22

539 67 6
                                    

     Draco terbangun dari malam tanpa tidur, dan menggosok-gosok matanya yang lelah. Ia merasa amat lelah, tetapi bangkit dari tempat tidurnya, kelaparan.

     Setelah mengenakan pakaiannya, Draco merapikan rambutnya hingga ia merasa tampilannya cukup sopan. Ketika ia melewati ruang rekreasi untuk pergi, Draco melihat seseorang dipojok ruangan, tersenyum.

     "Mau pergi kemana, Sayang?"

     "Menjauh darimu, Pansy." Draco mencemooh Pansy, muak dengan gadis itu.

     "Kau tahu, Draco, kau selalu bisa kembali lagi padaku."

     Kini giliran Draco yang tertawa. "Memangnya kenapa aku mau kembali lagi padamu?"

     Pansy mengangkat bahu, tetapi Draco melihat gadis itu tiba-tiba gelisah dan gugup. Draco bergegas keluar dari ruang bawah tanah, menjauhi Pansy. Gadis itu membuatnya geram dan ia perlu melihat Hermione. Ketika Draco bergegas menuju Aula Besar, ia sangat kecewa karena Hermione tidak ada dimana-mana.

Mungkin dia butuh waktu.

     Draco meyakinkan dirinya sendiri, bagaimanapun juga, ia baru saja membuat pengakuan yang amat besar. Jantungnya berdebar, dan telapak tangannya menjadi berkeringat. Bagaimana kalau Hermione menolaknya?

-

     Hermione berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit. Ia merasa mati rasa, dan telah kehilangan semangat untuk melakukan apapun. Hermione terus memikirkan perkataan Draco.

 Aku hanya pura-pura. Aku tidak mau berdekatan dengan darah lumpur sepertimu.

     Air mata mengalir di pipi Hermione ketika ia mengenang kembali momen-momen yang ia lalui bersama Draco. Di perpustakaan, ketika Draco tersenyum dan menggodanya. Apakah semua ini hanyalah bagian dari permainannya?

     Gadis itu bahkan tak menyadari kalau Ginny sedang menghampirinya. "Mione, bangun. Kau tidak boleh melewatkan pelajaran karena dia. Itu sangat tidak berguna."

     Dengan enggan Hermione bangkit dari tempat tidurnya, pikirannya berkelana ke tempat lain. Hati Ginny bergejolak karena amarah saat ia melihat keadaan sahabatnya ini. Kalau nanti Ginny bertemu Draco, musang itu bakal mati.

     Syukurlah, mereka tidak berbagi kelas pertama dengan Draco. Hermione tidak akan tahan menghadapi pemuda itu.

-

     Draco berjalan-jalan melewati lorong, mencari keberadaan Hermione. Meskipun ia sangat takut untuk melihat reaksi Hermione, tidak bertemu dengan gadis itu sama sekali akan membuat keadaan jauh lebih buruk.

     Matanya melebar ketika ia melihat musang berambut merah yang sedang berjalan-jalan bersama Hermione, dan Draco langsung mengejar mereka.

     Draco menepuk pundak Hermione, memutar badannya, hanya untuk ditatap oleh sepasang mata yang habis menangis, penuh kengerian. Hermione menjauh, menatap Draco dengan sakit hati dan muak.

Apa Hermione menangis karena aku?

     Ginny menyela.

     "Bukankah yang kau lakukan sudah cukup, kau idiot, tak berhati! Beraninya kau menemui Hermione setelah apa yang kau lakukan padanya!"

     Tatapan Draco menyiratkan kebingungan dan rasa frustrasi. Apa yang sebenarnya terjadi?

     Murid-murid di lorong menyaksikan pertengkaran mereka, mengoceh, membuat gosip baru.

     "Apa... yang kulakukan?"

     Pemuda itu tergagap, terintimidasi oleh si Gadis Weasley. Ginny melihatnya dengan penuh kebencian.

     "Jangan pura-pura tidak tahu!"

     Ginny bergegas pergi, menarik Hermione yang sedang terisak ikut bersamanya. Draco menatap kedua gadis itu dengan sangsi.

     Apakah seperti ini perasaan Hermione ketika ia menyatakan cintanya? Apakah ini reaksi Hermione?

     Draco menelan gumpalan yang mengganjal di tenggorokannya, ia tidak mau menangis di depan orang banyak.

     Ternyata Hermione tidak membalas cintanya.

     Pemuda itu berlari ke arah sebaliknya, menuju ruang bawah tanah. Tak pernah sekalipun ia merasa begitu kesepian seperti saat ini.

    

    

    

    

Alone With YouWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu