19. Cieee Takut!

254 73 8
                                    

Seorang lelaki tampak duduk di depan meja, tangannya sibuk membelek lampiran kertas. Ia melepas peci di kepalanya dan menaruh di atas meja, tepat di sebelah kopi hitam yang asapnya mengepul.

Di hadapannya berdiri lelaki bersarung, sambil sesekali memberikan penjelasan ketika ditanyai.

"Bagaimana, sudah ketemu pengajar tahfiznya, Kang?"

"Sudah, tapi beliau meminta beberapa persyaratan," jelas lelaki itu.

"Apa itu, Kang?" tanya Sholeh. Ia menatap lelaki di hadapannya sambil menyesap kopi itu.

"Beliau meminta fasilitas seperti tempat tinggal dan kebutuhan lainnya. Tidak mesti tempat yang bagus, asalkan punya tempat tinggal,"

"Sudah berkeluarga, Kang?" tanya Sholeh lagi.

"Saya belum ...."

Sholeh tertawa seraya menepuk pahanya sendiri. "Yang saya tanyakan calon gurunya, bukan ente!"

Lelaki itu ikut tergelak dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Maaf salah fokus,"

"Makanya sering-sering minum kopi, karena hidup butuh inspirasi bukan imajinasi," dua orang itu akhirnya saling melempar tawa.

"Ustaz, ...."

"Tunggu-tunggu, kita kan sudah sepakat tidak panggil ane ustaz. Panggil nama saja,"

Subhan tersenyum manis. Anak pimpinan pesantren di hadapannya ini sangat rendah hati. Tidak mau dipanggil dengan embel-embel ustaz atau yang lainnya.

"Jadi mau bilang apa tadi, Kang?"

Subhan menepuk jidat, hampir saja dirinya lupa. "Beliau sudah ane suruh datang untuk wawancara hari ini, agar membahas lanjutannya juga. Kemungkinan beberapa menit lagi sudah sampai. Kalau tidak ada apa-apa lagi, ane izin ke luar," pungkas Subhan setelah menatap jam dinding di kantor dewan guru pagi.

"Baik. Ente boleh pergi."

Selepas Subhan keluar dari ruangan, Sholeh kembali dihantui kehampaan. Namun, berkali-kali ia mencoba cari kesibukan agar bisa melupakan 'dia' seutuhnya.

Tak jarang dirinya menyalahkan diri sendiri yang tidak berani berterus terang terhadap perempuan yang dicintai. Sekarang dirinya menyesal karena perempuan pujaan sudah diambil orang.

Bukan tanpa alasan, hanya saja Sholeh tidak berani dengan keluarga yang satu itu. Ia menganggap mereka berbeda derajat. Lia berasal dari keluarga termasyhur, dengan pesantren yang sudah dikenal di berbagai pelosok, sedangkan dirinya hanyalah orang kampung yang tinggal di pelosok.

Walaupun memiliki pesantren juga, tapi mutu dan kebijakan kepemimpinan di sana belum terurus dengan baik. Maka dari itu Sholeh pulang untuk mengabdikan diri di pesantren milik orang tuanya.

"Tidak apa, nanti Allah gantikan dengan yang setaraf," gumam Sholeh menghibur diri.

"Kang, jangan monolog dulu, ini orangnya sudah sampai!"

"Siapa? Calon istri?"

"Calon gurunya atuh, Kang!"

Sholeh gelagapan. Ia mengatur napas lalu menatap ke hadapan. Dirinya tidak sadar kapan Subhan kembali masuk ke ruangan bersama seorang perempuan yang menunduk di sebelahnya.

"Ente kok nggak bilang kalau pengajarnya perempuan?" Sholeh berbisik pada lelaki itu walaupun dirinya yakin perempuan itu tetap bisa mendengarnya.

"Kan tidak ada persyaratan laki-laki atau perempuan, jadi siapapun bisa mendaftar,"

Sholeh pada akhirnya membenarkan posisi duduk dan mempersilakan perempuan itu duduk di kursi yang menghadap dirinya.

Ketika perempuan itu mengangkat wajah, detik itu juga Sholeh merasa ingin pingsan. Perempuan itu begitu mirip dengan wanita yang tiga tahun ini ditaksirnya. "Namanya siapa?"

OTW TAUBAT ✔Where stories live. Discover now