6. Ini Perintah!

276 70 7
                                    

"Ana duluan ya, perut ana sakit banget karena belum sarapan," Iman menyerahkan barang belanjaan pada Zulfi begitu ia memarkirkan motor di depan kantor.

"Jangan main kabur aja! Ana nggak sanggup bawa barang ini sendirian," cegat Zulfi. Sementara Iman acuh saja, ia sudah berlarian ke gedung asrama.

Terpaksa Zulfi mengantarkan barangnya sendirian ke rumah pimpinan pesantren. Sebelumnya ia juga sudah mengembalikan kunci motor terlebih dahulu pada Sholeh.

"Taruh di mana ini, Mbak?" tanya Zulfi begitu tiba di dapur.  

Tak disangka, orang yang diajaknya bicara adalah Lia. Sungguh the real of peribahasa pucuk dicinta ulam pun tiba.

"Taruh di atas meja aja," balas Lia pelan. Ingin sekali gadis itu beranjak dari sana, tidak ingin berada berdua dengan Zulfi, tetapi masalahnya ia sedang menyeduh teh agar bisa ia suguhkan ke meja makan.

"Lia ...." panggil Zulfi perlahan. "Ana mau bilang kalau sebenarnya orang yang ingin ana lamar pada hari itu adalah anti, bukan Lea. Mohon maaf karena nggak bisa bedakan wajah kalian, jadi salah orang deh,"

Lia tersenyum pelan. Pernyataan Zulfi barusan membuatnya bahagia.

"Jadi ... gimana jawaban anti?" tanya Zulfi tak sabaran. Ia sudah siap jika seandainya Lia menolaknya. Yang penting dirinya sudah berusaha mengutarakan apa yang ada di hati, karena tidak sanggup memendam sendirian.

"Ana ...."

"Lia! Dari tadi Abang tunggu ternyata kamu malah ngobrol?"

Zulfi meringis pelan ketika mendapati Sultan yang melongok di pintu dapur. Zulfi juga sedikit kesal, Sultan begitu sering memarahi Lia seperti saudara tiri saja.

"Tugas antum cuma belanja, bukan nyari-nyari kesempatan untuk masuk ke rumah ini,"

Ingin sekali Zulfi menyumpal mulut Sultan, tapi apalah hendak dikata jika membalas Sultan hanya bisa diutarakan dengan umpatan dalam hati.

Zulfi segera berjalan menuju ke luar. Ia sudah telanjur kesal dengan Sultan. Mungkin, dirinya perlu pulang dan menyiapkan strategi untuk membalas Sultan nantinya.

Di teras rumah, Zulfi malah berpapasan dengan abi Zikri. Tentu saja Zulfi tidak bisa pulang begitu saja. Ia menangkap tangan berkerut itu lalu menciumnya penuh takzim.

Zulfi juga lebih dulu menceritakan alasan kenapa dirinya bisa berada di rumah itu, sebelum abi Zikri berpikir macam-macam.

"Apa saya masih layak menjadi santri di sini? Kesalahan yang saya buat sudah terlampau banyak, Abi,"

Abi Zikri tersenyum seraya mengusap punggung Zulfi penuh kasih sayang. "Masih rame santri yang bermasalah, dan masalah mereka juga ada yang jauh lebih parah. Kamu masih baru, jadi wajar setiap melakukan kesalahan pasti akan terlihat. Santri baru mah selalu jadi sorotan,"

Benar saja. Zulfi sudah berpuluh kali masuk mahkamah bahasa karena belum begitu bisa berbahasa Arab. Para santri menjadikan Zulfi sebagai korban. Zulfi bahkan pernah stres dan menjadikan Iman, Ikhlas, dan Sabar sebagai jasus secara bergiliran karena sulit mencari mangsa.

Tiba-tiba ia tertawa dalam hati mengingat betapa jahatnya dirinya pada teman-temannya. Dia yang berbahasa Indonesia, teman-temannya yang ikut jadi korban.

"Ayo masuk dulu, kita sarapan," ajak abi Zikri. Zulfi sebisa mungkin menolak, tetapi abi Zikri memaksanya sampai tidak bisa berkutik.

"Ini perintah!"

"Labbaik, Abi," Zulfi mau tidak mau kembali memasuki rumah itu dan menuju meja makan.

"Lia, tolong ambilkan satu piring lagi!" suruh abi Zikri yang sudah duduk di balik meja makan.

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now