22. Bertemu Lia

277 80 31
                                    

Tubuh sepuh itu terbaring lemah di atas brankar. Napasnya memburu, tangannya bergerak pelan. Sementara sebelah tangan lain sama sekali tidak ada pergerakan, seperti sudah mati.

Lea duduk di sebelah abi Zikri. Tak henti-hentinya ia menciumi wajah dan tangan lemah itu. Tangisannya sudah tidak terbendung lagi.

"Kakek kan sudah tua, wajar kalau sakit-sakitan," Winda coba memenangkan anaknya.

"Ummi harusnya menjaga kakek dengan baik, jangan malah mengurusi hal yang kurang penting! Takzim seorang wanita itu bukan hanya pada suaminya, orang tuanya juga!" sindir Lea.

Winda hanya bisa terdiam dan menyesali perbuatannya. Dirinya begitu pintar melayani dan memenuhi kebutuhan suami, tetapi lupa terhadap Abi Zikri.

Sejak istrinya meninggal dan Winda menikah, Abi Zikri mengurusi semuanya sendiri. Sedikitpun tidak pernah meminta bantuan Winda. Abi Zikri sama sekali tidak mau ikut campur dalam pernikahan anaknya. Namun, Winda malah tidak sadar diri. Ia terbuai demi hanya berbakti pada lelaki yang menikahinya. Lupa dengan lelaki yang menafkahinya sejak kecil dan selalu merisaukan dirinya.

Zulfi tidak berlama-lama di ruangan itu. Ia hanya menunggu di luar. Lagipula, sudah menjadi peraturan rumah sakit untuk tidak berkerumun di ruang ICU.

Zafran menghampiri Zulfi. Suasana terasa sedikit tegang. Zulfi takut pada ayah mertuanya yang satu ini.

"Kalian apa kabar?"

Tanya lelaki itu membuka pembicaraan. Zulfi hanya menjawab singkat, lalu dua lelaki itu terdiam kembali.

"Abi mohon maaf sebesar-besarnya, karena telah memaksa kamu menikah dengan Lea. Kami lebih takut dengan perkataan orang dibandingkan mengkhawatirkan anak dan menantu sendiri. Abi begitu menyesal,"

Zulfi hanya terdiam. Kalau diingat-ingat kembali, rasanya begitu menyakitkan apa yang terjadi di hari pernikahannya. Sudah berencana akan hidup bahagia dengan Lia, malah dipaksa menikahi Lea.

"Zulfi, seandainya nanti kamu merasa ingin menyudahi pernikahan dengan Lea, tolong kembalikan Lea dengan cara baik-baik kepada kami. Dosa Abi terlalu banyak pada Lea. Abi tidak mau mengabaikan Lea lagi.

"Setelah kepergian Lia dan Lea ikut kamu, rumah jadi sepi. Kami benar-benar belajar muhasabah diri. Abi sudah begitu keras pada Sultan, sudah mengabaikan Lea, dan menganggap Lia akan baik-baik saja. Ternyata semua ini pemikiran yang salah besar. Banyak hal yang sudah terjadi pada putra dan putri Abi, dan Abi tidak tahu sama sekali,"

"Jadi ... Abi nggak masalah kalau aku berpisah dengan Lea?" Zulfi kembali membuka suara bersama dengan lalu lalang orang di koridor rumah sakit.

"Maka dari itu Abi tanya, bagaimana kabar kalian? Apakah kalian bahagia? Jika memang tidak ada alasan untuk meneruskan, maka kamu harus memutuskan mana yang terbaik."

Zafran segera pamit untuk kembali ke pesantren karena santri di sana tidak ada yang mengontrol. Tinggallah Zulfi sendiri dengan pemikiran yang berlari ke sana kemari.

Zulfi masih bingung harus bagaimana. Walaupun belum mencintai Lea, rasanya tidak tega melafazkan perpisahan begitu saja.

"Abi ngobrolin apa sama kamu tadi?"

Zulfi sedikit kaget. Lea tiba-tiba sudah berada di sebelahnya saja.

"Ada deh. Pulang yuk!"

Lea mendelik. Kenapa suaminya ini begitu terburu-buru minta pulang? Namun Lea tetap harus patuh daripada nanti harus pulang sendirian. "Ya udah, tunggu aku ambil tas dulu,"

"Oke, jangan lama-lama,"  balas Zulfi seraya mencubit hidung Lea. Sempat juga ia menghapus air mata yang masih bersisa di pipi perempuan itu. Seketika Lea merasa jantungnya berdebar-debar. Zulfi biasa saja, ia hanya ingin menghibur istrinya agar tidak terlalu bersedih karena kakeknya sakit.

Lea segera masuk kembali ke dalam ruangan untuk mengambil tas dan berpamitan. Sementara Zulfi tetap menunggu di luar dengan berdiri dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Netra Zulfi tak sengaja menatap sosok seseorang yang begitu ia rindukan kehadirannya. Sosok teduh itu tampak berjalan buru-buru dengan wajah yang gelisah.

"Lia! Ana senang banget anti udah kembali," girang sekali hati Zulfi mendapati sosok itu sudah berjalan menghampirinya.

"Kamu udah balik?" Lea yang baru keluar tak kalah kagetnya. Lea tidak tahu, entah harus bahagia atau mesti bersedih mendapati keberadaan Lia yang sudah berada di hadapannya.

Lea memperhatikan perbedaan diri dengan kembarannya. Walaupun mereka kembar dan mirip, tapi perbedaan jelas kentara jika sudah berdiri berdampingan. Kulit wajah Lia begitu halus dan cantik. Pakaiannya begitu muslimah dan rapi. Tubuh Lia kini tampak sedikit berisi karena faktor kehamilan.

Berbeda dengan Lea dengan tubuhnya yang ringkih dan pakaian agak urakan sekarang. Begitu tau kakeknya sakit, Lea langsung ke rumah sakit tanpa memperhatikan penampilan. Ditambah wajahnya sudah begitu kusut karena menangisi dirinya ketika di rumah.

"Lia, ayo kita mulai semuanya dari awal. Jadikan ana sebagai lelaki paling beruntung karena bisa memiliki anti," Lancar sekali Zulfi mengatakan itu di hadapan Lea.

Lia masih belum mengeluarkan suara. Ia menatap Zulfi dan Lea seraya bergantian.

"Bagaimana dengan Lea?" Tanyanya pada akhirnya.

"Kami bisa berpisah secepatnya, anti nggak usah khawatir. Lagian abi juga udah setuju. Iya kan, Lea?" Kata Zulfi yang mengharap balasan dari Lea. Lea merasa dunia tidak lagi berputar. Kini ia mulai paham apa yang tadi dibicarakan oleh ayah dan suaminya. Dirinya hanya mengangguk pelan dengan senyuman palsu. Bohong kalau Lea tidak tersiksa mendengar semua itu.

"Apapun, yang penting kalian bahagia. Aku nggak masalah. Termasuk harus pergi." Lea melangkah lebar walau tidak tahu arah jalan. Dadanya sesak.

Dari belakangnya Lia berusaha mengejar karena ada yang ingin ia jelaskan. Ia tahu, Lea begitu marah pada dirinya semenjak hari pernikahan itu.

"Lea tunggu!"

Lea membalik badan, tatapan tajam dilayangkan pada kakaknya. "Mau apa lagi kamu, manusia egois?"

"Dik, Lea, kakak minta maaf,"

"Aku tahu kalau kamu nggak terima dengan apa yang udah terjadi. Kamu nggak mau jadi korban sendirian, lalu kamu seret aku untuk ikut menderita. Iya kan? Kalau kamu mencintai Zulfi, kenapa kamu pergi begitu aja? Harusnya semua berjalan baik-baik aja. Toh, Zulfi mencintai kamu apa adanya! Sekarang, kamu malah kembali? Biar apa?" Tanya Lea dengan rahang mengeras. Ia tidak peduli jika nanti akan datang perawat atau pekerja rumah sakit yang akan menegurnya. Intinya emosi yang selama ini terpendam harus tersalurkan.

"Lea ...."

"Udahlah, nikah aja kalian! Biar bahagia tuh Zulfinya! Lagian abi juga setuju kalau aku berpisah sama Zulfi. Kan abi nggak pernah mikirin perasaan aku, yang penting anak kesayangannya bahagia!" nyinyir Lea tanpa mau menatap wajah kakaknya sedikitpun.

"Lea, apa kamu mencintai Zulfi?"

"Zulfi nggak butuh cinta aku! Dia cuma mau kamu!" Ingin sekali Lea berteriak seperti itu pada kakaknya. Namun, hanya sebatas kerongkongan. Lea memilih pulang, seharian ini ia sudah cukup lelah. Mungkin kalau ditampung, entah sudah sebanyak apa air mata yang dikeluarkan.

***

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now