15. Jadi Nikah, Kan?

311 75 26
                                    

Pagi itu Zulfi bangun begitu awal. Bisa dibilang, setelah tahajud dirinya tidak tidur lagi. Ia gundah, takut kalau sampai terbata-bata ketika melafazkan ijab kabul besok.

Teman-teman Zulfi tertidur begitu pulas karena semalaman begadang memainkan game. Kalau santri sudah pegang hp, orang-orang akan dibuat geleng-geleng kepala. Iman dan Sabar bergiliran meminjam ponsel Zulfi untuk bermain game dan membuka media sosial.

Mereka baru tidur lewat jam satu malam. Soal Ikhlas jangan ditanya, teman Zulfi yang satu ini sudah sejak dulu diam-diam membawa hp.

Azan subuh berkumandang, Zulfi membangunkan ketiga temannya untuk salat di masjid komplek. Zulfi melirik ponselnya yang ternyata sudah mati total. Ini pasti ulah kedua temannya yang tidak kenal waktu ketika bemain ponsel.

Zulfi menuju nakas untuk mengambil kabel data, lalu mengisi daya ponselnya.
Setelah bersiap-siap, keempat lelaki itu bergegas ke masjid bersama-sama.

Ternyata ayah dan abang Zulfi juga turut serta. Tak ada hentinya Zulfan menggoda adiknya yang beberapa jam lagi akan berganti status.

”De,” panggil Zulfan ketika enam lelaki itu keluar dari masjid sehabis salat.

Mereka pulang dengan berjalan kaki, menyusuri sepinya suasana di subuh itu. Salat subuh tergolong sembahyang yang berat sekali untuk manusia tunaikan, banyak yang masih ketiduran pada jam-jam sebegini.

Terlihat dari rumah-rumah yang lampunya masih padam. Di masjid tadi juga sedikit sekali lelaki yang menunaikan salat berjamaah.

Zulfi menoleh ketika abangnya memanggil. “Ada apa, Bang?”

Kau dah hafal macam-macam doa suami istri?” Iman, Sabar, dan Ikhlas tak bisa menahan tawa. Mereka terkikik geli, apalagi ketika menatap  wajah Zulfi yang menahan malu.

“Abang!!!”

Abang tanya serius la. Jangan nanti macam Aqila, tak hafal doa mandi,” balas Zulfan tanpa beban. Tidak sadar bahwa secara tidak langsung sedang mempermalukan istrinya. Jelas pada saat itu Aqila tidak hafal, karena mereka nikah terburu-buru.

“Insyaallah aku udah siap, Bang. Cuma kadang-kadang deg-degan, gerogi, takut aja gitu,” Zulfi menyampaikan rasa yang mengganjal di hatinya.

“Insyaallah semua akan berjalan lancar. Itu mah perasaan kamu aja,” Alamsyah sebagai sang ayah menimpali. Baru kemudian Zulfi bisa sedikit lebih tenang.

Sesampai di kamar, Zulfi mengecek ponselnya yang ternyata sudah terisi setengah. Ia menghidupkan ponsel itu dan membuka WhatsApp.

Awalnya dipenuhi pesan-pesan biasa, berisi doa dan ucapan selamat untuk Zulfi yang akan mengakhiri masa lajang. Namun, di antara belasan pesan itu, terdapat sebuah chat dari seseorang yang tidak Zulfi save nomornya.

Zulfi baru ingat jika itu adalah nomor Lia. Mereka pernah berkirim pesan untuk sekadar menanyakan persiapan pernikahan dan fitting baju kala itu. Zulfi dengan penuh penasaran  membaca pesan itu dalam hatinya.

Assalamu’alaikum. Bagaimana kalau pernikahan ini dibatalkan saja? Tiba-tiba ana berubah pikiran. Maaf.

Zulfi tersentak. Tangannya gemetaran, ponselnya bahkan hampir terjatuh. Jangan tanyakan bagaimana kondisi Zulfi saat ini. Air matanya sudah merembes membasahi pipinya. Pesan itu dikirim pada jam dua malam oleh Lia dan dirinya baru membaca sekarang.

“Ya Allah kenapa aku dibalas begini?”

Bayangan masa lampau kembali terngiang bahwa dulunya Zulfi adalah seorang pemuda yang senang mempermainkan perasaan perempuan. Ia menghabiskan waktu untuk jalan-jalan sampai meninggalkan sembahyang.

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now