terkejut.

“Ada apa ini?” tanyanya dengan wajah bingung. “Aku dengar dari dalam kalian ribut sekali?”

“Ho-Hoseok-ah, kamu—”

“Nah, kamu dengar sendiri, kan?” Seokjin tanpa kapok segera memprovokasi, menjadi ekspresi wajah Eungi berubah panik. “Dia ini seperti Serigala yang siap menerkam siapa saja jika membuat kesalahan. Aku tidak yakin kamu akan baik-baik saja jika menikah dengannya. Jadi lebih baik pikir-pikir lah dulu.”

“Kakak!” Eungi tambah geram karena Seokjin malah menjadi-jadi tidak ada kapok-kapoknya.

Sementara, Hoseok berangsur tertawa mendengar dan melihat secara langsung perdebatan mereka. Kakinya pun segera melangkah mendekati Seokjin dan Eungi ke area dapur.

“Kalian ini begitu kekanakan, tapi itu sangat lucu.”

Eungi tersenyum kaku mendengar pendapat Hoseok.

“Tenang saja,” ucapnya lagi sambil merangkul tangannya ke pinggang Eungi, dan menariknya menjadi sangat dekat. Refleks perbuatan Hoseok membuat gadis itu deg-degan sekaligus was-was. “Aku sudah terlanjut jatuh cinta kepadamu, sampai aku tidak bisa melihat sikap burukmu sama sekali.”

Tentu saja hatinya meleleh mendengar kalimat itu sampai-sampai mereka lupa masih ada Seokjin di sana.

“Hey! Eungi masih belum sah menjadi milikmu, jadi jaga sikapmu.” Seokjin serta merta melepaskan pelukan mereka, membuat keduanya tertawa merasa lucu. “Aku memang jomblo, tapi bukan berarti kalian bisa seenaknya bermesraan di depanku. Dan, ya! Akun kakaknya Eungi, jika kamu ingin menikah dengannya, kamu juga harus mendapatkan restuku. Jadi, berbaik hatilah padaku sebelum kalian benar-benar menikah.”

“Hm, tentu saja.” Hoseok menanggapi dengan sikap yang masih santai.

“Itu jelas tidak mudah.” Seokjin kembali membuat tantangan. “Aku sangat suka makan dan aku paling tidak suka makan sendirian. Jadi mulai besok, kamu harus menemaniku makan siang setiap hari di rumah sakit.”

“Kakak, apa-apaan ini?” Eungi jelas protes. “Aku saja yang pacarnya sulit sekali untuk bertemu dan kamu—”

“Tidak masalah, akan kulakukan.”

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang