29. Jangan Jadi Munafik

121 36 2
                                    

Siang hari dengan suasana matahari yang menyengat kulit, para santri tampak sibuk untuk bersiap-siap memasuki waktu Dhuhur.

Tidak boleh ada yang masbuk alias terlambat sama sekali. Az-Zikri sudah dikenal oleh masyarakat luas akan kedisiplinannya. Berani tinggal di sana, maka harus berani dengan semua peraturan yang ada di sana. Nama pesantren itu kembali membaik setelah para santri banyak mengikuti perlombaan dan memenangkannya. Bahkan kini sudah semakin pesat. Banyak santri yang mendaftar pada belakangan ini.

Sultan sebagai ustaz sekaligus cucu dari pimpinan, bekerja keras untuk memperbaiki reputasi pesantren dan mempromosikan pesantren ke masayarakat luas dengan mengandalkan media sosial.

Segala aktivitas santri di pesantren ia rekam dan dipertontonkan. Seperti video kegiatan pengajian, kegiatan berbahasa Arab dan Inggris, pidato bahasa asing, gotong royong, muhazharah, menghafal Al-Qur'an, dan berbagai kegiatan khas lainnya.

Hal itu mengundang ketertarikan para calon santri, belum lagi banyak alumni Az-Zikri yang sudah menjadi orang sukses. Semenjak abi Zikri sudah tiada, banyak alumni yang kembali ke Az-Zikri untuk memgabdi dan sebagiannya lagi membangun kerja sama.

"Di Az-Zikri ini, kita tidak mendidik semua orang menjadi pintar, menargetkan hafal Al-Quran sampai 30 juz lalu mereka tinggalkan ketika sudah tidak menjadi santri lagi. Namun, apa yang kita ajarkan di sini adalah untuk sekarang dan bekal di masa yang akan datang. Jadi, ana mohon kepada para asatidz agar senantiasa menunjukkan nilai-nilai keislaman pada santri kita. Jangan mentang-mentang sudah jadi guru malah bebas bawa handphone dan posting-posting foto crush. Bahkan ada yang sampai berpacaran dengan santriwati. Ana rasa itu adalah tindakan yang sangat memalukan," terang Sultan dalam rapat para pengasuh setelah mereka salat Dhuhur berjamaah.

Para pengasuh sekaligus pengajar itu mengangguk tanda paham. Jika ada permasalahan, mereka diskusikan secara terbuka di rapat itu.

Usai membahas banyak permasalahan, rapat ditutup dan semua pengasuh meninggalkan kantor.

Sultan iseng membuka ponselnya karena sedari rapat tadi banyak sekali terdengar bunyi notifikasi. Barangkali ada sesuatu yang penting.

Sebagian besar notif ternyata berasal dari Instagram. Ia membukanya dan matanya sampai terbelalak mendapati banyak pesan dari followers-nya yang membalas story yang dirinya buat satu jam lalu.

Di status itu, dirinya meng-upload foto bersama para santri seusai pengajian. Juga, video ketika dirinya sedang mengajar kitab. Maklum, sedang gencar-gencarnya promosi pesantren. Jadi apa-apa harus dipublikasikan. Bukan dengan maksud riya, tetapi mengajak agar para remaja untuk semakin mencintai agama.

"MasyaAllah, yang kayak gini ya Allah,"

"Ustaz, aku ingin jadi jodohmu,"

"Wajahnya kurang jelas, bisa video call aja biar makin jelas, Tadz?"

Sultan yang membacanya sontak tersenyum seraya geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan perempuan-perempuan di medsos itu.

"Tadi siapa ya, yang ngelarang para pengasuh dekat-dekat sama akhwat?"

Sultan lantas terkejut bahkan tanpa sengaja melempar ponselnya ke lantai.

"Astaghfirullah. Kamu ngagetin, Dek!" kesalnya yang masih bercampur dengan rasa kaget. Dengan kaki yang pincang perempuan itu sanggup berjalan ke kantor untuk menemuinya. Kalau orang lain, mungkin butuh waktu yang lama untuk sembuh dari kecelakaan. Lea adiknya malah sangat suka jalan-jalan.

Perempuan itu justru tertawa keras karena usahanya berhasil. Sultan benar-benar terkejut karena keberadaannya.

"Sejak kapan kamu udah di sini?" tanya Sultan pada Lea yang kini sudah duduk di hadapannya memunguti ponsel Sultan yang jatuh tadi.

"Udah dari tadi aku nyariin Abang buat makan siang. Eh, nggak taunya lagi adain rapat. Ya udah aku tunggu di luar. Penasaran juga sama pembahasannya. Eh nggak taunya Abang munafik," sindir Lea.

"Abang nggak munafik ya, tadi itu Abang nggak tau mereka bakalan reply story-nya," Sultan membela diri. Tidak sudi adiknya mengatai seperti itu.

"Makanya nggak usah tebar pesona di medsos, Bang. Nikah buru!"

"Kamu pikir nikah gampang? Beli sandal buat diinjak-injak aja Abang mesti milih lama dan yang paling bagus. Apalagi milih istri untuk diajak ke surga?"

"Hiiih itu quote habis copy paste dari mana, Bang? Logis banget. Kenapa dulu waktu paksain aku nikah, Abang nggak mikir sampe ke situ? Harusnya pernikahan itu bisa dibatalkan aja,"

Sultan mengernyitkan dahi. Ia menatap Lea yang sedang asik memainkan ponsel lelaki itu.

"Dek," Sultan memanggil.

"Apa?"

"Mau sampai kapan kamu berpura-pura?"

"Apanya?"

"Kamu nggak hilang ingatan, kan?"

Lea mengerjapkan mata. Dirinya tidak sadar sudah keceplosan. "Sampai semuanya berakhir," tuntasnya. Dirinya sudah tertangkap basah, tidak bisa mengelak. Lagian, cuma Sultan yang tau. Sepertinya tidak akan jadi masalah. "Jangan cerita ke siapa-siapa dulu,"

"Tapi mereka bisa kecewa kalau tahu selama ini kamu berbohong. Abang nggak mau tanggung jawab, ya!" ucapnya selesai bernapas panjang.

Lea hanya diam saja. Ia tidak mau menyahuti lagi.

"Dek, kamu dengar nggak sih?"

"Nggak akan ada apa-apanya dengan sakit yang aku rasain, Bang. Aku diabaikan bertahun-tahun. Aku nggak dikasih kebebasan dalam hidup. Please, aku udah muak dengan semuanya,"

"Tapi Zulfi serius lho, sama kamu. Jangan kamu cuekin. Mau tunggu apa lagi?"

"Nggak, itu cuma rasa bersalahnya aja. Dia belum cinta sama aku,"

Lea memilih diam. Rasanya tidak perlu dia memberitahu Sultan bahwa suaminya masih berusaha menghubungi Lia secara diam-diam. Maka dari itu, dia tidak pernah mau jujur akan keadaannya bahwa dia tidak lupa ingatan.

Ingatannya masih sangat jelas, bahkan momen ketika dirinya mulai jatuh hati pada Zulfi dan mereka menikah. Namun, Lea tidak mau berharap apa-apa lagi. Zulfi sudah terlalu sering menyakitinya.

"Abang udah ada calon, belum?"

"Bisa nggak sih, jangan bahas calon Abang?"

"Ya biar aku kenalin sama anak UIN,"

"Nggak usah, makasih. Kalau sama anak kuliahan, Abang masih trauma,"

"Eda itu parah banget ya, Bang?" Tanya Lea yang digandrungi rasa penasaran.

"Nggak usah ghibah!"

"Abang nggak jelas!" Lea langsung mengangkat pantatnya dan pergi. "Ayo pulang makan siang dulu, aku hari ini belajar bikin kuah kari," ucapnya sebelum menghilang dari balik pintu.

"Ya Allah, hamba ingin menikah, tapi rasanya tidak untuk sekarang. Az-Zikri harus berkembang. Pesantren ini adalah tanggung jawab hamba sekarang," lirih Sultan seorang diri.

***

Terima kasih sudah membaca 🙏

OTW TAUBAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang