11. Sampah Overload

270 78 14
                                    

Bandung, tiga tahun silam

Wisuda di universitas itu baru saja dimeriahkan. Semua mahasiswa yang baru saja lulus, tampak berfoto ria dengan sanak keluarga. Rasa syukur tak terhingga bagi mereka yang sampai di titik itu.

Sementara di sebuah ruangan, tampak dua orang mahasiswa baru saja melepas toganya. Salah seorang dari mereka tampak lesu ketika melihat ke bawah sana. Di balik jendela, tampak wisudawan lain tertawa bersama teman dan keluarga yang datang memberi ucapan selamat.

“Panas banget,” keluh seorang perempuan. Sementara si lelaki mulai menjatuhkan atensinya kepada perempuan itu dari menatap ke halaman gedung auditorium.

“Akhirnya lulus juga. Huft!” ujarnya terdengar lega bercampur perih.

“Habis ini mau lanjut di mana, Tan?” si perempuan bertanya.

“Aku ngerasa kayak tante-tante dipanggil begitu,”protes Sultan.

“Oke deh, aku panggilin Al aja,” kata perempuan itu seraya tertawa.

“Aku bakalan ke Mesir, mau ikutan?”

“Nggak bisa bahasa Arab!” balas Eda yang masih tertawa.

“Emang kamu mau lanjut ke mana, Da?” tanyanya.

“Aku udah ngelamar ke beberapa kampus sih, nanti liat dulu mana yang lebih cocok.  Kemungkinan ke Australi,”

“Da, orang tua kamu kok nggak dateng hari ini?” tanya Sultan serius, membuat riak wajah gadis itu seketika berubah.

“Orang tua kamu sendiri juga nggak datang kan?” balasnya dengan pertanyaan.

Sultan tersenyum miris. Ia memiliki orang tua lengkap dan selalu menjadi pujaan setiap orang, tetapi keduanya tidak pernah mempriorotaskan Sultan. Menganggap Sultan adalah anak lelaki yang tidak boleh bergantung pada orang tuanya.

“Kemarin mama dan papa aku berantem lagi. Mama udah minta cerai, tapi papa tetap nggak mau. Malah nyiksa mama. Aku nggak kuat, Al. Tiap hari harus menjadi penonton pertengkaran mereka. Tapi aku juga bingung harus melakukan apa,”

“Hidup kita kok miris-miris amat sih?” tanya Sultan seraya menatap lamat-lamat pada Eda. Empat tahun ini, Edalah yang menjadi penemannya. Hanya Eda yang mengerti keadaannya di saat rasa sepi menyelinap. Begitupun Sultan, bagi Eda lelaki itu bagaikan cahaya di tengah kegelapan, selalu ada di saat dirinya sedih dan gundah.

“Berarti ... ini hari terakhir kita ketemu?” pertanyaan Eda lantas membuat Sultan mengangguk. “Aku bakalan kangen banget sama kamu nantinya,”

Me too,”

Eda mendekati Sultan yang tadinya duduk di atas meja, lalu memeluk lengan kokoh itu. Sultan kaget, sebelumnya tidak pernah ada kontak fisik antara keduanya. Ia berusaha melepaskan tangannya perlahan.

“Jangan gini, Da. Kita bukan mahram,”

“Kamu kok lebay banget sih? Biasa aja kali kalau teman gandengan tangan,” Eda menyanggah.

“Pulang aja yuk!” ajak Sultan ketika merasa suasana hatinya tak lagi tenang. Ia merasakan hawa aneh membelenggu dirinya. Disusul berduaan di ruangan sepi membuat pikiran Sultan jadi tidak jernih.

“Sebentar lagi, lagian belum tentu kita bisa ketemu lagi. Kamu nggak pengertian banget sih, aku takut pulang kalau harus menyaksikan papa mukulin mama lagi,” Eda menahan Sultan. Kini justru tidur di bahu lelaki itu.

“Eda ... Ya Allah ....” Sultan memejamkan mata, mencoba melawan apa yang ditakutkan. Namun, rasanya begitu sulit. Gejolak itu menghantam kesadaran  diri.

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now