18. Bukan Jodohnya

245 75 8
                                    

Waktu hampir tengah malam. Zulfi mengendap-endap dan akhirnya tiba juga di depan kamar 105 Medina, kamar yang menyimpan segudang keseruan selama dirinya mondok. Bagaimana tidak, ruangan itu dihuni oleh Iman, Ikhlas, dan Sabar.

Iman mengucek mata setelah mendengar salam dan ketukan pintu. Hampir saja ia berteriak ketika mendapati kehadiran Zulfi di sana.

"Udah selesai malam pertamanya?"

"Jangan mimpi!" Zulfi segera masuk ke kamar itu dan tidur di kasur pribadinya. Beberapa barang Zulfi masih berada di kamar itu dan belum dibawa pulang, sehingga lelaki itu merasa seperti masih menjadi santri ketika melihat barang-barangnya.

Iman duduk di sisi ranjang Zulfi begitu usai menutup pintu. Ia penasaran dengan cerita Zulfi tentang pernikahan. Namun, Zulfi tidak mau bercerita.

Zulfi menatap ke sekeliling, merasa sedikit ada perubahan di kamar itu. Barang-barang tampak tertata rapi, tidak lagi berantakan manakala sebelumnya.

"Kenapa kamar jadi bersih semenjak nggak ada ana? Berarti kalian udah mandiri nih,"

"Berarti pengotor kamar ya antum!" seloroh Ikhlas yang belum tidur. Dirinya sedang dikejar deadline. Sementara Sabar sudah mengudara dalam mimpi di ranjang atas.

"Akhi, cerita dong! Jangan sampai ana mati dalam keadaan penasaran nih," tuntut Iman yang sudah tidak sabaran. Kalau tidak ada apa-apa, mana mungkin Zulfi sampai datang ke sana malam-malam.

"Akhi, kenapa mempelainya jadi Milea, bukannya Lia yang antum suka?" Ikhlas ikut penasaran, sehingga turut menanyakan.

"Panjang ceritanya. Singkatnya, Lia kabur menjelang akad. Akhirnya diganti sama Lea,"

"Terus yang antum khawatirkan sekarang, apa?"

"Ana bingung antara harus marah sama Lea, kecewa dengan Lia, atau harus memaki diri sendiri karena nggak tegaan sama keadaan,"

Curhat Zulfi pada teman-temannya. Ia membiarkan Lea sendirian, lalu dirinya mengambil kesempatan untuk ke asrama putra dan tidur bersama Iman, Ikhlas, dan Sabar.

"I have one question ... seandainya Lia kembali, apa yang akan antum lakukan?"

"I don't know,"

"Rumit ini mah, mau poligami juga nggak mungkin, karena mereka sekandung," timpal Iman.

"Tapi akhi, pernah nggak sih kalau antum merasa bahwa ini emang udah takdirnya?"

"Takdir bagaimana? Kami tinggal dikit lagi aja mau menuju halal, ana rasa ini lebih ke rasa nggak percaya dirinya Lia aja. Dan bisa-bisanya mereka ngambil keputusan di luar persetujuan ana,"

Iman dan Ikhlas saling menatap, lalu menggeleng kepala. Mereka pada akhirnya mematikan lampu dan tidur di ranjang masing-masing.

Zulfi menghela napas. Ia mengecek ponselnya, masih setia menanti balasan pesan yang ia kirimkan kepada Lia sejak tiga jam lalu.

Menatap room chat yang masih seperti semula, membuat Zulfi kian kecewa. Padahal, di WhatsApp ada info kapan terakhir di lihat, tetapi Lia mengabaikan pesan dari Zulfi.

Apa ini adil? Lari di hari pernikahan dan mengabaikan ana. Salah ana di mana? Kenapa nggak dijawab? Anti pikir perasaan ana bisa dijadikan bahan bercandaan?

Terserah. Zulfi sengaja memilih kata sedikit tegas di kalimatnya supaya menarik atensi Lia. Siapa tahu setelah itu Lia mau membalas.

Tak butuh waktu lama, ponsel Zulfi berdenting menandakan masuknya pesan baru.

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now