7. Pembalasan

259 64 16
                                    

Zulfi menuju pusat informasi untuk menelpon orang tuanya. Dari pantauan Zulfi, pada saat ini tidak banyak orang di sana, sehingga ia tidak akan kesusahan mengantre panjang seperti biasanya.

"Kang, saya mau nelpon orang tua. Ini uangnya," ujar Zulfi begitu sampai di sana. Zulfi juga bersyukur di sana tidak ada Sultan. Ia bisa mual-mual jika ada cucu pimpinan pesantren itu.

"Afwan, paket nelponnya sudah habis dan belum sempat diisi kembali," balas Sholeh yang sedang mencatat sesuatu.

"Waduh. Ana lagi perlu banget nih mau nelpon orang rumah," pantas saja tidak ada satupun santri yang berdiri memanjang di sana, rupanya telepon umum sedang tidak bisa digunakan.

"Gimana kalau antum aja yang bantu isikan paket nelponnya? Konternya nggak jauh dari sini kok,"

Zulfi menggaruk telinga. Tak lama kemudian ia mengangguk mengiyakan. Ia harus segera menelepon ibunya untuk mentransfer uang, karena jajannya hanya tersisa sepuluh ribu rupiah lagi. Ia tidak bisa hidup tanpa uang.

"Baiklah, Kang,"

Sholeh menyerahkan kunci motor pada Zulfi, juga menyerahkan uang seratus ribu sebanyak empat lembar.

"Nomor hpnya?"

"Udah ada di sana. Bilang aja isi paket nelpon bulanan yang 3000 menit, untuk ponpes Az-Zikri. Pasti mereka tau,"

Zulfi baru saja akan menuju parkiran ustaz, tepat di saat Lea si gadis bar-bar menginterogasi.

"Mau ke mana?"

Zulfi memutar bola mata jengah. "Konter,"

"Ikut,"

"Sama ana?" tanya Zulfi kaget. Lea lantas mengangguk. "Nggak. Nggak bisa. Ana udah otw taubat, nggak mau boncengan sama yang bukan mahram lagi," Lea baru hari ini tiba di pesantren bersama orang tuanya, tapi sudah menganggu Zulfi saja.

"Darurat! Aku pengen ke mini market,"

"Mau cari apa? Biar aku yang beliin," Zulfi tidak bisa ber-ana anti lagi kalau sudah kesal. Lagipula, Lea juga menyebut dirinya 'aku'.

"Nggak bisa, ini harus aku sendiri yang pergi. No jastip,"

"Ya udah pergi aja sana sendiri!" seloroh Zulfi.

"Aku nggak bisa, lagian aku minta tolong karena bang Sultan udah duluan berangkat nganterin Lia. Kalau ada bang Sultan ngapain aku ikut kamu? Udah cepat berangkat!" Zulfi melongo melihat perempuan itu yang langsung ngangkang di belakangnya.

"Kok ngegas sih?"

"Ya makanya cepat!"

Zulfi hanya bisa pasrah. Dari pada ia makin terlambat, lebih baik iyakan saja apa maunya bocah itu.

"Lagi dapet ya?" tanya Zulfi memecah keheningan ketika motor matic itu mulai membelah jalanan, keluar dari pekarangan pesantren.

"Kok tau?" tanya Lea dengan pipi memerah menahan malu.

"Cuma nebak, eh malah beneran. Pantesan kamu marah-marah. Ke mini market mau beli ...."

"Udah diem!"

Zulfi mengulum senyum melihat wajah merah Lea di balik spion.

***

Lia mulai heran ketika menatap pekarangan masjid yang sepi. Biasanya pada jam segini sudah ramai santri berdatangan untuk menghafal Al-Qur'an.  Biasanya anak-anak sudah duduk melingkar di rumput halaman masjid dan ada satu ustazah yang akan mengajarkan.

"Ustazah,"

Panggilan itu membuat Lia menoleh. Tampak seorang lelaki dengan baju Koko dan celana kain, tersenyum lembut ke arahnya. Buru-buru Lia merunduk, tidak berani menatap wajah itu.

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now