24. Ini Berat

306 84 25
                                    

Allahumma shalli 'ala sayyidina
Muhammadin thibbil quluubi wa dawaaihaa.
Wa 'afiyatil abdaani wa syifaihaa
Wa nuuril absharii wa dhiyaihaa
Wa 'ala alihi wa sahbihi wasallim

Bacaan shalawat terdengar menggema di ponpes Az-Zikri. Iman yang memegang microphone tampak begitu bersemangat, melantunkan shalawat dengan suara keras-keras walaupun terdengar lumayan berisik.

Para santri yang tadinya mulai mengantuk, kembali bersemangat mengikuti iramanya. Para asatidz sebagian mulai menahan senyum mendengar suara Iman yang begitu bising tapi penuh energik.

Sultan yang baru tiba, lantas merebut microphone di tangan lelaki itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

"Astaghfirullah, ini ajang sholawatan apa konser musik? Tolong yang benar!"

Sabar dan Ikhlas diam-diam menertawakan sahabatnya yang kena amukan cucu pimpinan pesantren.

"Jadi begini, akhi," Iman membuka suara untuk menjelaskan sekaligus membela diri.

"Bagaimana, akhi?" Respon Sultan yang melipat tangan di dada dan siap mendengarkan. Para santri sudah tersengih melihat gelagat Sultan dan Iman yang sudah berdepan-depanan.

"Ana lihat selepas pengajian, para santri tampak kurang bersemangat ketika memasuki masjid untuk salat Isya. Jadi ana berinisiatif untuk menghibur," jelas Iman, si lelaki yang punya 1001 alasan.

"Apakah sholawatan harus dengan suara terdengar tidak ikhlas dan kurang sabar begitu? Menangis Baginda Nabi mendengar sholawat antum semua,"

"Ada kok. Ikhlas sama Sabar duduk di belakang ana tadi. Mereka juga ikut sholawatan," balas Iman seraya menunjuk dua sahabatnya.

"Nggak ada iman memang," celetuk santri lainnya dari arah paling belakang.

"Heh itu kan nama ana!" Iman menyela.

Sultan menghela napas. Santri-santri makin lama semakin sulit bagi Sultan mengaturnya. Seringkali ia kewalahan menghadapi santri semenjak abi Zikri jatuh sakit.

Sultan kembali teringat akan pesan sang kakek agar lebih sabar dan tidak selalu merasa paling benar ketika sedang menghadapi santri. Pun usia mereka tidak jauh beda.

"Akhi sekalian, memang bagus shalawatan seperti itu. Tidak ada salahnya menyanyikan dengan suara yang agak besar, karena membangkitkan semangat. Namun, dikhawatirkan nantinya sholawat yang memiliki makna begitu indah jadi terdengar seperti bacaan biasa saja, tidak ada kerinduan pada Baginda di sana,"

Para santri mengangguk dan membuat permintaan maaf. Mereka berjanji tidak akan lagi mengulanginya kembali.

***

Seorang perempuan duduk atas kursi yang tersedia di teras rumah, menatap pekatnya malam tanpa ribuan bintang manakala biasanya. Sepertinya mendung dan sebentar lagi akan turun rinai hujan.

Sama halnya dengan perasaannya, begitu mendung. Sudah hampir satu jam lamanya ia duduk di sana sembari menemani hatinya yang sakit.

Lea mencintai lelaki itu begitu dalam. Tidak bisa baik-baik saja jika harus kehilangan lelaki itu, sekalipun si lelaki sangat baik-baik saja ketika harus berjauhan darinya.

Sudah teramat lelah, rasanya ingin menyudahi. Namun, semua ini baru awal dari pernikahan dan Lea tidak mau berakhir begitu saja. Pun hatinya sudah telanjur terpaut akan sosok lelaki itu.

Ia tidak ingat kapan dirinya pertama kali jatuh cinta pada lelaki yang kini sudah bergelar suaminya. Hanya saja, ada rasa cemburu ketika Zulfi lebih memilih kakaknya untuk dipinang kala itu.

OTW TAUBAT ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora