Moment 3

820 132 12
                                    

Akhir-akhir ini ramalan cuaca sangat sulit dipercaya. Baru tadi pagi pembaca berita mengatakan jika sore nanti akan sangat cerah, tetapi nyatanya hujan turun seolah tanpa celah. Seperti menumpahkan gundukkan air dalam tampungan yang besar. Sialnya, Hoseok melupakan payungnya di loker kantor dan alhasil sekarang ia harus terjebak di halte tanpa bisa berkutik atau berpikir untuk menerjang titik-titik air saat itu juga. Padahal hanya tinggal berjalan kaki tidak lebih dari seratus meter. Bukannya penakut, ia hanya tidak ingin menambah pekerjaan Eungi, dengan langsung mencuci bajunya yang basah. Sudah terlalu banyak pakaian kotor yang menumpuk, masalahnya Hoseok belum sempat mencucinya.

Sekali lagi irisnya tertuju pada arloji. Sisa sepuluh menit, seharusnya ia sudah sampai di rumah. Eungi pasti sudah menunggu, sementara gadis itu harus berangkat untuk bekerja. Saat ini Hoseok benar-benar dilanda kejemuan—bagaimana nomor gadis yang sejak tadi di teleponnya itu tidak juga menerima panggilan. Dia ini marah, atau sedang repot mengurus Hyuka? Pikirnya agak jengkel. Padahal dia ingin meminta Eungi untuk menitipkan saja Hyuka pada Paman Hwang, agar dirinya bisa segera pergi.

Akan tetapi, tanpa disangka-sangka sebuah mobil berwarna merah mengilat berhenti di depannya berdiri. Awalnya pria berahang tegas itu tidak memedulikan, tapi yang di dalam sana lantas membunyikan klakson. Otomatis Hoseok mengarahkan pandangan tepat saat kaca mobilnya turun perlahan-lahan dan betapa terkejutnya ia dengan kedua mata membeliak sulit mengakui jika yang dilihatnya adalah nyata.

“Kamu butuh tumpangan?” pungkas perempuan cantik di kursi pengemudi itu tanpa melepas senyumnya sedikit pun. Tidak ada kecanggungan yang terpancar di wajahnya, seolah mereka sudah sering bertemu setiap hari. Namun, karena Hoseok masih terdiam, ia lantas melanjutkan, “Ya! Ayo, masuklah! Aku pun bermaksud untuk pergi ke rumahmu juga.”

Mematung. Hoseok masih sangat terkejut. Ke rumah? Dia, dengan tiba-tiba?

***

Di luar sana hujan turun semakin deras. Sementara di ruang tengah Hyuka sudah tertidur di atas matras, ditemani Eungi yang mungkin ketiduran sambil memeluknya dari belakang. Tanpa permisi dua sudut bibir tipisnya mengukir senyuman, meskipun rasa kasihan dan bersalah terus meluap menggelitik perasaan. Eungi pasti lelah setelah seharian menjaga putranya sampai ketiduran.

Setelah meletakkan tas kerjanya di atas sofa, pria itu lantas melangkahkan kaki rampingnya mendekati dua orang yang tidak terusik sedikit pun. Mungkin karena terlalu nyenyak. Padahal televisi masih menyala menyiarkan acara kartun Pororo kesukaan mereka. Sebelum memerhatikan dua wajah bak malaikat saat tertidur itu, tangannya meraih remote di genggaman Eungi dan mengecilkan volumenya. Rasanya dia tidak tega membangunkan gadis tersebut.

Tiba-tiba Eungi menggeliat, memegang tangan Hoseok hingga mengerjap. Merasakan hal berbeda, gadis tersebut membuka mata sepenuhnya dan terperanjat melihat pria itu sudah berada di dalam rumah.

“Kamu?!” Gadis itu mencoba mengumpulkan semua kesadarannya. Mengerjapkan mata dan duduk segera dari tidurnya. Ia menoleh ke jendela dan melihat keadaan di luar yang sudah begitu gelap ditambah lagi hujan yang turun sangat lebat. “Aish ... dasar ponsel tidak berguna. Padahal aku sudah menyetel alarm, tapi kenapa tidak bekerja?”

Eungi mengerang mengutuki alarm yang tidak berbunyi, padahal ia sudah mengaturnya tepat pukul tujuh malam. Sehingga gadis pemilik alis rapi dan tipis itu harus kebablasan tidur tidak tahu waktu seperti saat ini.

“Kamu tidur seperti kerbau. Malah menyalahkan benda mati itu.”

Bola matanya berotasi seiring jarum jam. Alih-alih membalas celaan Hoseok, ia bangkit dari matras dengan langkah oleng dan beranjak menuju wastafel. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Sehingga ia bermaksud untuk menyeka wajah dengan air.

“Bersiap-siaplah. Akan kuantarkan kamu ke tempat kerja,” kata Hoseok seraya mengeluarkan ponsel dari saku celana. “Aku akan meminjam mobil Paman Hwang.”

Ah, tidak perlu,” sergah Eungi cepat-cepat. “Aku tidak akan pergi.”

Hoseok tidak jadi menekan ikon telepon berwarna hijau dan beralih memandang Eungi lewat cermin dengan memiringkan kepala. Seperti memberi pertanyaan, kenapa?

“Kalau kita pergi, siapa yang akan menjaga Hyuka?” kata Eungi memberi alasan. “Dia akan sendirian.”

“Biar aku saja.”

Mendengar suara asing ada di dalam rumah itu, Eungi tergemap. Menyeka air di wajah yang secara langsung mengaburkan pandangannya dengan cepat. Berkali-kali netranya membulat lalu mengerjap-ngerjap melihat sosok wanita berpostur tinggi langsing, berpakaian elegan, cantik, dan memiliki kulit putih bersih terawat—berdiri memandanginya lewat cermin. Tidak puas, Eungi lantas memutar tubuhnya dan kini bisa melihat sosok bidadari itu secara lebih jelas.

“Ke-kau—” responsnya tergagap, sedangkan matanya melirik pada Hoseok yang sudah memalingkan wajah—mendengkus napas gelisah seraya menelusupkan telapak tangannya, “siapa?”

Wanita yang Eungi nilai masih seumuran dengannya itu tersenyum ramah.

“Aku Jeon Marrie,” jawabnya bernada lembut. Senyumnya tidak hilang barang sedikit saja. “Ibunya Hyuka.”

Hah?! Mulutnya menganga tanpa ada suara. Rasa-rasanya untuk mengerti dan menanggapi perkataan wanita itu saja saraf ditubuhnya tidak mau berkompromi, apalagi perasaan yang mendadak membeludak di dalam hatinya. Apa-apaan ini?

***

“Bagaimana keadaanmu? Sudah lama sekali, ya, kita tidak bertemu?” kata wanita itu, setelah Hoseok berada di dalam mobil.

Suasananya agak canggung, bahkan Hoseok saja masih bingung harus memulai obrolan seperti apa. Namun, wanita di sampingnya itu seperti tidak habis ide. Dia mencoba menguarkan keadaan tersebut dengan memulai percakapan.

“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja,” jawab Hoseok seadanya.

Entah perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Senang? Apa mungkin. Sedih? Rasanya Hoseok sudah terlalu kebal untuk merasakan itu lagi. Ini tidak mudah untuk bersikap biasa-biasa saja.

“Syukurlah,” responsnya, yang tampak ragu untuk melanjutkan. Namun, dengan helaan napas panjang ia kembali berkata, “Bagaimana dengan bayi kita?”

Kontan Hoseok menoleh saat wanita itu berkata demikian. Kedua ujung alisnya hampir bertemu. Ekspresi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi cukup mengintimidasi seseorang yang tengah menyetir tersebut, jadi memalingkan muka.

“Namanya Hyuka, dan dia juga baik-baik saja.”

“Sungguh?” Senyum di wajahnya langsung terlihat ceria. “Nama yang bagus. Selama ini aku hanya memanggilnya Boni, karena wajahnya yang imut seperti boneka.”

“Ya, putraku memang sangat imut dan juga tampan.”

“Oh, tentu. Dia juga putraku, kan?”

Hoseok tidak lagi merespons. Ia seakan tidak memiliki kata untuk membalasnya. Bukan tidak suka, tapi rasanya terdengar sangat aneh.

Ya, Jeon Marry memang ibunya. Yang melahirkan Hyuka, tapi selama ini dialah yang merawat putranya sendiria. Meskipun Hoseok tidak mau egois. Marry juga memiliki hak atas Hyuka.

Namun, satu hal yang masih mengganjal dan tidak bisa Hoseok pertanyakan. Sebenarnya apa maksud Marry menemuinya kali ini? Tiba-tiba, setelah sekian lama. []

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang