Moment 53

86 16 6
                                    

Setelah pertengkaran pagi itu, Eungi langsung pergi ke rumah Hoseok. Ke mana lagi tempatnya berkeluh kesah selain pada kekasihnya itu. Terlebih melihat senyum Hyuka yang ceria saja sudah sedikit mengurangi kegelisahan di hatinya.

Eungi memang tidak menangis atuh mengeluh secara langsung pada Hoseok. Dia hanya diam dan bergegas ke kamar Hyuka. Mengurus bayi itu dari mandi sampai masak dan akhirnya sarapan. Hoseok yang mengerti pun tidak segera bertanya. Ia juga mencari kesibukan sendiri dengan berbenah rumah, mencuci piring, baju, sampai mengurus pekarangan rumah yang rumputnya sudah memanjang—mumpung sedang libur kerja.

“Hyuka-ya, kemarilah!” pekik Eungi dengan semangat agar Hyuka yang tengah berdiri mau melangkahkan kaki menghampirinya.

Bayi lima belas bulan itu pun masih takut-takut. Pijakan di kakinya masih goyah, sehingga tiba-tiba saja ambruk kembali dan menangis.

“Ouh ... nggak apa-apa. Yang penting kamu sudah mencobanya.” Eungi segera merangkul Hyuka. Mengelus puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. “Ini, kita tendang lagi bolanya, oke?”

Serta-merta gadis itu menendang bola kaki berukuran kecil tersebut, dan Hyuka dengan cepat merangkak untuk mengejarnya. Keduanya tampak bahagia bermain hal sederhana yang menyenangkan. Hoseok yang sedang memotong rumput pun sesekali menoleh dan ikut tersenyum. Ia ingin sekali selamanya bisa merasakan hal sebahagia itu. Bersama wanita dan anak yang sangat dicintainya. Namun, nyatanya masih ada saja rintangan yang harus ia lewati. Tidak mudah, karena ini tentang restu seorang ibu.

Ia tidak mau gegabah lagi. Mengambil keputusan yang salah untuk kedua kali—jika tidak mau hubungannya kembali gagal. Restu keluarga apalagi orang tua itu penting, jika ingin bahagia menjalani hidup berumah tangga.

Saat sedang merenung, tiba-tiba ponsel yang ada di saku celananya berbunyi. Hoseok segera mengambil benda itu dan agak terheran setelah membaca nama Jimin yang tertera di layar. Pasalnya aneh saja, sudah hampir tiga bulan adiknya itu tidak menghubungi. Hoseok pun tidak balik memberi kabar. Bukan tidak peduli, hanya saja Jimin akhir-akhir ini sedang sibuk kuliah dan menyusun skripsi. Ia hanya tidak ingin mengganggu. Lalu ibunya, kadang-kadang pun dihubungi. Baru dua minggu yang lalu, dan katanya kabar mereka baik-baik saja.

“Ya, Jimin-ah!”

“Huh, Hyung! Kamu ini keterlaluan. Hanya untuk menekan ikon warna hijau saja lama sekali. Aigo ...,” kata Jimin di balik telepon yang langsung mengomel.

“Dengarlah. Waktuku ini sangat berharga, bukan hanya untuk mendengarkan keluhanmu itu.”

“Ya, ya, ya, baiklah. Memotong rumput saja kamu bilang sesibuk itu?”

Hoseok mengernyitkan keningnya. Dari mana Jimin tahu kalau dirinya sedang memotong rumput.

“Ya! Hyung!”

Hoseok semakin tersentak. Teriakan itu terdengar jelas dan nyata. Sehingga ia refleks menoleh ke arah pagar rumah, dan betapa terkejutnya ia saat melihat Jimin dan ibunya berdiri di depan sana—melambaikan tangan.

Min Ah tersenyum lebar melihat putranya. Senyum tulus dengan tatapan lembut penuh kerinduan. Begitupun dengan Hoseok yang tidak menyangka sekaligus gembira karena dua orang yang juga penting dalam hidupnya sekarang ada di hadapannya. Sementara Eungi yang mulai sadar pun segera menggendong Hyuka dan menghampiri mereka.

“Ibu. Kenapa tidak bilang jika akan datang?” tanya Hoseok setelah menerima pelukan dari ibunya dan adiknya itu. “Padahal aku ada di rumah dan bisa menjemput kalian.” Mata tajamnya langsung mengarah pada Jimin. Dia sudah menduga jika itu adalah rencana adiknya—yang kini terkekeh.

“Kamu pikir aku tidak bisa membawa Ibu sendiri ke rumah masa kecil kita ini, huh?!” seloroh Jimin dengan ekspresi pongah.

“Ya, baiklah. Adikku sekarang sudah besar.” Hoseok serta merta merangkul leher Jimin dan mengacak-acak rambutnya. Sehingga Jimin pun terkekeh dan berusaha melepaskan diri.

“Sudah-sudah, apa kalian mau terus begini dan tidak membiarkan Ibu masuk untuk istirahat?” kata Hye Min Ah melerai perdebatan kecil di antara kedua putranya. Lantas matanya melirik sosok Eungi yang sejak tadi terdiam menyaksikan mereka, bersama Hyuka. “Oh, cucu Nenek. Hampir saja Nenek melupakannya.”

Cepat saja wanita itu mengulurkan tangan. Mengambil alih untuk menggendong Hyuka. Sedangkan Jimin yang baru menyadari kehadiran Eungi, menyenggol lengan Hoseok. Menaikkan dagu seolah bertanya siapa gadis itu?

“Kamu Kim Eungi, benar?” Namun, sebelum Hoseok menjelaskan, ibu mereka sudah bertanya lebih dulu. Jimin yang mendengar itu segera membeliakkan mata.

Eungi yang merasa masih diingat oleh calon ibu mertua jadi sangat bahagia. Sehingga malu-malu ia tersenyum seraya membungkuk memberi hormat.

Annyeonghaseyo! Senang bisa bertemu bibi lagi.”

“Wah ... ingatan Ibu bagus juga!” sahut Jimin merasa takjub. “Dia kakak culun itu, kan? sekarang lumayan cantik.”

“Ya, jaga ucapanmu!” sergah Hoseok yang langsung mendaratkan pukulan di kepala Jimin. Pun, Eungi menertawai tingkah adik kakak itu, sebelum Hoseok melanjutkan kata-katanya lagi. “Dia itu calon kakak iparmu, jadi bersikap yang sopan padanya.”

Mwo?” []


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang