Prolog

1.3K 134 16
                                    

Seorang pemuda tampak gagah  menyeret koper demi masuk ke gerbang sebuah pesantren. Tadinya ia berangkat sendiri dengan menaiki taksi online tanpa ditemani orang tua maupun keluarga. Begitu sampai di pekarangan pesantren, pandangan ia lebarkan ke sekeliling.

Seumur-umur baru kali ini ia memasuki tempat seperti itu. Setahunya, pesantren adalah tempat berkumpulnya orang-orang kurang tidur dan dihantui berbagai hafalan. Namun, kali ini ia bisa melihat dari kejauhan suasana santri yang sedang menghafal hadist keras-keras di sebuah balai pengajian. Sementara di balai lainnya terdengar santri sedang membacakan alfiah.

Terdapat pula beberapa santri yang sedang berlalu lalang. Berpeci dan bersarung. Itu yang membuat santri punya kharisma tersendiri. Tampilannya membuat hati terasa damai.

Pemuda tadi mengembuskan napas, keputusannya sudah bulat untuk tinggal di pesantren dan menjadi seorang santri walaupun usianya hampir mencapai 25 tahun. Tidak mengapa terlambat menuntut ilmu, daripada tidak sama sekali. Ia benar-benar ingin berubah sepenuhnya. Cukuplah masa lalu kelam menjadi pelajaran.

"Kamu bisa, Zulfi," ucapnya menyemangati diri.

Eksistensi pesantren Az-Zikri sudah tak dapat diragukan lagi, dibuktikan dengan beberapa wilayah yang mulai membuka cabang. Termasuk di pesantren yang pemuda itu datangi pada saat ini. Pesantren tersebut khusus untuk santri yang sedang menempuh perkuliahan atau sudah lulus sekolah saja. Maka dari itu, Zulfi tidak merasa keberatan untuk masuk ke tempat ini.

Zulfi akhirnya menyeret koper ke sebuah bangunan yang merupakan pusat informasi. Di sana tampak beberapa penjaga yang tengah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang terlihat sedang mencatat sesuatu dan ada pula yang tengah mengumpulkan berkas.

Perlahan Zulfi mengucapkan salam pada mereka.

Lelaki yang duduk di depan meja tampak
menatapnya dari atas sampai bawah. Zulfi memakai jubah putih, peci, dan sepatu kets. Kacamata hitam juga ia kenakan.

"Habis umrah dari mana? Mendarat di bandara mana tadi?" suara lelaki itu terdengar sedikit judes.

"Ha?" Zulfi melongo. "Saya mau mondok di sini,"

"Masuk! Isi formulir pendaftaran dulu," lelaki tampan dengan kulit putih bersih itu menyerahkan selebaran kertas formulir.

"Pilih paket yang mana? Ngaji saja atau ngaji sambil kuliah?"

"Ngaji aja dah. Ngapain kuliah di kampus swasta kayak gini,"

Lelaki itu tersenyum sinis. "Jangan sampai kamu tercengang melihat prestasi mahasiswa di sini. Ini memang kampus swasta, tapi berstandar internasional,"

Zulfi jadi gelagapan. Tadi ia menjawab sekenanya saja. Kan dirinya sudah lulus kuliah, buat apa mengambilnya lagi? Lagipula, di sana hanya ada jurusan islami.

Tidak mau ambil pusing, Zulfi mengisi formulir yang sudah diulurkan oleh pemuda tadi.

"Nama akun Instagram harus diisi juga? Aneh bin parah nih pesantren!" Celetuk Zulfi.

"Budayakan membaca! Pertanyaan yang tertera bintang merah berarti wajib diisi!" balas pemuda itu. Zulfi meringis, belum satu jam ia berada di sini, sepertinya sudah akan ada lawan saja.

Lima menit berlalu. Zulfi sudah mengisi formulirnya. Lelaki itu menatap ke tembok ruangan yang terdapat sebuah papan besar nan tinggi. Di sana tertera struktur kepengurusan pesantren Az-Zikri.

Mata Zulfi seakan keluar dari tempatnya. Ia menatap lelaki judes tadi lalu menyamakan dengan foto yang ada di papan kepengurusan. Mirip sekali. Pantas saja pemuda tadi begitu songong, ternyata ia adalah anggota keluarga dari pemilik pondok itu. Namanya Sultan Mahmud Al-Ghifari, cucu dari pemilik pesantren.

Zulfi mengetuk-ngetuk pulpen di meja karena sudah begitu bosan. Hal itu mengundang perhatian Sultan.

"Kholas?" Tanya Sultan.

"Apa?" Zulfi mengerutkan dahi. Ia mana paham bahasa Arab.

"Sudah siap?"

"Udah dari tadi,"

"Kenapa nggak bilang?"

"Situ nggak nanya!" Pungkas Zulfi.

Sultan menajamkan tatapannya. Santri baru itu sama sekali tidak tau tata krama dengannya. Padahal fotonya sudah terpampang jelas di tembok ruangan. Sultan memanggil seseorang, lalu mengatakan sesuatu yang membuat Zulfi ingin melompat.

"Sholeh, kamar yang paling berhantu ada di sebelah mana ya? Tolong anterin manusia ini untuk tinggal di sana,"

"Apa?"

"Ayo, Kang," ajak lelaki yang bernama Sholeh.

"Eh, gak mau. Masa gitu amat sih?"

"Kenapa? Mau protes? Tadi kamu sudah menandatangani formulirnya. Itu tandanya, kamu wajib memenuhi peraturan yang ada di sini! Selamat datang ke dunia yang penuh akan aturan! Semoga gak betah," ucap Sultan sambil tersenyum miring. Santri-santri seperti itu ada baiknya pulang dan mencari pesantren lain saja, karena Sultan kurang suka.

"Ahhhh bang Zulfan salah ngasih rekomendasi nih!" Ingin sekali Zulfi meninju kakak lelakinya yang telah menyuruhnya masuk ke pesantren ini.

***
Assalamu'alaikum...
Bismillah, saya ucapkan selamat datang di OTW Taubat
Semoga teman-teman suka!!!

Publish prolog-nya dulu, kalau rame InsyaAllah bakal dilanjutkan. Huhu

Jadi, sebenarnya untuk peran dalam cerita ini saya ngambil mix dari kisah 'Salah Terima Khitbah' dan Kembar tapi Beda' (kalau belum baca dipersilakan untuk baca dulu)

InsyaAllah nantinya di sini saya akan menceritakan tentang keseruan santri di penjara suci dengan pembawaan yang menarik. Isinya santri-santri keren dan penuh humor lho... eh tapi gak tau juga, biar kalian yang menilai sendiri.

Saya berharap kisah ini dapat diterima oleh pembaca dan semoga setiap isinya bisa bermanfaat. I will present my best to you. So, jangan lupa kasih support ya, seperti di cerita-cerita sebelumnya. Btw, makasih buat yang udah follow, saya bahagia sekali dengan kalian yang pengertian dan menghargai. Kalian terbaik 👍💯

OTW TAUBAT ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin