Moment 5

614 107 8
                                    

Jika jatuh cinta bisa membuat orang menjadi buta dan bodoh, maka Kim Eungi memilih untuk tidak jatuh cinta selamanya. Baginya cinta hanya menggaritkan luka dan derita. Kapan cinta bisa membuatnya bahagia? Anehnya, Jung Hoseok masih saja bisa membela Jeon Marrie sedalam itu padahal wanita tersebut pernah membuatnya terluka.

Sialnya, Eungi masih saja memikirkan dugaan-dugaan yang mungkin terjadi bahkan sampai tempat kerja. Gadis itu duduk melamun menekuk wajah seraya bertopang dagu. Lebih-lebih dia tidak menyadari ketika seorang pembeli tengah menaruh dua kaleng minuman dingin ke atas meja kasir.

Seorang pemuda berbaju hangat berwarna biru gelap itu mengernyit heran walau kenyataannya masih membiarkan. Sampai saat ini ia masih sabar.

Sampai lima menit berlalu tidak ada perubahan. Pemuda dengan mata bulat besarnya itu pun melakukan sesuatu. Direndahkannya punggung bidang itu dengan kedua siku bertumpu pada meja kasir untuk menyanggah dagunya. Persis seperti yang dilakukan Eungi. Belum ada reaksi, ia pun mendekatkan wajahnya, terus mendekat sampai jarak mereka tidak lebih dari lima jari. Saat itu juga Eungi tersentak dan refleks berteriak, bahkan sampai memundurkan pundaknya dengan cepat. Melihat reaksi kasir itu, pria tersebut menunjukkan senyum tipisnya seraya kembali bersikap tak acuh seolah tidak terjadi apa pun.

“Apa-apaan ini? Mau berniat jahat padaku, iya?!” tuduh Eungi memekik, menoleh ke sana kemari mencari keberadaan bosnya atau pengunjung lain, tetapi tidak ada siapapun. Mereka hanya berdua, dan itu membuatnya mulai gelisah. Sehingga mau tidak mau ia harus bersikap waspada.

“Mungkin. Jika kamu tidak menyadarinya lebih dulu,” jawabnya terdengar santai.

Mendengar perkataan itu sontak saja semakin membuat tangan serta lutut Eungi bergetar. Matanya mulai melirik mencoba mencari benda tumpul apa pun, setidaknya yang bisa dijadikan alat perlawanan.

Namun, saat tangannya hendak menarik gagang sapu yang ada di pojok rak susunan rokok, tiba-tiba pria itu berkata, “Lain kali berpikir dulu sebelum berkata. Aku hanya ingin membayar dua minuman dingin itu, apa kamu tidak melihatnya?”

Eungi menoleh ke meja kasir dengan takut-takut dan benar, di sana ada dua minuman dingin. Lantas kedua bola matanya berotasi seraya membuang muka, lalu berdiri dan mulai menghitung dua minuman yang dibeli pemuda bertubuh atletis itu.

“Omong-omong berkonsentrasilah saat bekerja. Untung saja aku yang memergokimu sedang melamun hal-hal kotor, bagaimana jika benar-benar ada orang yang jahat berniat mengganggumu?”

“Apa?!” sewotnya yang tidak terima. “Siapa yang sedang melamun hal-hal kotor? Jangan menuduh sembarangan.”

Dia tertawa begitu singkat seperti mencemooh seraya menenteng kantung plastik berisi belanjaannya.

“Tenang saja,” celetuknya lagi yang kini berani menepuk dua kali pundak Eungi, “jika kamu butuh seseorang untuk pelampiasan lamunan kotormu itu, bilang saja padaku.”

“Ya!” bentak Eungi tidak terima yang langsung melepas sebelah sepatunya dan melemparkan pada pemuda yang bicaranya tidak tahu sopan santun tersebut. Sedangkan orang itu sudah sigap menghindar bahkan menangkap sepatunya.

Alih-alih dikembalikan atau membalas kemarahan Eungi, dia malah berbalik dan membawa serta sepatu putih itu.

“Ya! Sepatuku!”

Pemuda itu menoleh sebentar tepat di depan pintu dan berkata, “Kamu sudah membuangnya, bukan? Jadi ini milikku sekarang.” Lalu berjalan melewati pintu.

Ergh ....” geram Eungi mengepalkan kedua tangan di depan dada. “Awas saja kalau bertemu lagi, aku tidak akan memaafkannya.” []

Beautiful Moment [JH]Where stories live. Discover now