3. Ikhtiar Dulu

419 86 26
                                    

Suara adzan menggema ke seluruh penjuru pesantren. Santri-santri tampak bergegas menuju masjid sebelum terlambat dan hukuman menggerogoti mereka. Tak terkecuali Zulfi, ia terlihat begitu terburu-buru.

"Eh tungguin, jangan langsung pergi aja!" seru Zulfi yang sedang memasang sarung cokelat kotak-kotak. Menurutnya, memakai sarung adalah pekerjaan yang begitu sulit. Butuh kesabaran ekstra sampai bisa memakainya dengan benar.

Sabar, Iman, dan Ikhlas terpaksa harus berdiri di depan pintu kamar, menunggu lelaki itu yang masih melipat sarung di pinggangnya. Kalau tidak rapi sedikit saja, langsung Zulfi rombak. Lalu, dicoba lagi dari awal untuk mensejajarkan posisi lipatan.

"Nanti kalau udah sampe masjid dipake yang rapi. Buat apa rapi-rapi amat kalau nanti harus lari-lari biar gak telat?" Sabar menggerutu.

"Al-Qur'an aku ke mana sih?" Zulfi jadi gelagapan di saat-saat seperti ini. Gara-gara insiden taarufan dan lamaran di dapur tadi, ia jadi terlambat pulang dan bersiap-siap ke masjid.

Sabar berdecak sebal. Dirinya piket di bagian ibadah pada hari ini. Jika yang piket juga terlambat, apa kata dunia?

"Yang sabar, Sabar," kata Iman.

"Lagian kenapa harus terlambat sih? Ngapain di rumah pimpinan pesantren coba?" protes Ikhlas.

"Jomblo diam!"

Ingin sekali Ikhlas melayangkan sajadah ke kepala Zulfi. Lelaki itu sungguh keterlaluan kalau sudah berbicara.

"Ini kalau kena hukuman, awas aja ya, akhi!" Iman ikut menimpali. Mungkin bagi Zulfi, hukuman sudah menjadi makanan sehari-hari, makanya ia tidak pernah takut lagi. Berbeda dengan Iman yang jarang melakukan pelanggaran. Ia takut ayahnya akan mengantarnya ke pesantren baru lagi. Pasalnya, ini adalah pesantren ke-enam yang Iman tempati setelah sebelumnya bermasalah terus-terusan.

"Wahai orang yang beriman, tenang, tenang!" canda Zulfi yang keluar kamar dengan menenteng Al-Qur'an dan menyampirkan sajadah di bahunya.

"Kunci pintunya dulu!" geram Sabar. Kebiasaan sekali Zulfi amnesia mengunci pintu setiap ke luar.

"Kalau emang ada yang mau maling, berarti emang udah gak rezeki kita. Kan wa kafaa billahi wakiila, dan cukuplah Allah sebagai wakil,"

"Ya nggak gitu juga, kita mesti ikhtiar dulu, baru tawakkal," balas Ikhlas.

"Dalam Alquran, perintah untuk bertawakal itu terulang sebanyak sebelas kali. Sembilan berbentuk tunggal dan dua berbentuk jamak. Tau nggak, kalau semuanya itu selalu awali perintah melakukan sesuatu? Jadi, tawakkal itu nggak bersifat pasif," jelas Iman.

"Ye ... kebanyakan ceramah kalian. Katanya udah telat?" Zulfi segera berlalu meninggalkan teman-temannya terlebih dulu. Padahal, tadinya ia yang meminta mereka menunggunya.

"Emang nggak bisa dibilangin nih orang. Nyari pembenaran aja bisanya!"

***

Empat orang lelaki tampak duduk berhadapan. Di depan mereka terdapat sebuah meja berbentuk persegi dengan empat piring nasi dan minuman di atasnya.

Di meja lain juga begitu. Para santri tengah menyantap makan malam mereka begitu selesai salat Isya. Waktu yang diberikan hanyalah lima belas menit untuk makan. Para santri harus pandai-pandai memanfaatkan waktu tersebut sebelum mereka kembali mengikuti pengajian malam.

Memang lima belas menit tergolong waktu yang lumayan lama jika sekadar menyantap sepiring nasi. Namun, mereka harus membudayakan antre dengan ribuan santri. Harus tertib, tanpa ada yang saling dorong atau menerobos.

OTW TAUBAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang