1. Masuk Mahkamah

605 95 20
                                    

Pesantren adalah tempat menyucikan noda-noda yang pernah kamu cipta.

~OTW Taubat~

Guyuran air menyegarkan tubuh Zulfi di pagi hari. Harusnya kegiatan mandinya saat ini begitu menenangkan, tetapi keributan di luar kamar mandi membuat ia harus buru-buru. Zulfi yakin, diluar sana mereka sudah mengantre untuk mendapatkan giliran.

"Hurry up, Brother!" Seru seseorang di luar sana dengan mengetuk pintu berkali-kali.

Zulfi buru-buru mengaitkan handuk di badannya, lalu keluar dengan menenteng keranjang sabun dan gayung mandi.

Begitu membuka pintu, para santriwan sudah berdiri memanjang seperti orang-orang yang menanti pembagian sembako. Bukan hanya di kamar mandi yang tadinya Zulfi masuki, tapi juga di kamar mandi lainnya. Bahkan, ada yang tidak sabaran sampai menyikat gigi duluan di luar agar tidak terlambat berangkat kuliah.

"Why are you still ... kenapa masih di situ? Cepat keluar!" Geram seorang lelaki karena tidak sabaran lagi sebab Zulfi masih berdiri di depan pintu.

Sementara Zulfi hanya tersenyum simpul dan menggeser badannya agar tidak menghalangi pintu. Ia suka mencari gara-gara dengan santri-santri. Membuat mereka marah padanya adalah sebuah keharusan.

Lelaki tadi segera masuk dan membanting pintu lumayan keras. Zulfi hanya tertawa pelan sembari berjalan menyusuri kamar.

Angka 105 Medina lantai dua menjadi tempat kediaman Zulfi bersama teman-teman barunya. Di kamar itu menampung empat santri. Mereka adalah Iman, Ikhlas, Sabar dan Zulfi pastinya. Tiga teman baru Zulfi itu langsung akrab dengannya walaupun mereka baru kenal satu minggu yang lalu. Kelakuan mereka juga tidak jauh beda dari Zulfi yang hobi mengganggu orang-orang sekitarnya. Namun, dibalik semua itu, mereka juga memiliki cita-cita untuk berubah menjadi lebih baik setelah menjadi santri.

Zulfi sedang memasang kancing bajunya tepat di saat suara dari toa mengundang pendengarannya untuk mendengar lebih baik. Pasalnya, yang dipanggil adalah namanya.

To our brother Zulfianda, Zulfianda, we hope you to come to the office. Right now!

"Yuhuu mahkamah lagi," sorak Iman dengan girang.

"Kasian, baru seminggu nyantri tapi keluar masuk kantor," timpal Sabar.

Zulfi hanya mendengkus sebal karena mereka mengejeknya, tetapi ia harus menerima kenyataan. Memang salahnya yang terlambat bangun subuh sampai tidak ikut salat berjamaah. Selain itu, ia terlambat tiba di kelas ngaji subuh dan melewatkan muhadasah pagi. Fix, Zulfi akan menerima poin pelanggaran dari bidang ibadah, ta'lim, dan bahasa. Untung saja ini bukan hari minggu, tidak ada gotong royong. Kalau tidak, mungkin Zulfi akan mendapatkan hukuman dari pengurus bidang kebersihan.

"Santri kamar 92 yang mukanya datar kayak gak ada kehidupan itu, namanya siapa ya?" Tanya Zulfi.

"Yang mana?"

"Yang botak dan judes itu lho,"

"Oh ... namanya Kifli,"

"Sekarang jam berapa?" Tanya Zulfi lagi.

"Jam delapan lewat dua menit," kata Ikhlas setelah melirik arloji di tangan kanannya. Ia sudah bersiap untuk segera ke kampus.

"Catat, Kifli berbicara bahasa Indonesia di kamar mandi pada jam ... buat aja jam delapan pas. Cepetan!"

"Ente nyuruh siapa nih?" Sabar bertanya.

"Ya sama kamu lah, Sabaruddin!"

Sabar harus bersikap sesuai namanya. Ia harus mendengarkan omongan Zulfi yang notabene lebih tua darinya.

"Emang Kifli beneran ngomong? Jangan ngada-ngada!"

"Serius, tadi dia marahin aku di kamar mandi. Aku laporin dia!"

Setelah memakai celana kain dan menyisir rambutnya, Zulfi bergegas keluar.

"Pecinya jangan tinggal!" Sabar memperingati.

"Malas! Biar aja semua masuk pelanggaran! Aku pengen keluar dari sini!" Teriak Zulfi sebelum benar-benar berlalu. Ia sudah kesal dengan suasana pesantren yang begitu berbanding terbalik dengan kehidupannya sebelum ini. Dari tidur, makan, berpakaian, semua memiliki peraturan.

"Fighting, Brother!" Teriak Iman, Sabar, dan Ikhlas bersamaan.

***

"Baru seminggu masuk pesantren tapi udah 27 kali melakukan pelanggaran? Antum ngapain aja?"

"Kan disitu udah ada tipe pelanggarannya, ngapain nanya lagi?" Tanya Zulfi risih. Entah kenapa setiap dirinya dipanggil ke kantor, selalu saja harus berhadapan dengan Sultan. Padahal masih ada ustaz lain yang piket sesuai jadwal.

"Dasar, udah pinter nyolot sejak dini!" Geram Sultan. Zulfi hanya menampilkan wajah cengo. Ia tidak peduli Sultan akan marah padanya. Harap-harap Sultan menyuruhnya keluar dari pesantren. Ia sangat menanti itu.

"Terus hukumannya apa?" Tanya Zulfi yang ingin segera mengakhiri semuanya.

"Antum harus menghadap pimpinan pesantren!" sarkas Sultan. Bukannya diserahkan ke penasehat terlebih dahulu, melainkan langsung ke atasan tertinggi.

Zulfi tersenyum penuh arti. "Buat dipulangkan?" Tanyanya.

Senyuman miring dilayangkan Sultan. Ia menarik napas pelan, lalu mengatakan sesuatu yang membuat Zulfi ketar-ketir. "Tidak semudah itu, antum akan dihukum cambuk 100 kali," Sultan menakut-nakuti.

"Serius?"

Mata Zulfi mulai berkaca-kaca. Keringat mulai keluar dari dahi dan pelipisnya. Ia tidak tahu bahwa pesantren ternyata semengerikan ini. Ia pikir jika santri sudah tidak bisa dibimbing maka akan dipulangkan ke orang tua masing-masing, rupanya tidak.

Ucapan salam dari seseorang terdengar. Baik Zulfi maupun Sultan, mereka sama-sama menoleh. Sontak Zulfi takjub dengan gadis cantik yang memasuki kantor dengan menenteng rantang. Perempuan itu begitu cantik, jiwa-jiwa buaya darat Zulfi kembali meronta.

Oh tidak, Zulfi harus segera bertaubat!

***

OTW TAUBAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang