17. Toxic Family

247 77 22
                                    

"Terima kasih untuk semuanya, antum begitu baik. Lia pasti begitu beruntung," bisik Sultan begitu menemui Zulfi yang sudah tampan dengan pakaian pengantinnya. Secercah senyuman terbit dari bibir Zulfi. Selama nyantri, Zulfi dan Sultan sering adu argumen, tetapi pada hari itu dipertemukan dalam keindahan.

"Ana yang lebih beruntung mendapatkan seorang Lia," balas Zulfi. Sultan lantas menepuk-nepuk pundak lelaki yang memakai tuxedo putih itu.

Sultan melirik ke belakang, sang ibu memanggil dirinya. Raut wajah Winda kala itu terlihat begitu gelisah.

"Ada apa, Ummi?" tanya Sultan sedikit berbisik.

Winda menatap ke sekeliling sebelum mengatakan sesuatu pada anak lelakinya. "Gimana ini? Lia nggak ada di kamarnya!"

"Lagi ke kamar mandi, mungkin," respon Sultan.

"Nggak ada juga. Tadi mbak mbak perias itu udah selesai, Lia ditinggal sebentar untuk ngangkat telepon. Tapi Lia udah keburu kabur. Pakaian pengantinnya juga udah dilepas dan tergeletak gitu aja di atas ranjang," jelas Winda.

Sultan ikut panik begitu mendengar cerita sang ibu. Acara sebentar lagi akan dimulai, Lia justru membuat ulah.

Dalam kebingungan itu, Sultan melirik ke arah Lea yang tengah berkacak pinggang di depan Zulfi. Sepertinya mereka sedang berantem.

"Kalau aku liatin calon suami aku, jangan tercengang kamu!"

Sultan dan Winda saling menatap, lalu terbit sebuah ide.

"Ummi, gimana kalau ...."

"Panggil Lea ke sini!" seru Winda. Sultan dengan segera menarik Lea memasuki rumah. Lea yang belum selesai bertengkar dengan Zulfi, mau tidak mau mengikuti perintah abangnya.

"Ya ampun, Dek. Kamu nggak malu apa, masih pake baju ginian? Masuk ke kamar ganti baju!" titah Sultan.

"Ogah! Lagian aku nggak mood hari ini,"

"Nanti ada foto keluarga lho," Winda ikut menimpali seraya mengarahkan anaknya segera memasuki kamar pengantin. Sementara Sultan segera mengunci pintu.

Winda memegang bahu Lea, lalu menatapnya penuh permohonan. "Lea, Ummi mau ngomong penting, kamu harus mau. Hari ini kamu harus menjaga reputasi pesantren kita, karena semua ini tergantung pada kamu,"

"Masa gara-gara aku nggak berpakaian bagus malah menjatuhkan Marwah pesantren? Aneh nggak sih?" Lea malah kebingungan.

"Bukan gitu, Lia kabur. Kamu mau kan gantiin posisi Lia?"

Apa-apaan ini? Penawaran menarik, tapi mana mungkin Lea bisa mewujudkannya? Secinta-cintanya Lea kepada Zulfi, mana mungkin ia bisa melakukan itu? Seketika Lea merasa kesal pada Lia yang begitu nekad mengambil keputusan.

Lea menoleh ke lelaki yang berdiri di sebelah ibunya. Tatapan dingin diperlihatkan.

"Ummi tau, Lia kabur gara-gara apa? Lia hamil! Semua itu karena dulunya bang Sultan pernah hamilin anak orang. Sekarang karma itu berefek pada Lia! Suruh bang Sultan yang bertanggung jawab, bukan sama aku!" seloroh Lea.

"A-apa?" Winda seketika syok. Ia menatap Lea dan Sultan bergantian. "Sultan!!! Kenapa kamu melakukan itu???" Winda geleng-geleng kepala. Tubuhnya seketika melemah, ia menumpukan tangannya pada dinding.

"Kacau semuanya!"

Sultan menggenggam tangan Lea, lalu berusaha meyakinkan gadis itu. "Abang tahu kalau Abang salah, tapi tolong untuk setidaknya membuat keadaan sedikit membaik. Kita akan selesaikan semuanya satu-persatu. Menikahlah dengan Zulfi, Dek. Abang juga nggak tinggal diam, Abang akan cari Lia,"

Sultan mengusap air matanya ketika mengingat bagaimana keadaan Lia, adiknya saat ini. Kasihan pada adiknya, juga marah pada dirinya sendiri. Ia merasa sebagai orang paling bersalah. Harusnya Lia tidak mengalami semua ini. Harusnya Lia tidak menjadi korban akibat masa lalu Sultan.

"Kalau saja semua hal buruk itu tidak menimpa kamu, mungkin hari ini kamu menjadi perempuan yang paling bahagia, Lia. Namun, semuanya malah tak seperti yang terpikirkan," gumam Sultan seraya menatap bintang-bintang di malam itu.

"Anak kurang ajar!" Tendangan dari belakang membuat Sultan sampai tersungkur. Dengan pelan ia bangkit kembali dan dengan berani menatap mata yang menyala di hadapannya.

Sultan tidak perlu menebak siapa pelaku dan pemilik suara itu. Bertahun-tahun disalahkan, dianggap penakut dan dituntut berani secara bersamaan.

"Apa yang udah kamu lakukan? Kamu disekolahkan, tinggal di lingkungan pesantren, kuliah sampai S2, begitu kelakuan kamu di luar sana?"

Dengan bibir bergetar, Sultan menjawab lelaki itu untuk pertama kalinya. "Ya, memang sangat kurang ajar. Karena tidak pernah diajar,"

"Apa arti pengorbanan Abi buat kamu selama ini?"

"Pengorbanan yang mana, pak Ustaz? Menjadi ayah yang toxic? Sibuk mengurus jamaah sampai lupa merawat mental anak sendiri?"

"Kamu ini ya! Udah berani sama Abi?"

Bogeman mentah diterima Sultan. Pemuda itu sama sekali tidak dapat melawan. Pukulan selanjutnya akan dilayangkan ke perut Sultan seandainya Winda tidak datang.

"Abi, sudah! Seharusnya kita sebagai orang tua juga bermuhasabah diri,"

"Kamu belain anak kurang ajar ini? Mau wajahmu merah juga? Hah?" Zafran seketika murka dan ingin memukul isterinya juga.

"Zafran!!! Begini cara kamu menghadapi anak dan istrimu?" Abi Zikri tiba-tiba muncul dari halaman rumah. Sebenarnya sedari tadi beliau bersembunyi dalam kegelapan malam itu. Zafran seketika gelagapan karena sudah bersikap keterlaluan di hadapan mertuanya.

"Jawab saya!"

Suasana seketika menegang. Abi Zikri tampak begitu marah. Tatapannya tajam, membuat siapapun jadi takut.

Sementara di dalam rumah, Lea menangis tersedu-sedu. Ia membuka pintu kamar dan memasukinya.

***
"Kenapa kamu balik ke kamar lagi? Nggak bisa jauh-jauh dari aku ya?" Zulfi bertanya terdengar sedikit mengejek. Tadinya mereka adu mulut dan berebut tempat tidur, sampai akhirnya Lea kalah dan harus tidur di kamar tamu.

Lea enggan menjawab. Ia masih melayani hati dan jiwanya yang masih syok melihat pertengkaran di luar tadi. Zulfi yang asik memainkan ponsel, menoleh ke arah perempuan itu.

"Lea, kamu ... nangis? Kenapa?" tanya Zulfi keheranan dan ada sedikit rasa iba. Ingat, hanya sedikit.

Tangis Lea sulit tertahan. Walaupun ia sudah menutup mulut, tetapi suara tangisnya masih kedengaran dengan irama isakan yang bersahutan.

"Oke ... kamu tidur sekarang, ya!" Zulfi tidak ingin bertanya lagi. Ia menaruh bantal dan menarik selimut untuk menutupi setengah badan Lea.

"Tapi kamu harus janji nggak akan ngapa-ngapain aku! I'm not ready,"

Seandainya Lea tidak sedang menangis, ingin rasanya Zulfi menertawakan gadis itu. Bisa-bisanya Lea kepikiran ke sana padahal dirinya sendiri sedang kalut.

"Kamu yakin ... aku bakal ngapa-ngapain? Seriously?"

"No, I mean ... you know lah, this is our first night,"

"Kamu dan aku hanya pasangan di atas buku nikah aja, nggak lebih! Tidur sana!" Zulfi memperjelas.

Lea buru-buru membalikkan badan. Sesak di dadanya terasa dua kali lipat. Lea hanya bisa terdiam tanpa bisa menjawab apapun. Dia sedang dalam posisi tidak dicintai. Tidak ada yang bisa Lea lakukan selain menerima kenyataan.

"Ya Allah, aku pengen jomlo lagi! Nikah itu nggak indah!"

***
Makin ngawur aja nih author
Masih ada yang nungguin nggak?

By the way, I need your support, guys! Hehe

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now