11

1.3K 164 5
                                    

     Draco dan Hermione berjalan keluar dari Hospital Wing, saling bergandengan tangan. Draco merasa hanyut dalam kebahagiaan, seolah-olah ia memang seharusnya berada di sana, bersama Hermione yang menggenggam tangannya. Draco tidak bisa berhenti memandangi Hermione walaupun hanya sekilas, hanya untuk melihat apakah gadis itu masih berada di sampingnya, memastikan bahwa dirinya sedang tidak bermimpi.

     Hermione menangkap basah Draco sedang memandanginya. "Hei! Apa yang kau lihat?" Hermione terkikik, mengayun-ayun lengan Draco pelan.

     "Tidak ada." Sebuah seringai kecil muncul di wajah Draco, ia memalingkan muka.

     "Jangan bohong," Hermione cemberut, membuat Draco tertawa.

     "Oke, aku memang sedang memandangimu tadi." Pipi Draco sedikit merona, Hermione menyeringai penuh kemenangan.

     "Memangnya apa yang menarik dariku, Mr. Malfoy?" Hermione menggoda Draco.

     Draco tidak mengatakan apa-apa lagi karena mereka berdua telah sampai di depan pintu masuk asrama Gryffindor. "Akan kukatakan padamu di lain waktu," Draco tertawa, memberi Hermione kecupan di pipinya. Draco hendak berbalik untuk pergi dan mendapati seseorang sedang berdiri di tangga. Itu adalah Ginny, mulutnya terbuka lebar dan tampak seperti baru saja melihat hantu.

     Draco hanya menyeringai sebelum berjalan ke asramanya.

*

     Hermione tersenyum dalam lamunannya, memandangi Draco berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi pikirannya. "Hermione, aku yang berhalusinasi atau tadi kau memang bersikap sangat ramah pada Malfoy?" Ginny menghampiri Hermione dengan ekspresi wajahnya yang bahkan tak bisa Hermione tebak.

     "Mm.. mungkin?" Hermione tergagap, memasuki ruang rekreasi.

     Ginny duduk di sofa, di samping Hermione. "Jujur saja."

     Hermione ragu, tetapi pada akhirnya tetap menceritakan semuanya pada Ginny. Ginny memandangnya takjub selagi Hermione menjelaskan padanya, kadang-kadang ia memotong Hermione untum bertanya apakah ini memang benar-benar terjadi.

     "Oke, kupikir aku bisa mengerti... tapi aku tidak yakin bagaimana reaksi Harry soal ini."

     Hermione menghela napas, mengangguk mengerti. "Aku takut. Bagaimana kalau Harry nanti membenciku dan tidak mau bicara padaku lagi?"

     Ginny menepuk bahu Hermione. "Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya."

*

     Saat Draco tiba di asrama, ia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana cewek-Weasley itu akan menangani situasi ini. Draco berharap, bahkan jikalau Ginny tidak menerima hubungannya dengan Hermione, ia tidak akan melarang Hermione untuk bertemu dengannya. Draco benar-benar membutuhkan Hermione.

     "Dari mana saja kau?" Draco mendengar sebuah suara yang dingin tengah memanggilnya. Senyum Draco pudar dibuatnya.

     "Bukan urusanmu, Pansy." Draco sedang berjalan menjauh ketika ia meradakan kuku-kuku tajam terbenam di kulitnya. Draco berbalik menghadap Pansy, memandangnya dengan jijik. "Lepaskan aku."

     Pansy tertawa—bukan sebuah tawa bahagia dan penuh kehangatan seperti milik Hermione, tetapi tawa kejam dan tak berperasaan. "Kenapa kau melindungi si darah lumpur itu?"

     Draco tersentak mendengar perkataan Pansy, menarik Pansy menjauhi dirinya. "Kau hampir saja membunuh dia."

     Pansy menatap Draco dengan jijik. "Memangnya itu masalah? Lebih baik kalau dia mati saja. Hama pengganggu menyebalkan."

     Draco tidak menggubrisnya, ia pergi begitu saja meninggalkan Pansy dan mengunci dirinya di kamar. Ia tidak bisa membiarkan Pansy menyakiti Hermione.

*

     Ginny sedang mengemasi barang-barangnya yang masih tersisa sebelum ia pergi. Ginny memeluk Hermione, membuat Hermione berjanji untuk menulis surat padanya setiap hari. "Jangan biarkan Draco menyakitimu."

     Hermione mengangguk, melihat kepergian Ginny, menyeret kopernya. Hermione menghela napas, berbaring di atas tempat tidur milikny.

     Mengapa segalanya begitu rumit?

     Hermione menjejalkan semua buku-bukunya ke dalam tas, hendak pergi ke perpustakaan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ia duduk di depan meja, mengeluarkan perkamen dan alat tulisnya.

     "Pernahkah kau berhenti belajar?" Hermione menengadah, melihat Draco yang sedang berjalan ke arahnya. Ia menyeringai pada Hermione.

     Hermione menjulurkan lidahnya. Ia mencelupkan pena bulunya ke dalam bak tinta. "Aku harus menyelesaikan esai-esai ini."

     Draco duduk di samping Hermione, merebut salah satu bukunya. Hermione mendelik, ekspresi kesal terpampang di wajahnya. "Aku butuh buku itu!" Hermione berusaha menggapai bukunya, Draco pun mengangkat buku itu tinggi-tinggi, ia tertawa. Hermione mendengus sebal dan menyilangkan tangannya di dada. Dasar musang menyebalkan!

     Sebuah ide tiba-tiba melintas di kepala Hermione. Hermione membungkuk ke arah Draco. Ia tertawa terbahak-bahak, kemudian berhenti ketika merasakan bibir Hermione menyentuh bibirnya. Hermione memanfaatkan kesempatan itu untuk merebut kembali buku miliknya. Draco kesal ketika ia menyadari bahwa tadi Hermione sedang membodohinya. "Itu tak adil. Kau menciumku hanya untuk mendapatkan bukumu." kata Draco, terdengar seperti seorang bocah kecil yang tak mendapat sebuah permen.

     Hermione tertawa. "Ya. Tapi bukan hanya untuk merebut kembali bukuku, aku tadi memang ingin menciummu."

     Draco menatap Hermione tak percaya. "Serius?"

     Hermione mengangguk, membungkukkan badannya lagi, dan menarik Draco ke arahnya, kali ini benar-benar mencium Draco dengan sungguh-sungguh. 

     Draco menangkupkan wajah Hermione di antara kedua telapak tangannya, menariknya lebih dekat.

     Draco ingin bersama Hermione, dan hanya ingin bersama Hermione.

Alone With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang