Moment 6

593 112 3
                                    

Kalau bukan karena isi di dalam perutnya meronta-ronta minta makanan, dan kerongkongannya yang terasa tandus seperti di padang pasir, Kim Eungi memilih mengurung diri di dalam kamar seharian dan berleha-leha saja di atas kasur. Lagian ini hari libur. Rasa-rasanya kejadian semalam benar-benar membuat perasaannya sangat suntuk, hilang selera, dan malas sekali untuk bergerak.

Yeah, tanpa banyak pertanyaan, dengan rasa gengsi yang sedikit dikurangi, Eungi sudah mengirim pesan pada Hoseok jika hari ini ia tidak akan datang ke rumahnya. Lalu dengan hanya sebuah balasan kata ‘ya’ saja, tanpa bertanya kau kenapa? nyaris membuat Eungi ingin menelan laki-laki itu hidup-hidup.

“Keterlaluan, harusnya aku yang marah bukan?” gerutunya seraya melempaskan ponselnya ke atas kasur tanpa minat. “Bahkan dia tidak perduli mau aku marah atau pun tidak. Argh ....”

Menyadari kenyataan itu, dengan langkah disentak-sentakkan Eungi berjalan keluar dari kamarnya, sambil memegang perut dengan penampilan dekil, khas orang baru saja bangun dari tidur panjangnya.

“Tumben sekali, padahal sudah hampir tengah hari. Kenapa baru bangun?” tegur kakaknya itu yang baru disadari Eungi, berada di ruang televisi sedang menonton sambil bermain dengan kucing peliharaannya yang bernama Haru. Gadis itu hanya melirik sekilas disela langkahnya menuju meja makan. “Biasanya pagi-pagi sekali kamu sudah tidak ada di rumah. Apa hari ini Hoseok menyuruhmu untuk libur?”

“Aku sedang tidak enak badan,” jawab Eungi seadanya setelah meneguk satu gelas air putih sampai habis. Karena memang benar, setelah kejadian hujan-hujanan kemarin kepalanya terasa pusing, seluruh badannya seperti ada yang menusuk-nusuk, dan hidungnya tersumbat, bahkan bersin-bersin.

“Oh, ya? Kalau begitu pergi ke klinik, kamu bisa membuat satu rumah tertular penyakit.”

“Bukankah kau juga dokter? Untuk apa repot-repot pergi ke klinik kalau dokternya saja ada di rumah.”

“Ya! Aku ini dokter bedah. Aku bisa saja memberimu resep obat, tapi itu bukan kuasaku. Jadi pergilah sana.”

“Tidak. Lagian ini hanya sakit biasa, besok pagi pasti sembuh hanya dengan minum obat persediaan di rumah,” dalih Eungi tetap berkeras hati tidak mau pergi. Lalu tangannya cekatan membuat roti isi keju yang bahan-bahannya sudah tersedia di meja makan, setidaknya untuk mengganjal perut sampai jam makan siang.

“Semoga saja, tapi ... apa kamu tahu sesuatu yang kulihat di rumah Hoseok?” Eungi masih diam, fokus mengunyah rotinya meskipun tatapan yang ia layangkan untuk kakaknya itu berarti sebuah rasa penasaran: Kenapa tiba-tiba dia bertanya seperti itu? “Tadi, sepulang aku mengajak Haru olahraga pagi, saat melewati rumah Hoseok, aku melihat dia keluar dari rumahnya bersama seorang wanita. Dan kamu tahu siapa wanita itu?” Tanpa terasa wajah Eungi berubah jadi panik. “Dia adalah Jeon Marrie, pewaris utama Jeon's Group, cucu dari pemilik rumah sakit tempatku bekerja.”

Pernyataan Seokjin serta-merta membuat roti yang sedang dicerna dalam mulut Eungi beberapa berhamburan dari mulut karena tiba-tiba saja gadis itu tersedak sampai dadanya terasa sesak.

“Oh, kamu baik-baik saja?!” pekik Seokjin yang ikut panik seraya berlari menghampiri adiknya itu dan membantu memberinya minum. Sampai habis satu gelas pun, Eungi masih belum bisa meredakan batuk-batuk dan juga rasa keterkejutannya. “Hah ... kamu ini membuatku takut saja.”

“Ja-jadi ... Jeon Marrie itu anak seorang pewaris, begitu?”

Seokjin mengangguk. Alisnya bertaut sedikit bingung. “Kamu mengenal gadis itu? Atau jangan-jangan kamu tahu jika Marrie ada di rumah Hoseok? Oh, apa itu sebabnya kamu tidak pergi ke rumah Hoseok pagi ini karena tidak mau mengganggu kebersamaan mereka?”

“Apa yang kamu katakan?!” sentak Eungi naik pitam. Aliran darahnya tiba-tiba meningkat dan suhu tubuhnya menjadi sangat panas. “Dengarkan aku, aku tidak peduli mau wanita itu bermalam dan menghabiskan waktu berdua bersama Hoseok, atau kehadiranku akan mengganggu mereka. Tugasku adalah merawat Hyuka, jadi mereka bukan urusanku. Mengerti?”

Tiba-tiba saja Seokjin tertawa. “Kalau begitu kenapa wajahmu sangat merah? Kamu cemburu atau sedang marah?”

Argh!” Eungi kesal sendiri, lalu bangkit dari duduknya sambil berkacak pinggang tepat di hadapan kakaknya itu. “Aku tidak marah apalagi cemburu, tidak sama sekali.”

Setelahnya Eungi pun memilih untuk kembali masuk ke dalam kamar. Selera makan dan rasa laparnya hilang sekejap mata. Semua tergantikan oleh perasaan gelisah yang tidak dimengerti akar permasalahannya dari mana.

“Untuk apa semua perasaan ini?” keluhnya mondar-mandir tidak karuan di dekat ranjang. “Apa iya aku cemburu? Argh ... Eungi, sadarlah!” pekiknya sangat frustrasi. []

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang