Moment 43

144 32 10
                                    

Senyum cerah itu terpancar jelas dari wajahnya yang terlihat sangat cantik hari ini. Seperti biasanya memang seperti itu, tapi kali ini lebih berbeda. Mungkin mood baik sedang mempengaruhinya. Sangat berbanding terbalik dengan reaksi yang Hoseok berikan. Jujur saja, bukan ini yang ia inginkan sekarang.

“Hai! Mau makan siang denganku?” ujarnya yang tanpa ragu seakan Hoseok tidak akan pernah menolaknya.

Namun, sebelum lelaki itu membuka suara memberikan pendapat, kedua matanya lantas tertuju pada seorang wanita mengenakan baju seragam putih-putih, mendorong kereta bayi yang di mana di dalamnya itu adalah Hyuka—putranya sendiri. Sontak saja tatapan bingungnya langsung kembali tertuju pada Marrie.

Seakan tahu apa yang tengah dipikirkan Hoseok, Marrie segera menyahut, “Sulit sekali bukan untuk kita bertiga menikmati waktu yang menyenangkan bersama.”

Kening Hoseok semakin mengernyit. Ia benar-benar tidak habis pikir. Apa sekarang Marrie sedang ingin menciptakan suasana keluarga kecil yang bahagia? Bahkan pria itu sekarang hanya bisa membuang napas berat sambil mengalihkan wajah. Hoseok tidak punya pilihan lain.

“Cepatlah!” ujarnya seraya berjalan dengan langkah panjang, tanpa memerhatikan siapa pun lagi selain putranya. Bukan karena terlalu ingin untuk pergi, tapi ia tidak mau menjadi pusat perhatian orang-orang kantor terlalu lama.

Melihat reaksi itu, Marrie tersenyum senang karena merasa rencananya telah berhasil. Lalu mengikuti langkah Hoseok yang keluar dari lobi kantor menuju mobilnya yang terparkir di depan.

Selama di perjalanan menuju tempat—yang bahkan Hoseok tidak mau tahu—ia sama sekali tidak memedulikan siapa pun. Dia hanya fokus pada Hoseok dan seolah-olah sibuk mengobrol dengannya. Bahkan Hoseok menolak duduk di kursi depan, membiarkan baby sitter itu yang duduk di sana.

“Kenapa suasananya begitu menegangkan, bukannya hari ini kita akan bersenang-senang?” kata Marrie mulai membuka suara untuk memecah keheningan. Walau bagaimana pun ia tidak suka terlihat seperti hanya dirinya sendiri yang bahagia.

Hoseok lantas menjawab, “Aku hanya punya waktu setengah jam.”

Tidak disangka Marrie malah tertawa kecil merasa lucu. “Kamu ini tenang saja, aku sudah bicara dengan manajer mu dan semua akan baik-baik saja.”

“Apa?” Tentu saja Hoseok sangat terkejut. Ia merasa terjebak. Lupa sekali jika yang dihadapinya adalah seorang Jeon Marrie. Sehingga Hoseok langsung menyeletuk yang membuat wanita itu terdiam seketika. “Dulu kamu bukan orang yang seperti ini.”

***

“Ah, terima kasih banyak, terima kasih banyak. Ini sangat menyenangkan,” kata Sowon berseru gembira. Terpancar jelas sekali di wajahnya jika wanita itu tidak sedang berbohong, dan Eungi merasa lega karena usahanya sejak tadi pagi tidak sia-sia.

“Aku ikut senang Eonnie, dan sekali lagi selamat ulang tahun,” kata Eungi yang langsung menerima pelukan hangat dari Sowon yang berdiri tepat di sampingnya. “Eum, tapi, Eonnie maafkan aku. Aku belum sempat menyiapkan kado apa pun untukmu. Mungkin nanti—”

Hust!” refleks Sowon menepuk pundak Eungi pelan, membuat gadis itu menggantungkan perkataannya. “Jangan terlalu dipikirkan. Aku sudah senang kamu ada di sini dan membantu Taehyung, apalagi ....” Tatapan matanya tiba-tiba melirik pada Taehyung, seakan memberi kode yang Eungi tidak mengerti. “Jika kamu mau menjadi teman hidupnya Taehyung untuk selamanya, aku akan merasa sangat beruntung.”

“Hm?!” Sontak saja Eungi tersedak salivanya sendiri sampai ia terbatuk-batuk. Sebenarnya apa yang ada dipikirkan Sowon sampai bisa mengatakan itu, tentu saja Eungi merasa keberatan menerimanya.

Taehyung yang juga tidak mengira jika kakaknya akan mengatakan hal itu, agak sedikit kesal. Ia refleks mengambilkan segelas air, tapi Eungi menolaknya dan mengatakan tidak apa-apa. Kecanggungan pun langsung tercipta.

***

Setengah hari ini, Marrie benar-benar membuat Hoseok sibuk dengannya. Ia tidak membiarkan lelaki itu memikirkan hal lain, selain mengikuti kemauannya. Mulai dari makan siang bersama, berjalan-jalan membelikan mainan untuk Hyuka, sampai bersantai di sebuah taman dekat sungai han. Menanti matahari terbenam, dan lampu jembatan menyala menyempurnakan keindahan malam.

“Inilah yang sangat aku impikan selama ini,” kata Marrie setelah menghampiri Hoseok yang hanya duduk saja di salah satu kursi taman. Memandang lurus ke depan seperti memikirkan banyak hal di benaknya. Sedangkan Hyuka tengah ditangani oleh baby sister yang Marrie pekerjakan. Bayi itu juga pasti sangat kelelahan. “Memiliki keluarga kecil yang bahagia. Kamu, aku, dan Hyuka.”

Bagi Hoseok perkataan Marrie semakin melantur saja, dan jujur ia malas menanggapinya. Namun, wanita itu tidak berhenti begitu saja.

“Aku sudah melewati banyak hal yang sulit setelah kita berpisah. Hidupku tampak seperti di neraka. Aku kehilangan arah dan hampir saja memilih untuk meninggalkan dunia ini.” Kata-kata itu berhasil membuat Hoseok menoleh untuk sejenak. “Aku berkata seperti ini bukan untuk menjual penderitaan ku agar kamu kasihan. Tapi, inilah yang terjadi. Dulu maupun saat ini, aku tidak bisa hidup tanpamu. Dan sekarang ada Hyuka, aku semakin tidak bisa menjauh darinya.”

Marrie semakin mengeratkan genggaman kedua tangannya pada tali tas yang ada di pangkuannya saat ini. Menundukkan wajah seakan menekan semua kegelisahannya di sana. Hoseok tidak tahu harus berbuat apa. Ia sudah menciptakan pembatas di antara mereka, tapi wanita dari masa lalunya itu selalu saja berusaha untuk mendobraknya. Sedingin apa pun sikapnya, tetap saja Hoseok tidak bisa melihat wanita menangis.

“Marrie, kita—”

“Aku tahu,” Marrie segera menyahut. “Sekarang di antara kita bukan hanya masa lalu, tapi ada Eungi juga. Dan itu yang membuatmu kesulitan, kan?”

“Tidak, kamu salah paham. Aku sangat mencintai Eungi.” Kontan setelah mengatakan itu, tatapan mereka saling bertemu. “Sebesar apa pun itu, mungkin lebih besar dari aku mencintaimu dulu. Maaf, karena aku mengatakan ini. Tapi, ini aku lakukan agar kamu mengerti. Sampai kapanpun kita tidak bisa bersama lagi.”

Hoseok segera bangkit dari duduknya tanpa berusaha untuk menghibur Marrie yang sekarang semakin terpojokkan. Terpuruk dan hampir menangis.

Akan tetapi, kata-kata terakhir itu berhasil membuat langkahnya terhenti. Mematung untuk sejenak mencerna apa yang baru saja ia dengarkan. “Hoseok-ah. Aku sakit.” []

Hm. Marrie memang pantang menyerah.
Jangan bosen untuk terus kasih dukungan buat cerita ini ya bestie.
Lopyu.

Beautiful Moment [JH]Where stories live. Discover now