13. Cerita Masa Lalu

287 86 23
                                    

Suasana kosan tampak hening. Lea memandang kosong fotonya dengan Lia yang diambil beberapa bulan lalu. Dalam foto itu Lea tertawa lepas, sedangkan Lia tampak tersenyum dipaksakan karena dirinya memang tidak suka berfoto.

Gadis itu tersenyum kecil. Cukup banyak perbedaan di antara keduanya meskipun terlahir kembar. Kakaknya patut dijadikan teladan, dirinya justru penuh dengan ketidakpatuhan. Sejak dulu, Lia menerima pujian dari siapapun, sedangkan Lea justru dikatai gadis keras kepala.

Lea berprinsip bahwa hidup itu untuk dinikmati, bukan untuk mendengarkan komentar orang lain. Biar saja orang lain tidak suka dengan caranya, yang penting dirinya bahagia dan tidak merusak kenyamanan dan kebahagiaan orang lain.

Namun, kenapa orang lain sangat peduli untuk menilai dirinya? Menurut Lea orang-orang di sekelilingnya itu sudah gila dan menambah-nambah pekerjaan saja.

Deringan ponsel membuat Lea mengumpulkan seluruh atensinya. Ternyata kakaknya yang menelpon. Lea menatap layar ponselnya agak lama, sebelum akhirnya mengangkat.

"Lusa kamu pulang kan?" suara lembut itu menyapa indra pendengaran Lea.

"Liat sikon dulu, karena di minggu-minggu ini mulai ujian," balas Lea seraya memperhatikan kuku-kuku jarinya yang ternyata mulai memanjang.

"Belajar yang bener, biar jadi kebanggan abi ummi," ujar Lia lagi. Lea memejamkan mata dan menarik napas kuat. Kemudian menghelanya secara pelan. Ia agak malas membahas tentang orang tuanya. Setelah aksi Lea yang kembali ke kos tanpa ucapan pamit pada keluarga, suasana kekeluargaan kian kurang kondusif.

"Sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa banggain mereka. Aku nggak mau jadi robot kayak kamu. Capek Lia!" Lea sudah bilang bahwa dirinya bukan anak yang bisa patuh pada setiap aturan. Sekiranya ia tidak suka, ia akan menolak keras-keras.

"Ya mau gimana lagi, bagaimanapun itu wajib disyukuri. Mungkin memang seperti itu cara mereka menunjukkan rasa perhatiannya sama anak-anaknya,"

"Buka mata kamu Lia! Mana ada orang tua yang se-cuek itu sama anak sendiri? Kisah bang Sultan nggak ada yang mengungkap, kamu dilecehkan aja nggak ada yang tahu. Mereka bahkan nggak pernah nanya gimana kehidupan aku di sini. Orang tua macam apa itu?" Tanya Lea dengan napas naik-turun.

"Mungkin abi ngerasa kalau kita udah dewasa dan bisa membawa diri," jawab Lia akhirnya.

"Aku tuh udah jengah sama abi. Kesehariannya hanya memikirkan jamaah umroh doang, anak sendiri nggak terkontrol. Ummi sebagai ibu juga kurang tegas, ikut nurut sama apapun yang abi minta,"

Pembahasan terasa kian memanas, akhirnya Lia mengganti topik dengan membahas maksud dan tujuannya menelpon sang adik di malam itu.

"Emmm ... lusa kamu pulang kan? Acaranya sengaja dibuat hari minggu biar kamu bisa pulang dan ngeliat prosesi lamaran,"

Lea tersentak. Dadanya yang sudah panas kini terasa bagai mendidih. Rupanya Zulfi dan Lia memang benar-benar akan melanjutkan prosesi pernikahan. Lusa adalah acara lamaran secara resmi yang akan mendatangkan sanak saudara dari kedua belah pihak.

"Selamat Lia, semoga bisa lancar sampai hari H. Kayaknya jadwal belajar aku beneran padat banget,"

"Jadi kamu beneran nggak bisa pulang? Dulu walaupun ujian tapi kamu tetap pulang, kenapa sekarang nggak bisa?"

"Ya bedalah. Dulu itu masih semester awal, materi kuliahnya masih umum dan nggak terlalu berat. Kalau sekarang udah beda," Lea menjelaskan dengan bersungut-sungut.

Lama mereka berbincang sampai akhirnya Lia menyudahi karena akan makan malam bersama keluarga.
Lea berteriak kasar, lalu melempar ponselnya begitu sambungan sudah diputuskan.

"Kalau kamu menjadi perempuan yang beruntung, kenapa aku nggak, Lia?" lirihnya menahan tangis.

"Aku Zulfi. 25 tahun, anak tunggal dari seorang pengusaha. Lulusan Sastra Indonesia dan sekarang menuntut ilmu di pesantren ini. Aku rasa aku suka kamu. Mau menikah denganku?"

Kalimat itu terus saja terngiang di benak Lea. Kalimat yang tidak ingin ia ingat.

"Kenapa takdir hidup tidak selalu sejalan dengan yang diharapkan?" Lea menyesali satu hal. Harusnya ia memang tak pernah pulang dari awal. Tidak ada yang mengharapkan kepulangannya. Tidak ada yang menunggunya di sana. Malam itu, Lea hanyut dalam kesedihan mendalam.

***

Lia walaupun akan menikah tetapi masih digandrungi rasa bersalah dan menganggap dirinya tidak pantas untuk Zulfi. Namun, tidak mungkin ia terus-terusan menolak lelaki itu. Tidak baik juga menolak seseorang yang benar-benar ingin serius dengannya meskipun rasa takut akan mengecewakan juga menghinggapi.

"Lia,"

Lia menoleh, mendapati sosok Sultan yang berjalan ke arahnya. Lelaki itu duduk di sebelah Lia, seraya menatap pantulan dirinya dari cermin meja rias.

"Abang benar-benar menyesali masa lalu itu. Harusnya Abang enggak menyandarkan hidup Abang pada manusia ketika Abang sedang kecewa dengan sikap abi," ucap Sultan seketika.

"Maksudnya?"

Sultan menghela napas. Butuh ketabahan untuk menceritakan apa yang ia alami bertahun-tahun ini.

"Abi selalu nuntut Abang untuk ikut ini dan itu. Semuanya berjalan di atas aturan Abi. Abang nggak bisa membuat keputusan sendiri dalam hidup. Abang jadi kecewa, sampai harus menemui psikiater di kampus Abang sendiri,"

Lia terkejut, ia memandang kakak lelakinya penuh rasa tidak percaya. "Emang separah apa mental Abang pada saat itu sampai harus bertemu konselor?"

Sultan lama terdiam. Ia tertunduk sembari menahan tangis yang menderanya.

"Abang pernah hampir bunuh diri. Kamu bisa bayangin nggak, betapa hancurnya ketika punya keluarga, hidup di kalangan pesantren, tapi nggak ada yang peduli? Abang nggak punya teman curhat. Ngobrol sama abi umi aja rasanya takut-takut. Hidup Abang kayak nggak bebas. Mereka cuma mau mendengar Abang bicara kalau Abang dapat juara, dapat penghargaan. Selebihnya semua omongan Abang bagai angin lalu.

"Dik, lihat ini," Sultan menyibak lengan baju kokonya. Menampilkan bekas sayatan di pergelangan tangan lelaki itu. Lia yang melihatnya segera beristigfar dan menutup mulut. Apa yang terjadi dengan Sultan ternyata tidak main-main.

"Abang juga punya rencana untuk terjun dari rooftop asrama putra, tapi ada aja penghalang. Sampai akhirnya Abang mencari psikiater atau konselor untuk bantuin Abang keluar dari semua keterpurukan ini. Dari sana Abang akhirnya mengenal sosok Eda, adiknya Edo. Eda pada saat itu juga mengemban kehidupan yang begitu pahit. Dia anak broken home. Kami kebetulan dipertemukan ketika mendatangi ruangan konseling yang ada di kampus,"

Lia masih terdiam, cukup shock dengan apa yang sedang didengarnya. Ia juga ingin mendengar curahan Sultan sampai tuntas.

"Memang salah Abang. Semua salah Abang. Harusnya Abang membatasi perkenalan dengan lawan jenis. Yang awalnya cuma sekadar saling menguatkan, setelah itu menjadi hubungan yang spesial. Harusnya pada saat itu Abang menyerahkan semua masalah sama Allah, curhat sama Allah, bukan sama Eda.

"Kalau emang mau curhat sama teman, kenapa Abang nggak curhat sama teman laki-laki aja? Abang begitu menyesal. Kami justru melampaui batas dan menyesal tanpa batas. Maka dari itu, Dik, Abang takut jika kamu dan Lea berkenalan dengan lawan jenis. Abang takut hal yang sama terjadi pada kalian. Itulah alasan kenapa selama ini Abang over protective sama kalian berdua. Karena belum tentu abi dan umi mengawasi kalian sampai sedalam itu. Tapi, Abang malah gagal menjaga kamu, Edo tetap pada keegoisannya untuk balas dendam,"

Lia sudah tidak bisa menahan tangisnya ketika mendengar cerita sang kakak lelakinya. Kisah yang semakin pelik, bercabang, dan susah untuk dijabarkan satu persatu.

"Insyaallah setelah kamu menikah nanti, kamu akan dijaga dengan baik sama suamimu. Kamu akan merasakan kasih sayang dan cinta sedalam-dalamnya. Abang yakin kamu akan bahagia, hidup tanpa kungkungan keluarga," ucap Sultan yang menahan isak.

Sekarang Lia paham, bukan dirinya yang perlu dikasihani, tapi abangnya yang terkena mental selama bertahun-tahun.

***

Terima kasih sudah membaca :)

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now