8. Cobaan yang Mengena

259 73 29
                                    

Panas matahari yang menyengat tubuh sekalipun tak membuat Zulfi berkutik. Ia tetap diam tanpa memberikan alasan apapun ketika ditanya pentahkim. Siapa lagi yang begitu rajin menghukumnya kalau bukan Sultan Mahmud Al-Ghifari, cucu dari pimpinan pesantren?

Zulfi dihukum karena kemarin terlambat pulang, juga sebab ia membawa motor dari pesantren. Sholeh sudah menantinya berjam-jam karena menunggu diisikan paket nelpon, tetapi Zulfi tak kunjung datang.

Kemarin, Lia pulang dengan taksi ditemani Lea. Tidak ada satupun pembahasan yang terjadi setelah kejadian nahas itu. Baik Lea maupun Zulfi, mereka memilih diam. Lea masih sedikit bingung dengan permasalahannya, sedangkan Zulfi harus bungkam dan masih syok dengan apa yang telah menimpa Lia, perempuan yang ia sukai.

Antum itu seharusnya berkaca, untuk jadi pribadi yang lebih baik lagi. Di pesantren  ini cuma antum yang paling banyak masalah. Apa udah mau keluar dari sini?” pertanyaan Sultan membuat Zulfi mengeritkan giginya. Peluh di badannya sudah mengucur, puncak kepalanya terasa begitu panas karena dijemur tanpa menggunakan peci.

“Sebelum menyuruh orang lain berkaca, sebaiknya antum yang terlebih dahulu berkaca. Antum juga tidak lebih baik dari ana,” kata Zulfi dengan rahang mengeras. Sontak Sultan semakin marah.

“Sudah berani antum ya? makin ke sini makin lancang saja!”

“Keegoisan antum itu membawa petaka untuk orang lain. Tau nggak?”ujar Zulfi sedikit memekik. Entah mengapa, setelah apa yang kemarin menimpa Lia, membuat Zulfi kehilangan rasa respect terhadap Sultan. Memang kemarin-kemarin dirinya juga tidak begitu menyukai Sultan, tetapi sekarang kian bertambah dengan rasa benci.

“Apa maksud antum?”

“Gara-gara antum, Lia jadi korban ....”

“Korban apa?” tanya Sultan kebingungan sekaligus penasaran.

“Tanyakan saja pada Lia,” putus Zulfi yang langsung pergi dari lapangan itu tanpa diberikan arahan oleh siapapun.

***

Lelaki itu menghantam kepala seorang perempuan ke dinding dengan kasar. Cukup keras, hingga terdengar suara dentuman.

“Sakit,” rintih perempuan itu dalam isakan dan keterkejutan, tidak menyangka lelaki di hadapannya bisa sekasar itu. Sebelumnya sang lelaki baik-baik saja dengannya, sekarang dirinya malah dipukuli sedemikian rupa sampai kepalanya menjadi pusing.

Rasa sakit yang menjalar di kepalanya belum sembuh, dirinya malah diseret kasar dan jilbabnya dilepas.

“Astagfirullah! ya Allah!” pekiknya. Selama ini tidak ada seorangpun yang bisa melihat auratnya, tetapi sekarang lelaki itu sudah membukanya.

“Apa yang anda lakukan? Lepaskan!” jeritnya.

"Diam kamu!” lelaki itu mengikat jilbab di mulut Lia agar perempuan itu tak lagi bisa bersuara. Senyuman jahat kembali dilayangkan oleh si lelaki.

“Nanti tanyakan sama abangmu, apa yang sudah dia lakukan di masa lalu,”

Tangisan Lia kian deras ketika mengingat apa yang selanjutnya terjadi. Dirinya senantiasa berkekalan dengan Al-Qur’an, memakai pakaian muslimah, sudah amar ma’ruf nahi mungkar, selalu sami’na wa atho’na, tetapi masih saja diuji dengan cobaan yang begitu mengena. Dirinya masih syok dan belum bisa menerima kecelakaan yang ia alami.

Penyesalan juga menghinggapi, seharusnya ia tidak mengiyakan ajakan lelaki itu, orang yang ia percaya selama ini baik kepadanya. Lelaki itu juga merupakan pengajar hafalan Al-Qur’an di sana, tapi malah menodai dirinya tanpa belas kasihan. Hanya dikarenakan ingin balas dendam. Lia tidak tau jika ajakan berteduh di ruangan malah berganti dengan pelampiasan amarah.

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now