9. Perkara Sujud Sahwi

264 76 24
                                    

Para pemuda duduk melingkar menerima halaqah usai salat subuh. Seorang lelaki yang sebaya dengan mereka menjadi pusat perhatian. Ilmu agama disampaikan  begitu menenangkan, walaupun ada satu dua santri yang menguap karena menahan kantuk di fajar itu.

“Menjadi santri itu tidak sekadar menjalankan ibadah ketika di pesantren saja, lalu ketika di rumah semua ibadah ditinggalkan. Aturan yang ada dipesantren sudah seharusnya turut dijalankan ketika di manapun dan kapanpun itu,” jelas Sholeh, yang menjadi guru ngaji pada saat itu. Ia harus menggantikan salah satu ustaz yang berhalangan pada pagi itu.

Beruntung yang menjadi penggantinya adalah Sholeh, bukan Sultan. Sehingga mereka tidak takut-takut untuk bertanya. Kalau saja Sultan yang mengganti, mereka sudah ketar-ketir duluan. Apalagi Sultan mewajibkan santri berbahasa asing ketika sedang pengajian.

Walaupun biasanya mereka memanggil ‘Kang’, tapi ketika sedang mengajar tetap harus memanggil Sholeh dengan panggilan‘Ustaz’. Begitu juga dengan guru yang lain. Harus mereka hormati walaupun usianya tak jauh berbeda.

“Ustaz, ana ada sebuah pertanyaan. Terlalu sering salat berjamaah di pesantren itu membuat ana canggung ketika salat sendiri. Apalagi pada waktu subuh. Kadang sering lupa baca qunut kalau salat sendirian. Solusinya bagaimana, Taz,  jika sudah lupa?” Ikhlas mengajukan pertanyaan dengan seriusnya.

Memang bacaan qunut itu bukan bacaan wajib. Namun, merupakan sunah muakkad, maknanya yang dikuatkan dan lebih mengarah ke wajib. Mengingat Indonesia mayoritasnya bermazhab Asy-Syafi’i maka sudah sepatutnya tidak meninggalkan bacaan yang penuh dengan kebaikan itu. Hal ini membuat Ikhlas begitu risau ketika lupa membacanya.

“Solusinya ya sujud sahwi,” Sholeh menjawab.

“Dibacanya kapan, Taz?” tanya Ikhlas. Lelaki itu baru kali ini mendengarnya.

“Sesudah semua bacaan tahyat selesai, jangan salam dulu. Tapi sujud dan bacakan ‘subhaana man la yanaamu wala yamuutu’ sebanyak tiga kali. Lalu duduk iktiraf, kemudian sujud kembali dan baca lagi tiga kali. Sesudah itu, barulah duduk seperti duduk tahyat dan bacakan salam. Selesai.”

“Cuma segitu doang?” tanya Zulfi setengah percaya. Sholeh hanya mengangguk sebagai jawaban.

Para santri manggut-manggut mendengarkan. Sebagian yang sudah mengerti, mencoba menjelaskan pada temannya yang masih kurang paham tentang tata caranya. Suasana sedikit ribut karena masing-masing mulai bercakap dengan teman di sebelah. Sholeh hanya tersenyum kecil. Ia tidak akan menegur, biarlah mereka berbincang demi mencerna ilmu yang baru saja diterima.

“Taz, ana juga mau nanya,” Iman mengacungkan telunjuk.

“Semuanya, udah dulu diskusinya ya. Ini akhi Iman mau nanya nih. Jarang-jarang kan, biasanya ini orang asik tidur,” kata Zulfi yang duduk tepat di sebelah Iman. Ikhlas menggelengkan kepala menatap dua makhluk itu. Zulfi dan Iman selalu saja saling mengejek dan menjatuhkan tanpa mengenal tempat.

Tafaddhal,” ujar Sholeh sesudah menyunggingkan senyum. Ia siap memberikan jawaban sekiranya ia mampu. Jika tidak, ia akan menundanya dan belajar lebih mendalam lagi.

Iman membenarkan posisi duduknya dan menghela napas. Teman-temannya mulai penasaran dengan hal serius apa yang akan ditanyakan Iman.

“Kalau misalnya kita lagi sholat, terus tiba-tiba ....” Iman sempat menjeda kalimatnya, seperti tak yakin untuk melanjutkan.

“Durasi durasi! Buru, yang lain juga pengen nanya!” kesal Zulfi.

“Iya, sabar!” Iman melotot pada lelaki di sebelahnya itu.

Sabar yang tadinya manggut-manggut karena kantuk, segera membuka mata.

“Kenapa ana? Ada apa?” tanyanya heran. Ia pikir, namanya yang dipanggil. Santri-santri mulai menahan senyum menyaksikan kekalutan Sabar saat itu.

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now